Sejumlah negara mulai melegalkan ganja untuk keperluan medis karena dianggap dapat menghasilkan Miliaran Dollar AS. Namun, belum banyak penelitian yang menjelaskan apa efek jangka panjang dalam penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Sebuah kabar mengejutkan datang dari Uruguay. Negara di Amerika Latin tersebut, untuk pertama kalinya, memperdagangkan ganja untuk keperluan medis secara legal. Tidak tanggung-tanggung, melalui perusahaan Fotmer Life Sciences (FLS), Uruguay mengirim 10 kilogram ganja medis ke Australia.
Bagi Uruguay, bisnis jual beli ganja medis adalah bisnis yang menggiurkan. Dalam riset mereka, ganja berperan dalam membantu pasien kanker untuk mengelola rasa sakti serta mengobati kejang-kejang yang disebabkan oleh penyakit autoimun, Multiple Sclerosis.
“Tujuan kami adalah untuk menciptakan industri bermiliaran Dollar di Uruguay dalam 10 tahun ke depan,” kata Direktur Eksekutif FLS, Jordan Lewis, kepada Reuters.
Sebelum memperdagangkan ganja secara legal, Uruguay memang menjadi surganya para penghisap ganja terutama sejak pemerintah Uruguay secara resmi melegalkan ganja pada Desember 2013.
Mereka memprediksi bahwa 80 negara akan menggunakan ganja sebagai bahan medis di masa mendatang. Lewis pun memprediksi bahwa bisnis ganja medis akan menembus 100 Miliar Dollar AS dalam rentang 10 tahun ke depan.
“Seperti yang kita lihat, legalisasi terjadi di tingkat global dan regional. Uruguay mendorong maju semua pihak yang ingin memiliki tenaga-tenaga terampil, berkualitas dan cepat,” jelasnya.
Benar saja, dua negara di Asia Tenggara, Malaysia dan Thailand tengah mengkaji proyeksi “memperdagangkan” ganja medis di wilayahnya. DI Malaysia misalnya, pemerintah mendesak kejaksaan Malaysia agar mengampuni dr Muhammad Lukman Mohamad setelah menggunakan ganja medis bagi penderita leukimia (kanker darah).
Sebagaimana diketahui, Malaysia menerapkan hukuman mati bagi siapa saja yang memperdagangkan ganja, narkotika dan obat-obatan terlarang di wilayahnya. Namun, dengan maraknya penggunaan ganja medis, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad meminta agar aturan tersebut harus ditinjau ulang.
“Tidak. Saya pikir kita harus meninjau itu,” kata Mahathir Mohamad.
Sementara itu, Thailand, di bawah kepimpinan Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-Ocha yang belum lama dilantik, berniat untuk mengembangkan industri ganja medis. Mereka menempatkan industri ganja medis sebagai salah satu prioritas kebijakan utama Pemerintah Thailand.
“Studi dan pengembangan teknologi ganja, rami dan tanaman obat lainnya harus dipercepat untuk industri medis demi menciptakan peluang ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat,” kata Chan-Ocha.
Menteri Kesehatan Thailand, Amutin Charnvirakul, bahkan tidak segan, untuk mendorong warga untuk menanam ganja demi menghasilkan uang. Anutin juga berharap pemerintah menghapus rami dari kanabidiol (CBD) tingkat tinggi.
Pro Kontra Ganja Medis
Pertanyaan sederhana lantas muncul. Apa saja manfaat ganja medis? Peneliti asal Rush Univeristy Medical Center, Chicago, Mario Moric MS, mengemukakan bahwa ganja memiliki sejumlah keunggulan medis seperti: 1) menurunkan tingkat overdosis dari penggun opioid; 2) menurunkan pengguna opioid; 3) meningkatkan kualitas hidup; dan 4) meningkatkan kontrol terhadap rasa sakit.
“Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ganja medis dapat memberikan beberapa manfaat dalam mengurangi penyalahgunaan opioid,” kata Mario Maric MS sebagaimana dilansir Scitech Daily.
“(Akan tetapi) ada masalah lain yang perlu dipertimbangkan yaitu efek samping dan fata bahwa produk-produk tersebut tidak memiliki aturan yang jelas,” imbuh yang juga tergabung dalam Asosiasi Dokter Anestesi Amerika (American Society Anesthesiologists/ASA).
Sementara itu, anggota peneliti, Asokumar Buvanendran, berujar, bahwa hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara khusus mengungkap tentang efek jangka panjang penggunaan ganja untuk keperluan medis. Sedangkan temuan klinis awal membuktikan bahwa ganja mungkin saja memberikan kerugian pada otak.
“Efek jangka panjang dari ganja medis belum diketahui dan belum diteliti. Bukti klinis awal menunjukkan bahwa ganja, mungkin saja, memiliki efek yang merugikan otak,” tutur Buvanendran.
Tidak hanya itu, beberapa peneliti juga menemukan sejumlah kerugian dalam pengguna ganja medis seperti meningkatkan rasa sakit bagi pasien komplikasi.
“Sementara ini, kami menunggu penelitian yang lebih baik tentang ganja sehingga dokter anestesi, seperti kami, dapat menawarkan banyak obat non-opioid dan alternatif lain untuk mengobati nyeri kronis seperti memberikan suntikan, memblok saraf, terapi fisik hingga menstimulasi sumsum tulang belakang,” pungkas Buvanendran. [Mohamad Deny Irawan]