Maraknya kasus pembunuhan dalam keluarga, aksi bunuh diri yang melibatkan anggota keluarga di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir membuat banyak masyarakat mengernyitkan dahi. Mereka tidak membayangkan fenomena menyedihkan sekaligus mengerikan itu terjadi di sekitar mereka, di rumah mereka, di lingkungan mereka. Mereka pun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat kita hari ini?
Guru Besar Ilmu Bimbingan dan Konseling Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Prof Dr Imas Kania Rahman, MA, menyimpulkan bahwa situasi ini terjadi karena masyarakat mengalami disorientasi nilai kehidupan. Masyarakat tidak lagi memahami tujuan hidup, tujuan Allah SWT menciptakan mereka serta definisi atas nilai-nilai hidup seperti kebahagiaan maupun kesuksesan.
“Dalam catatan saya, problem utama dalam tiap kasus depresi karena seseorang mengalami disorientasi nilai. Banyak orang di sekitar kita mengalami kerapuhan nilai orientasi karena keliru dalam memahami hakikat hidup di dunia serta tidak memahami hakikat tujuan hidup,” kata Prof Imas kepada Majalah Gontor.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan untuk mewawancarai perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Ciamis 1985-1991 tersebut. Berikut ulasannya!
Bagaimana Anda melihat fenomena kekerasan dalam sebuah keluarga?
Saya melihat fenomena ini, tentu semua orang merasa prihatin. Kita semakin menyadari bahwa lingkungan kita ini terlampau lemah integrasi sosialnya sehingga orang-orang di sekitar kita itu lebih individualistik. Lemah integrasi sosial ini terjadi tidak saja pada ikatan persaudaraan dalam keagamaan tapi juga ikatan persaudaraan dalam keluarga besar, big family, selain memang nuclear family (keluarga inti) juga lemahnya ikatan persaudaraan dalam komunitas atau kelompok-kelompok atau organisasi sehingga karena lemahnya integrasi sosial ini tidak ada kohesivitas. Setiap orang seolah-olah bebas hidup sendiri tanpa teman, tidak memiliki norma-norma kebersamaan sehingga tidak ada tempat baginya untuk berbagi ketika ada tekanan, masalah dan problem. Idealnya, ketika integrasi sosial baik, di situ akan tersedia ruang-ruang untuk berdialog, berdiskusi, berbagi sehingga menemukan solusi-solusi kebersamaan.
Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan persoalan tersebut?
Seperti yang kita lihat di media, maraknya kasus bunuh diri dalam keluarga, kasus bunuh diri yang dialami mahasiswa serta bentuk-bentuk self-harm seperti menyayat lengan dengan benda tajam hingga melukai nadinya meski tidak berujung kematian menandakan suatu fenomena psikologi yang dinamakan perilaku agresif. Sikap agresif ini ada yang terjadi pada orang lain, dan ada pula yang terjadi pada diri sendiri. Pola perilaku agresif ini, biasanya, kita menemukan adanya sejumlah faktor, yaitu: faktor pribadi, faktor sosial dan faktor situasional.
Yang dimaksud faktor pribadi dalam psikologi sebetulnya banyak tipologi kepribadian, tetapi setidaknya ada dua perilaku agresif yang terjadi: agresif kepada orang lain atau kepada diri sendiri, seperti beberapa kasus bunuh diri yang terjadi. Biasanya, corak perilaku agresif ada dua tipe: aktif dan pasif. Orang dengan perilaku agresif aktif merasa harus menjadi sosok yang ‘paling’ dalam segala hal. Mereka juga memiliki karakter buru-buru, mudah tersinggung, dan memiliki kendali emosi untuk memenangkan harapan untuk meraih yang dia inginkan. Ketika mereka berhadapan dengan sebuah problem, ia berani untuk mengambil langkah ekstrem yang dipicu oleh sikap permusuhan karena gagal memaknai kondisi dalam perspektif yang positif.
Depresi karena kesulitan ekonomi disebut-sebut sebagai penyebab utama fenomena mengerikan tersebut. Bagaimana pendapat Anda?
Menurut saya, depresi karena masalah ekonomi, atau maaf, permasalahan keluarga, masalah percintaan anak-anak sekolah atau problematika mereka dengan orang tua bukanlah faktor utama. Persoalan utama saat membicarakan depresi karena seseorang tidak mampu memahami hakikat hidup.
Abu Zayad Al-Balkhi (wafat 934 M) dalam karyanya Masolihu al-Abdan wal Anfus menjelaskan bahwa kerentanan psikologis seseorang terjadi karena ia tidak memiliki kekuatan psikologis. Salah satu indikator kekuatan psikologis yang dimaksud yaitu menyadari bahwa kehidupan dunia merupakan tempat ujian. Saat menyadari bahwa dunia tempat ujian, ia akan tetap tenang dalam menghadapi setiap situasi tersebut. Kedua, oleh karena setiap orang memiliki kemampuan psikologis yang berbeda-beda, orang yang lemah secara psikologis akan menghindari problem-problem yang mungkin berada di luar kemampuannya.
Dalam catatan saya, problem utama dalam tiap kasus depresi karena seseorang mengalami disorientasi nilai. Banyak orang di sekitar kita mengalami kerapuhan nilai orientasi karena keliru dalam memahami hakikat hidup di dunia serta tidak memahami hakikat tujuan hidup. Sehingga, saat seseorang memahami hakikat tujuan hidup, hakikat penciptaan manusia, maka apa pun problematika yang dihadapi, termasuk problematika ekonomi, tidak akan membuat ia mengalami depresi, apalagi melakukan tindakan-tindakan yang merugikan seperti bunuh diri atau pun self-harm.
Sejauh apa peran keluarga dalam mengatasi potensi atau risiko tersebut?
Saya melihat keluarga memiliki dua peran, yaitu: mengantisipasi dan menangani disorientasi nilai kehidupan. Untuk itu, sebagai langkah antisipasi, sebaiknya keluarga melakukan pencegahan sedini mungkin. Para orang tua perlu menanamkan nilai tentang hakikat kehidupan, hakikat penciptaan manusia, hakikat bahagia, hingga hakikat kesuksesan kepada anak-anaknya.
Salah satu gambaran penanaman hakikat hidup paling konkret terjadi pada anak-anak Palestina. Ketika mereka mendapatkan ujian dari Allah SWT, mereka mampu menunjukkan kekuatan karakter psikologinya. Dan itu bukan terjadi karena lingkungan dan budayanya saja tetapi juga karena nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga mereka sejak dini.
Apakah media sosial memiliki peran dalam mendorong perilaku negatif seseorang?
Manfaat dan bahaya yang muncul dari media sosial ibarat dua mata pisau. Pada satu sisi, media sosial memiliki banyak manfaat seperti upaya yang bisa kita lakukan kepada masyarakat Palestina melalui media sosial. Manfaat lain yaitu semakin mudahnya masyarakat untuk mendapatkan informasi termasuk mengakses buku-buku di perpustakaan di belahan dunia serta mengakses hasil riset orang dari mana pun.
Namun, pada sisi lain, media sosial juga memiliki efek negatif bernama nomophobia. Istilah tersebut diartikan sebagai kecanduan handphone pada seseorang yang membuat ia tidak bisa jauh dari gawainya tersebut. Seseorang dengan nomophobia cenderung memantau gawainya dalam rentang waktu yang berdekatan hanya sekedar untuk membuka aplikasi media sosial, membuka status orang serta ruang-ruang pribadi yang ia anggap menarik. Tentu mereka menganggap ruang-ruang pribadi itu lebih menarik dibandingkan ruang-ruang sosial yang ada di media sosial.
Bagaimana cara mengatasi persoalan mengerikan tersebut?
Sesuai dengan pendapat Al-Balkhi bahwa untuk membangun mental manusia tidak cukup sekedar mengarahkan tetapi juga melakukan setidaknya tiga upaya, yaitu: prefentif, kuratif dan development. Upaya prefentif muncul dari keluarga yang mendidik anggotanya melalui pendidikan nonformal seperti majelis-majelis taklim, kuliah Shubuh atau mengikuti kajian-kajian yang berfokus pada pembentukan mental yang sehat.
Sementara upaya kuratif, kita perlu menyediakan sumberdaya manusia yang handal, profesional dan islami untuk mendapatkan bimbingan konseling bukan saja di lembaga pendidikan formal tapi juga nonformal.
Untuk development-nya atau fase pengembangan, saya mendorong pembangunan sistem antara konselor di pendidikan formal, konselor di pendidikan nonformal untuk berkolaborasi dengan para orang tua siswa dan pihak sekolah untuk membangun kolaborasi pendidik yang solid.
Apakah agama memiliki peran dalam menanggulangi persoalan kekerasan dalam keluarga?
Nilai-nilai agama merupakan kekuatan. Tetapi, yang disebut nilai agama bukan saja tentang pemikiran tetapi juga memiliki pengetahuan tentang jenis-jenis ibadah sunnah. Toh, bentuk pengabdian seorang hamba bukan hanya sebatas ritual ibadah saja tetapi jauh lebih komprehensif. Seperti misalnya saat Rasulullah SAW memberikan contoh kepada umatnya untuk menerapkan pola tidur sehat. Rasulullah SAW tidak membiasakan diri untuk tidak tidur pada malam hari atau begadang. Sebaliknya, Rasulullah akan bangun di sepertiga malam dan tidak akan pernah tidur setelah shalat Shubuh hingga waktu Dhuha. Rasul juga melarang umatnya untuk tidur setelah Ashar atau pun Maghrib. Sebaliknya, beliau segera tidur setelah shalat Isya tanpa berbincang dengan para sahabat. Kecuali dalam situasi perang atau kondisi darurat, beliau akan kembali ke rumahnya dan akan tidur cepat setelah Isya.
Dari beberapa riset psikologi, pola sirkadian ternyata sangat berpengaruh pada kerentanan seorang untuk mengalami depresi. Jika Anda menemukan orang-orang yang terlihat rapuh secara psikologis, silakan cek, apakah dia terbiasa begadang, terbiasa tidur setelah shalat Shubuh, terbiasa kesiangan (telat bangun pagi), shalat Shubuh lewat dari waktu? Pada satu sisi, orang tersebut tidak pernah membangun fisiknya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Kebiasaan untuk membaca zikir pagi-sore juga memiliki efek terhadap kesehatan fisik dan mental. Bacaan zikir pagi-sore merupakan tameng yang dapat membentengi individu dari bisikan-bisikan setan, bukan saja untuk berbuat kejahatan, tetapi juga bisikan yang mendorong perasaan was-was, kekhawatiran berlebihan, kesedihan dan frustasi.
Jadi saya setuju dengan semua ahli, termasuk hasil riset yang dilakukan kalangan nonmuslim yang menunjukkan bahwa agama menjadi cara terbaik dalam mengatasi situasi, kondisi serta ketahanan dari kasus depresi.
Apa pesan Anda untuk masyarakat?
Saya jadi teringat tentang konsep atau tipologi masyarakat dilihat dari sistem yang telah melembaga. Ada kategori masyarakat yang syar atau buruk, tipe yang kedua masyarakat yang khair atau baik, tipe yang ketiga, masyarakat ini lebih baik karena bukan saja baik tetapi telah memiliki sistem, yang kita kenal dengan development di atas. Saya mendorong masyarakat untuk memahami bahwa kita memiliki tujuan yang sama untuk membangun masyarakat yang ma’ruf.
Nah, jadi seperti apa masyarakat yang buruk itu? Boleh jadi masyarakat yang buruk itu, masyarakat yang telah sampai pada kemajuan teknologi informasi atau, boleh jadi, mereka mungkin memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi atau, boleh jadi secara ekonomi, makmur. Tapi tetap saja mereka disebut masyarakat buruk, mengapa? Karena mereka belum memahami hakikat yang benar tentang kebaikan-kebaikan yang sesungguhnya dan sesuai dengan syariat ajaran Islam.
Maka, ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dibarengi dengan pemahaman benar tentang hakikat hidup maka kemajuan dalam bidang apapun tetap saja disebut dengan masyarakat yang buruk atau syar. []