Jakarta, Gontornews – Kehadiran ‘polisi tidur’ (speed bump) berfungsi untuk membuat pengemudi kendaraan mengurangi kecepatan pada daerah-daerah tertentu. Harapannya, laju kendaraan dapat terkontrol dan tercipta lingkungan yang aman, serta kondusif.
Namun, tak serta merta masyarakat dapat begitu saja membuat polisi tidur. Karena tak semua jalan bisa dipasang marka jalan yang berbentuk benjolan panjang itu.
Sebagaimana dilansir kumparan.com, mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan nomor 82 tahun 2018, khususnya Pasal 40 ayat 1, polisi tidur dipasang pada area parkir, jalan privat, atau jalan lingkungan terbatas, dengan kecepatan operasional di bawah 10 km per jam.
Tidak hanya terkait dengan lokasi jalan saja, pembuatan polisi tidur juga ada aturannya, mulai dari bahan pembuatnya, dan ukuran konstruksinya. Ini dimaksudkan agar pengendara tetap nyaman tanpa harus sampai merusak kendaraan karena polisi tidur dibuat terlalu tinggi.
Mengacu pada Pasal 3 peraturan itu, polisi tidur berbentuk penampang melintang dengan spesifikasi sebagai berikut:
a. Terbuat dari bahan badan jalan, karet, atau bahan lainnya yang memiliki pengaruh serupa.
b. Memiliki ukuran tinggi antara 8-15 cm, dengan lebar bagian atas 30-90 cm dengan kelandaian paling banyak 15 persen.
c. Memiliki kombinasi warna kuning atau putih berukuran 20 cm dan warna hitam berukuran 30 sentimeter. Kombinasi garis ini dicat melintang polisi tidur dengan sudut 30-45 derajat.
Fakta di lapangan, khususnya di kompleks-kompleks perumahan, polisi tidur dibuat secara asal sehingga membahayakan pengendara dan kendaraan.
“Berdasarkan aturan dishubdar, polisi tidur ada aturan bentuknya. Sehingga efek mencelakai pengendara sangat kecil. Masalahnya di sini, polisi tidur dibuat tidak berdasarkan ukuran dan ketentuan yang ada, sehingga banyak yang berbahaya,” papar Sony Susmana, Senior Instructor Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), seperti dikutip kumparan.com. []