Setiap manusia di belahan dunia mana pun pasti pernah merasakan stres. Baik itu disebabkan oleh masalah finansial, hubungan interpersonal, maupun hal-hal kecil yang dapat membuat seseorang membangkitkan pemikiran berlebihan sehingga mengganggu ketenangan jiwanya. Begitu pula ketika harus menghadapi keadaan dunia yang kini masih berjuang memerangi pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai.
Bukan hanya mayarakat Indonesia yang merasa stres akan situasi ini, namun seluruh dunia pun merasakannya. Sebagai contoh, sebuah studi dari 52.730 peserta di Cina menemukan bahwa hampir 35 persen dari sampel dilaporkan mengalami tekanan psikologis (Qiu et al, 2020). Demikian pula penelitian lain yang telah dilakukan di Cina, dari 7.236 subyek ditemukan 35 persen kecemasan dan 20 persen gejala depresi (Huang dan Zhao, 2020). Bahkan baru-baru ini Mamun dan Griffiths (2020) melaporkan kasus bunuh diri pertama karena ketakutan akan Covid-19 di Bangladesh.
Memang bukanlah suatu hal yang tabu bila pandemi Covid-19 mampu menyeret masyarakat pada kecemasan hingga berujung pada stres. Mulai dari aspek finansial yang terus melemah, isolasi diri yang terus menerus, hingga pemberitaan yang membuat masyarakat terus bertanya-tanya kapan pandemi ini akan berakhir. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang buruk mampu mempengaruhi kondisi fisiologis. Ketika seseorang terlalu takut untuk menghadapi sebuah situasi seperti pandemi ini, kemudian berujung pada stres, secara tidak langsung akan membuat kondisi fisiknya melemah. Misalnya, kesepian dan isolasi sosial dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung coroner dan stroke (Valtorta et al, 2016).
Meskipun demikian, tidak semua stres berdampak buruk pada tubuh seseorang, nyatanya stres juga dapat menyehatkan tubuh (Gorter, 2020). Sebagaimana jenisnya, stres terbagi menjadi stres positif (eustress) dan stres negatif (distress). Stres positif inilah yang dinilai mampu meningkatkan kekebalan tubuh. Sayangnya, tubuh secara fisik tidak mampu mengenali eustress maupun distress, sehingga ketika situasi yang mengkhawatirkan datang, tubuh akan cenderung menimbulkan gejala distress, seperti cemas, sulit fokus, insomnia, gangguan lambung, dan pusing kepala (Pareek, 2020).
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, tubuh secara fisik memang tidak mampu mengenali eustress maupun distress, namun pikiran – fungsi kognitif manusia — mampu untuk itu. Penelitian telah menunjukkan perubahan dalam sistem berbasis neuroendokrin pada locus of control (Gorter, 2020). Menurut Rotter (1966) locus of control sendiri berarti cara pandang atau persepsi seseorang terhadap sumber-sumber yang mengendalikan situasi baik ataupun buruk dalam kehidupannya. Maka apabila cara pandang orang tersebut diubah ke arah yang positif, maka stres yang ia miliki pun dapat dikendalikan dengan baik.
Ketika pemikiran manusia dirangsang untuk fokus terhadap informasi yang baik, maka otak akan menginterpretasikannya dengan persepsi baik pula. Persepsi yang menyenangkan ini akan mempengaruhi keyakinan buruk yang telah terbangun dalam otak. Misalnya, ketika banyaknya berita kematian pandemi Covid-19 ditayangkan di media, informasi tidak menyenangkan tersebut akan masuk ke dalam otak seseorang lalu mempengaruhi interpretasi kognitifnya sehingga menghasilkan persepsi yang tidak menyenangkan pula. Apabila informasi buruk ini terus menerus ditayangkan, maka orang tersebut bukan hanya memiliki persepsi yang buruk, namun juga akan menanamkan keyakinan yang buruk pula terhadap situasi pandemi yang sedang dihadapi. Sebaliknya, apabila stimulus berupa berita yang disajikan merupakan informasi yang positif dan hal tersebut dilakukan secara berulang, ketika seseorang memberikan atensinya, maka persepsi yang terbangun merupakan persepsi yang menyenangkan. Keyakinan yang ia miliki pun ialah keyakinan yang positif. Sehingga dari keyakinan yang baik ini, seseorang tidak akan memiliki ketakutan berlebihan terhadap situasi yang sedang dihadapi.
Kemudian untuk bidang pendidikan yang belakangan ini sedang terganggu keefektifannya, begitu penting bagi para siswa untuk memiliki kemampuan pengelolaan persepsi agar stres positif ini dapat mengubah stres negatif yang timbul sebagai akibat dari pembelajaran via daring yang cukup menyulitkan. Para siswa dapat diberi stimulus berupa informasi mengenai situasi buruk di lingkungan namun tetap dengan penguatan bahwa situasi tersebut merupakan tantangan yang harus mereka hadapi.
Stres positif yang dimiliki para siswa akan membantu dalam peningkatan kefokusan mereka, seperti fokus untuk selalu waspada terhadap kemungkinan ancaman penularan virus di lingkungan sekolah sehingga mereka selalu siap sedia menggunakan masker dan mencuci tangan setelah beraktivitas. Selain itu, stres positif ini juga dapat meningkatkan performa para siswa dalam mengupayakan pola hidup sehat, sebagai contoh mereka cenderung akan tergerak untuk mulai melakukan latihan fisik di pagi atau sore hari, mengonsusmi makanan bergizi seimbang, dan tidak jajan sembarangan.
Oleh karena itu, kunci utama stres ialah pemikiran. Persepsi yang dibangun dan keyakinan yang dimiliki akan berdampak besar terhadap respon tubuh. Apakah respon tersebut negatif sehingga menimbulkan penurunan fisiologis, atau respon tersebut positif sehingga dapat memacu kerja tubuh untuk menghadapi keadaan dengan lebih baik. Jadikanlah segala keadaan buruk yang datang sebagai tantangan bukan suatu hambatan, maka otak pun akan menilainya sebagai sesuatu yang harus dihadapi bukan untuk dihindari. Alih-alih stres menjadi momok menakutkan bagi tubuh, stres justru mampu membantu meningkatkan kesehatan tubuh. []