Jakarta, Gontornews — Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi ancaman kelangkaan ketersediaan air di pulau Jawa. Berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024, Pemerintah memprediksi kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara akan terus meningkat hingga tahun 2030. Tidak hanya itu, Pemerintah juga mengatakan kualitas air juga akan menurun secara siginifikan hingga tahun 2045 mendatang.
“Jawa diprediksi akan mengalmai peningkatan defisit air sampai tahun 2070),” kata Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI sebagaimana dilansir laman LIPI.go.id.
Lebih lanjut, Heru menjelaskan bahwa penyebab utama dari krisis air di Jawa adalah perubahan iklim. Menurut Heru, meningkatnya temperatur bumi, akibat perubahan iklim, telah membuat air lebih banyak menguap.
“Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air menguap ke udara karena peningaktan temperatur akibat perubahan iklim,” jelas Heru seraya menilai bahwa kondisi ini mempengarui keseimbangan neraca air.
“Air yang seharusnya diserap masuk ketanah dan bertahan lama di darat (berubah) menjadi air limpasan yang langsung masuk ke saluran air ke sungai dan luat karena tanah menjadi lapisan kedap air ekibat perubahan fungsi lahan,” tambah Heru.
Karenanya, Heru menghimbau kepada semua pihak untuk membudayakan penghematan air. Tidak hanya itu, Heru juga memprediksi bahwa proses alih fungsi dari aera resapan menjadi daerah pemukiman dan daerah industri menjadi ancaman nyata menurunnya ketersediaan air di Pulau Jawa pada tahun 2040 mendatang.
“Jawa masih menjadi daerah industri andalan. Tahun 2040 diprediksi semua wilayah di Pantai Utara Jawa mulai dari Banten sampai Surabaya akan menjadi wilayah urban yang berpotensi mengalami defisit ketersediaan air,” kata Heru.
“Ada daerah yang kekeringan, sementara ada juga daerah yang sampai kelebihan air. Neraca air ini juga harus diseimbangkan,” tambahnya.
Sebagai solusi jangka pendek, Heru mengusulkan penggunaan air marginal, seperti air payau, sebagai pengganti air tanah. Masalahnya, belum ada teknologi yang mampu menyuling air payau menjadi air bersih yang dapat dikonsumsi masyarakat.
“Air marginal sebetulnya bisa dimanfaatkan kalau ada teknologi yang murah. Saat ini belum ada teknologi di Indonesia yang mampu memenuhi untuk kebutuhan dalam jumlah besar. Sementara di negara-negara Timur Tengah air laut sudah bisa disuling untuk air bersih,” papar Heru.
“Manfaatkan air-air marginal. Salah satunya dengan penyulingan air. Mungkin teknologinya masih mahal kalau sekarang, namun ke depan ini bisa bermanfaat,” pungkas Heru. [Mohamad Deny Irawan]