Jika menghargai sejarah bangsa sendiri saja dengan cara salah, apalagi untuk menghargai sejarah bangsa lain? Sudah tidak benar, tidak adil, tidak jujur pula. Hasilnya pun salah. Tak heran jika terjadi kerusakan ketika menyikapi sejarah dan membuat sejarah berikutnya. Sumber-sumber sejarah haruslah yang paling kuat, terpercaya penjelasan dan penafsirannya. Kemudian menyikapinya juga harus positif dan produktif.
Jangan menyikapinya dengan negatif, seperti putus asa, alih profesi(hijrah) atau menonaktifkan potensi. Memang, alih profesi(hijrah) atau menonaktifkan potensi merupakan hak setiap orang. Sedangkan putus asa, lari dari tanggungjawab, apalagi membunuh masa depan dengan kekosongan atau bunuh diri, merupakan kekerdilan dan sikap protes terhadap takdir. Tidak menghasilkan apa-apa, dan tidak menguntungkan siapa-siapa. Semua bentuk keputusasaan itu tercela dari segala penjuru. Pilihlah untuk menjadi terbuka, berani, kritis, dan cerdas. Karena tuntutan zaman ini memang demikian.
Kesinambungan sejarah nilai-nilai, lebih penting daripada kesinambungan fisik atau lembaga. Jika proses kaderisasi Rasulullah SAW diteladani, suasana tentu akan indah, teduh, damai, dan bermoral. Tapi, mengapa tulisan sejarah tentang politik kekuasaan lebih menonjol daripada sejarah keagamaan? Mengapa harus kita kedepankan sengitnya persaingan, panasnya perebutan, dan ketatnya perlombaan “adu tangkas” memperjuangkan popularitas, mendorong kita meletakkan politik, pertahanan, dan ekonomi?
Karena agama, moral dan pendidikan oleh pemilik kekuasaan memang kerap dianggap sebagai sumber penyakit. Karena dengan agama, moral dan pendidikan masyarakat, kredibilitas kepemimpinan dan kecakapan mereka akan terkurangi, dan kedok kelicikan penjajahan mereka dapat dibuka.
Bencana kekosongan
Menghargai sejarah dengan mengisi masa-masa kekinian dengan aktivitas positif. Sayangnya, dewasa ini semakin banyak ”kekosongan” yang dibiarkan, disengaja terjadi, atau hal-hal sia-sia dan kosong dikerjakan. Ada yang berusaha memperbaiki kerusakan, ada pula yang buru-buru mengisi kekosongan dengan kekosongan baru. Ibarat membersihkan kotoran dengan sapu kotor. Penyakit “kekosongan” ini sangat berbahaya. Jika tidak segera ditanggulangi, objek dan korban yang paling awal dipengaruhi anak-anak muda.
Penyakit ini akan mengakibatkan banyak kerusakan. Di antaranya: Kekosongan perasaan kemanusiaan, mengakibatkan timbulnya banyak tindak kejahatan. Kekosongan kegiatan positif akan beralih menjadi kegiatan merusak, maksiat, dan tidak bermanfaat. Kekosongan jiwa kemasyarakatan, akan membuat masyarakat kurang kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, pergaulan serta ekosistem lingkungan juga akan rusak. Kekosongan harapan dan cita-cita yang bermotif membangun, akan membuat kita mudah dimasuki anasir-anasir destruktif. Kekosongan ajaran agama, menyebabkan lahirnya agama–agama baru yang tidak berlandaskan syariat, tapi hanya didominasi nafsu, kepentingan pribadi dan golongan.
Generasi kita saat ini terbagi menjadi dua: Pertama, yang disibukkan oleh sesuatu yang tidak seharusnya, terasyikkan dengan kegiatan yang sebenarnya tidak mengasyikkan. Kedua, tidak cerdas dan cakap, hingga keliru dalam mengisi kekosongan. Karena itu, pandai-pandailah menghemat waktu, tenaga, kesehatan, dan uang untuk hal-hal yang berguna. Jangan memanjakan kekosongan.[]