Selama Amerika dan sekutu-sekutunya menampilkan standar ganda dalam menyelesaikan masalah Palestina-Israel, maka radikalisasi akan terus terjadi. Jutaan mungkin berapa juta warga Palestina di perantauan, di pengungsian, yang pastinya mereka menjadi pihak yang terusir dari negaranya sendiri. Atau penyelesaian masalah di Irak, Afghanistan. Dan ada masalah global yang kedua yaitu pengungsian (refugee) yang menjadi dampak dan membuat sulit Eropa di mana pengungsi membanjiri wilayah di sana.
Masalah tersebut menimbulkan kelompok-kelompok ekstrem yang ultranasionalisme. Di Jerman, mereka bergerak lagi untuk tampil dalam perlombaan demokrasi. Prancis dan Belanda juga demikian. Jadi reaksi dari sana menguat dan memunculkan figur-figur yang dianggap berani untuk melawan.
Akibatnya, dunia akan terjebak pada depolarisasi yang baru. Kalau dulu, depolarisasi Barat-Timur, sekarang, yang akan terjadi adalah, depolarisasi Barat dan Islam meskipun sebenarnya Islam juga telah hadir di Barat. Apalagi ada depolarisasi nasional masing-masing.
Masyarakat Indonesia sedang terbelah juga seperti pada kasus Ahok. Bukan soal Ahoknya tapi soal persepsi tentang kebhinekaan. Tapi semuanya sudah rancu, saling menuduh, sektarian atau anti-kebhinekaan.
Padahal, mereka sama-sama bhineka tapi juga ada egoismenya. Ini depolarisasi yang berkembang pada setiap lingkaran nasional masing-masing negara. Ini kalau terbawa kepada lingkaran global maka dunia baru akan menjadi dunia yang lebih polar dalam dimensi yang lain.
Kalau ada arus demokrasi liberal di dunia, yang dianggap sebagai fenomena baru pascaperang dingin dan ada arus liberalisasi yang melanda dunia. Liberalisasi ekonomi yang meresahkan kapitalisme global, liberalisasi politik dengan mendekatkan demokrasi liberal ada juga liberalisasi ketiga yaitu kultural dan budaya. Di mana terbuka, bebas, dunia tidak lagi terbatas, yang disokong teknologi informatika yang canggih sangat mudah untuk masuk ke sebuah negara.
Demokrasi liberal selalu mengundang pro dan kontra karena demokrasi liberal sendiri tidak sepi dari masalah dan sangat potensial menciptakan masalah. Dengan demokrasi liberal atau liberalisasi politik terutama mengacu pada prinsip setiap warga negara memiliki political liberty and equality, maka tidak ada perbedaan antara guru besar dengan tukang becak, ibaratnya. Antara kiai atau santri.
Yang kedua, dalam suasana demokrasi dan kehidupan sosial yang bebas sangat muncul kelompok-kelompok yang kuat. Kalau demokrasi ingin menghindari hukum rimba mari diselesaikan secara beradab. Tapi demokrasi itu sendiri tidak luput dan sangat potensial dimanfaatkan oleh kelompok-kelomok kuat yang menguasai political resoursces (sumber daya politik), bisa uang atau informasi.
Dengan memiliki dua kekuatan (uang dan informasi) itu saja, mereka sudah bisa mendikte politik di Indonesia. Dan ketika muncul di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan presiden, kekuatan uang luar biasa. Apalagi di negara yang the absence of peace nya masih besar.
Sekarang yang punya televisi satu sudah berani menjadi capres, sudah merasa bisa menguasai politik. Karena masyarakat luas yang kurang terdaya itu dan kurang sejahtera itu mudah dipengaruhi. Artinya, demokrasi itu membuka peluang bagi ketidakadilan, bagi kekerasan verbal, kekerasan uang atau kekerasan pemodal (capital violence). []