Momen sujud Syukur 100 tahun Pondok Modern Gontor adalah momen yang perlu disyukuri oleh semua pihak. Sebuah karunia dari Allah SWT mengingat tak banyak lembaga lain yang bisa bertahan hingga satu abad lamanya dan terus memberi pengaruh besar dalam kehidupan di masyarakat, utamanya di bidang pendidikan, kemasyarakatan dan dakwah Islam.
Gontor sebenarnya tidak sendiri. Sebagai sebuah institusi pendidikan tradisional di Indonesia, banyak lembaga pesantren yang lebih tua usianya. Jamsaren di Solo, Tremas di Pacitan, Pondok Sidogiri, Babakan dan Buntet di Cirebon adalah sebagian kecil nama pesantren tradisional yang telah melampaui hingga 100-200 tahun umurnya. Gontor adalah pondok tertua dalam kapasitasnya menjadi pionir dalam modernisasi pesantren. Didirikan pada 12 Rabiul Awwal 1345 H, saat ini telah genap mencapai 100 tahun.
Dalam beberapa kesempatan dialog yang saya dapatkan, jawaban dari para Kiai Gontor tentang apa kunci keberhasilan selalu jawaban merendah khas pesantren. Ma’unah atau pertolongan dari Allah, keberkahan dan Ridha dari Allah SWT dan semacamnya. Jawaban yang tentu saja harus kita elaborasi lebih lanjut. Perlu dikupas dari beragam aspek, agar lembaga lain bisa mengikut jejak keberhasilannya.
Sebuah artikel di Harvard Business Review https://hbr.org/2018/09/how-winning-organizations-last-100-years yang ditulis oleh Alex Hill dkk mungkin bisa memberikan sedikit penjelasan yang kurang lebih bisa dikaitkan dengan pencapaian Pondok Modern Gontor ini.
Tulisan tersebut mengupas beberapa institusi dari lintas bidang yang telah mencapai usia 100 tahun, atau disebut sebagai centennial organization di berbagai belahan dunia. Beberapa di antaranya adalah nama nama besar seperti NASA, Royal Music Academy, Royal College of Art, Eton Boarding School di UK, All Black di New Zealand dll. Penelitian yang dilakukan selama 5 tahun yang dituangkan dalam tulisan ini menemukan banyak persamaan terlepas dari ragam bidang tempat berkiprah yang berbeda.
Menurut hasil penelitian yang dituangkan dalam artikel ini, kebanyakan orientasi institusi, baik itu mereka yang berorientasi profit maupun non-profit adalah berkisar tentang melayani konsumen, menguasai sumber daya, efisiensi dan pertumbuhan. Namun tidak dengan organisasi Centennial. Sebagai gantinya, mereka terus berusaha keras untuk lebih fokus membentuk masyarakat dan meningkatkan kualitas mereka tanpa terlalu khawatir tentang pertumbuhan organisasi.
Mayoritas Centennial memiliki kecenderungan untuk menjaga tradisi lamanya -dengan inti yang stabil- tetapi dengan perubahan pada kulit luarnya. Kestabilan inti dan nilai institusi centennial menurut artikel ini terlihat dari setidaknya tiga aspek. Kestabilan tujuan atau visi, kestabilan kepemimpinan, serta kestabilan keterbukaan.
Kestabilan tujuan dari institusi centennial tersebut terllihat dari orientasi mereka untuk memberi impact/kebermanfaatan di masyarakat. Mayoritas centennial adalah lembaga yang sangat visioner. Melihat 20-30 tahun ke masa depan. NASA, Eton, dll memiliki visi yang melampaui zamannya. Hal ini juga sangat menonjol dari PM Gontor yang bisa dilihat dari visinya yang konsisten dalam melahirkan kader-kader pemimpin umat.
Kurikulum pendidikan Gontor pun jarang sekali berubah. Tidak mengikuti selera dan tren ataupun pergantian rezim yang seringkali diikuti oleh pergantian kurikulum. Sejak dulu orangtua saya mondok di era 60-an hingga cucunya hari ini, tidak banyak perombakan kurikulum yang dilakukan. Seingat saya hanya sekedar perubahan tampilan buku dan konteks saja.
Kestablilan kepemimpinan adalah aspek selanjutnya yang lazim didapati di institusi tua di atas 100 tahun. Eton, Royal Academi, All Black dan lainnya tidak mengikuti lazimnya pergantian kepemimpinan yang rata-rata dilakukan di kisaran 5 tahun sekali. Mayoritas transisi kepemimpinan dilakukan di atas 10 tahun sekali. Eton bahkan menunjuk penggantinya 4 tahun sebelum sang pengganti benar-benar mengambil alih kepemimpinan di institusi tersebut.
Selain itu, mereka jarang memilih pemimpin dengan ego sentris yang besar. Mereka mencari pemimpin yang tidak terlalu menonjolkan diri mereka sendiri. Mereka yang mau belajar dari kepemimpinan sebelumnya dan menyiapkan untuk kepemimpinan selanjutnya.
Dalam Bahasa Kiai Syukri Zarkasyi: “Ada dua tipe: kiai yang membesarkan pondoknya; dan pondok yang membesarkan kiainya. Saya berpesan sama kamu, kalau bisa kamu adalah tipe kiai yang membesarkan pondoknya, sebab jika pondokmu besar, kamu otomatis akan ikut besar. Dan belum tentu, kalau kiainya besar, pondoknya akan besar,” tandas beliau.
Ciri terakhir dari para centennial tersebut dalam menjaga tradisi adalah kestabilan dalam keterbukaan. Keterbukaan tersebut bisa dilihat dari beragam aspek. Para alumni yang berkiprah luas di masyarakat, para pemimpin institusi yang ide dan pemikiran dan karya-karyanya disampaikan kepada masyarakat luas.
Begitulah analisa Alex dkk bagaimana para centennial menjaga keberlangsungan mereka: kestabilan inti dan prinsip dari institusi.
Menariknya, di lain sisi, terdapat kecenderungan pada centennial untuk menjaga agar perubahan- perubahan cepat terjadi di lapisan organisasi yang paling luar. Menurut artikel tersebut, setidaknya ada tiga hal terkait perubahan di lapisan luar yang juga disebut disruptive edge yang ditemukan dalam institusi centennial tersebut.
Pertama adalah perubahan sumber daya insani yang cepat atau disruptive expert. Mayoritas centennial menjaga 70% pegawainya adalah pekerja yang bersifat partner atau bahkan paruh waktu. Hanya 30% sisanya yang merupakan pegawai tetap mereka. Mereka menjaga organisasi inti dari lembaga tetap berputar sambil mencari sumber daya insani baru yang silih berganti datang . Hal ini bertujuan agar tetap hadirnya sumber daya insani yang sesuai zamannya menghadirkan ide-ide segar yang juga baru.
Hal yang sudah lama dilakukan oleh Pondok Modern Gontor dengan menjaga ruang tumbuh untuk alumni dan kader-kader umat yang baru lulus mengabdi di lembaga mereka. Berkembang dan tumbuh menggerakkan dinamika organisasi selama masa pengabdian untuk lalu berjuang hijrah di penjuru dunia sebagai munzirul qoum.
Selain itu, disruptive nervousness dalam lembaga centennial ditunjukkan dalam pola perkembangan lembaga mereka yang cenderung organik dan tidak instan. Prinsip tadarruj, atau berkembang secara bertahap adalah kuncinya. Better, not bigger. Menarik bahwa fakta dari 89% lembaga centennial yang diteliti dalam tulisan tersebut memiliki jumlah pegawai tetap di bawah 300 orang per lokasi. Hal ini bertujuan agar perkembangan lembaga tetap terkontrol dan tidak menurunkan standar kualitas dari apa yang mereka lakukan.
“We need to be big enough to create impact and financially stable, but not so big that we get distracted or lose control”.
Disruptive accident adalah ciri terakhir yang didapati pada mayoritas institusi centennial. Alih alih mendewakan efisiensi dengan mengelompokkan orang-orang ke dalam kelompok yang cocok dengan tugas-tugas mereka, institusi centennial memiliki kecenderungan untuk membuat siapa pun yang ada di dalamnya mengalami beragam pengalaman kerja di beragam bidang. Mengerjakan beragam proyek di beragam lintas bidang. Menciptakan pergerakan dan benturan benturan kecil. Layaknya keluarga kecil yang belajar tumbuh bersama dalam segala suka duka.
Hal serupa yang dilakukan oleh Pondok Modern Gontor dengan menempatkan kader-kader umat yang dididik di lembaga tersebut untuk mengalami sebanyak mungkin pengalaman di segala bidang.
Kecenderungan menjaga tradisi lama dan membuat perubahan-perubahan kecil dalam hal yang bukan prinisp adalah suatu yang lazim dan telah lama dalam kehidupan di pesantren. Dalam istilah poro kiai, Al muhafadzhol ala al qodimi ashoolih, wal akhdzu bil jadidi alashlah. Kiai Hasan Abdullah Sahal mengungkapnya dengan bahasa lain; “Al-muhafadhoh ala al qiyam, wat taghoyyur ilal kamal”. Semangat menjaga nilai-nilai yang prinsip, sambil membuat perubahan -perubahan menuju kesempurnaan.
Ala kulli haal. Alfu barokah almamaterku. Ibuku.. []