Meski banyak kegiatan setiap hari, kekhasan Pondok Modern Darussalam Gontor terlihat dan dirasakan banyak orang ketika Ramadhan. Bulan suci tersebut merupakan momentum para pendiri Gontor menyampaikan wejangan, dan menjalankan tradisi luhur bersama orang-orang berilmu, seperti yang dituturkan Pimpinan sekaligus Pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal kepada Erdy Nasrul dari Majalah Gontor pada Ahad, 28 Januari 2024. Berikut ini petikan wawancara tersebut.
Apa yang dilakukan Pak Sahal dahulu dan Pondok Gontor menyambut Ramadhan?
Yang paling pertama itu tauhid yang dalam, yang luas. Jadi apa yang akan ditanya dan dijawab, tidak keluar dari tauhid. Bapak itu orangnya simple (sederhana). Tauhid itu simple. Gak neko-neko. Segala sesuatu dikerjakan secara simple. Orang kalau memahami lafadz tauhid dalam lafadz simple, tidak pakai wawancara sudah tahu.
Dalam bulan Ramadhan banyak orang beribadah: shalat, puasa, tadarus Al-Qur’an. Bertani, berusaha, ya simple.
Bapak dulu mendirikan pesantren ya simple. Tidak neko-neko, tidak maksa-maksa (diri sendiri, orang dan pihak lain). Juga tidak iri. Tidak tamak.
Ada orang kaya (misalkan datang ke Gontor), ya (Bapak) tidak taajub (kaget). Ada orang pintar ya tidak begitu juga. Karena Bapak menjaga tauhid. Orang kaya dan orang pintar ya banyak meninggalkan tauhid. Kemudian pikiran-pikirannya keluar dari tauhid.
Mengapa bisa begitu?
Karena mereka menerjang sana sini. Nabrak sana sini (maksudnya mereka melanggar aturan demi mewujudkan ambisi). Orang pintar nabrak sana nabrak sini bangga. Orang kaya, orang punya jabatan, orang dibilang kiai, dibilang ulama, nabrak sana nabrak sini. Itu merupakan gambaran orang-orang yang tidak simple.
Apa yang dilakukan Pak Sahal ketika Ramadhan?
Bapak berpuasa seperti orang-orang pada umumnya. Simple. Saya dulu rajin puasa (pada hari) Senin dan Kamis, rajin puasa Rajab, ketahuan Bapak, dilarang.
Mengapa dilarang ya Ustadz?
Menuntut ilmu itu sudah puasa. Orang (santri/pelajar) membaca kitab dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan tulus, meninggalkan makan, dan rutinitas lain, bahkan sampai menahan kentut dan segala yang membatalkan puasa, kemudian masuk kelas untuk belajar di dalamnya, itu sudah puasa….(kalau dalam keadaan itu masih ditambah puasa), malah menjadi tidak produktif, seperti orang shalat sambil menahan lapar, ya malah tidak khusyuk shalatnya. Tidak perlu melaparkan diri untuk shalat. Betul ini.
Bayangkan, in syaa Allah, kiai lho ya Bapak saya. Tapi saya puasa Senin Kamis dan puasa Rajab, dilarang. Ternyata, Pak Zar (KH Imam Zarkasyi, Red) ya sama. Yang namanya puasa (bagi santri dan pencari ilmu) itu belajar dengan keras, rajin dengan keras, baca (buku dan alam sekitar untuk tambah keimanan) dengan keras, konsentrasi keras, dan melakukan segala kebaikan dengan keras. Itu namanya puasa bagi orang yang menuntut ilmu. Jadi dalam keadaan menuntut ilmu, ya biasa saja. Belajar yang keras. Itu sudah puasa.
Bagaimana dengan aktivitas selama Ramadhan?
Ya menjalani segala kebaikan pada bulan Ramadhan seperti biasa. Ada shalat Tarawih, ada kuliah Shubuh. Bapak itu ngisi kuliah Shubuh di Masjid Atiq selama satu bulan (Ramadhan). Jadi sampai tahun 1960-an, Pak Sahal itu ngimami shalat dan memberikan kuliah Shubuh. Saya muadzinnya.
Ya simple saja seperti itu. Di rumah ada tadarus Al-Qur’an. Anak-anak (Pak Sahal) ngaji di sana. Saya dengan kakak-kakak saya ngaji di sana. Jam 21.00 WIB, Pak Syahir, bapaknya Ustadz Badrun, datang ke rumah. Beliau itu hafal Al-Qur’an. Kalau sudah datang, Bapak itu menyambut, “Pak Syahir monggo…”
Saya baca Al-Qur’an ayat sayaquulus sufahaa…Lalu Pak Syahir memperhatikan bacaan saya. Beliau tidak baca Al-Qur’an, cukup dengan melihat apa yang saya baca secara terbalik. Kalau ada yang tidak pas akan langsung dikoreksi. Begitulah Pak Syahir, penghafal Al-Qur’an. Sekarang ada anaknya, Ustadz Badrun (meneruskan jejak Pak Syahir) hafal Al-Qur’an juga.
(Bapak selama Ramadhan) tidak mengerjakan sesuatu yang istimewa, (misal) sampai tidak makan ini dan itu. Tidak. Intinya ada pada tauhid. Ente syahadat, puasa, zakat, haji, kalau tidak (dilandasi) tauhid, ya omong kosong.
Bapak itu simple dan disiplin. Berorganisasi ya pernah. Orangnya tidak mudah berubah. Mencari menantu, mencari besan, mencari ini itu, simple. (Pak Sahal mendidik) anak-anaknya, ya simple. Anak-anaknya belajar di Sekolah Muhammadiyah, (tapi) menantunya NU semua. Hehe… Sekarang menantu saya orang NU semua.
Shalat Shubuhnya masih pakai doa Qunut ya Ustadz?
(Pakai) Qunut. Di Gontor ya ada tradisi NU, adzan shalat Jumat dua kali. Shalat Shubuh ada yang pakai doa Qunut. Dzikir setelah shalat jamaah ya dengan bersuara yang didengar orang lain. Kalau ada orang ngomong soal NU, saya tanya kepada mereka, NU saya sama kamu tinggi mana, sini. Emangnya Gontor Muhammadiyah.
Begitu juga ketika ada orang yang berbicara tentang Muhammadiyah. Saya akan tanya, Muhammadiyah ente sama saya tinggian mana…(Tradisi) Muhammadiyah ya ada di sini, belajar tentang keislaman, belajar tentang pergerakan, membiasakan diri aktif dalam keorganisasian, dan lainnya. Makanya kalau mau lihat NU dan Muhammadiyah sekaligus lihat Gontor. Sekarang ini situasinya berubah tidak lagi seperti dulu. Karena neko-neko tadi. Tidak simple.
Seperti apa perjuangan Pak Sahal dulu membangun Gontor?
Bapak itu punya dua kader. Pertama, Pak Zar. Kedua, ibu saya (Sutichah). Ibu itu alumni Tarbiyatul Athfal Gontor. Dulu itu sebelum berdiri KMI sudah ada madrasah Tarbiyatul Athfal. Setelah itu baru ada KMI Gontor.
Setelah menjalani pendidikan di Solo, Pak Zar dikirim ke Padang. Mengapa ke sana? Karena di sana ada thariqatut tadris (metode belajar). Di sini tidak maju-maju karena Bapak sendirian, seakan-akan materi yang mau disampaikan kepada santri habis. Pak Zar cerita sendiri.
(Bapak itu) 25 tahun jadi kiai belum punya istri. Bapak itu mendirikan (menghidupkan lagi) Pondok (Gontor yang sebelumnya mati) pada umur 25 tahun. Bapak lahir 22 Juni 1901. Tahun dan bulan lahirnya sama seperti Bung Karno 6 Juni 1901. Pondok Gontor berdiri pada September 1926. Waktu itu belum menikah. Bapak (KH Ahmad Sahal) dan Ibu (Sutichah) menikah itu pada tahun 1930-an.
Bapak itu ilmunya merupakan hasil belajar di Siwalanpanji (Sidoarjo), Tremas, Duri Sawo, Langitan, wallahu a’lam. Apa yang didapat di sana itu seperti Tafsir Jalalain, Tajwid, Al-Qur’an, dan berbagai materi untuk mubtadiin (pemula). Makanya disebut Tarbiyatul Athfal. Tapi muridnya sudah besar-besar. Bapaknya Ustadz Abdurrahim Sholeh, Pak Syahir, itu sudah dewasa, tapi belajar sama Bapak. Kitabnya Sullamul Muta’allimin.
Bagaimana dengan thariqatut tadris?
Nah ini. Supaya semuanya tahu, datangnya direct method (thariqah mubasyirah/metode penerapan langsung), ini ada ceritanya.
Bapak itu lancar belajar Bahasa Belanda. Tapi sulit belajar Bahasa Arab. Mengapa begitu? Karena belajar Bahasa Arab pakai cara diterjemahkan ke Bahasa Jawa. Karena dulu belajar Bahasa Arab pakai cara lama atau thariqah qadimah. Dulu Bapak itu melihat orang semangat mengikuti kursus Bahasa Belanda, kemudian ikut. Cepat bisa.
Sementara itu para Trimurti menginginkan pondok ini harus maju. Kemudian bertiga (Pak Sahal, Pak Fananie, Pak Zar) bermusyawarah di Palembang. Keputusannya Pak Zar dikirim ke Padang. Di sana dipertemukan dengan Pak Mahmud Yunus untuk belajar thariqah tadris yang baru. Di sana itu Pak Zar belajar dan mengajar sekaligus sampai menemukan thariqah tadris yang baru.
Ini untuk pembelajaran Bahasa Arab?
Thariqah tadris ini bukan sekadar untuk Bahasa Arab. Waktu itu sudah ada Berlitz untuk pembelajaran Bahasa Inggris pada abad ke-19. Metode ini sudah berkembang dan menjadi tren metode pembelajaran Bahasa Inggris pada 1800-an. Di Mesir itu sudah marak pembelajaran Bahasa Inggris menggunakan Berlitz. Kemudian dikembangkan juga thariqah tadris Bahasa Arab yang baru, yaitu direct method atau thariqah mubasyirah.
Begitu dapat metode tersebut, maka diaplikasikanlah dalam pembelajaran bahasa asing di Gontor ini. Alhamdulillah, Pondok Gontor maju. Jadi tiga orang (Trimurti: Pak Sahal, Pak Fananie, Pak Zar) begitu kompak dalam bermusyawarah. Makanya kerukunan, toleransi, kekompakan, seperti begini, jarang didapat, sukar dicari, mahal harganya sampai sekarang. Kalau ini kita pegang, in syaa Allah Pondok (Gontor) ini (semakin) maju. Tapi kalau semuanya ingin maju sendiri, berbahaya.
Kembali ke Gontor, seperti apa suasana saat Ramadhan tiba?
Sampai kegiatan Ramadhan ya begitu itu. Banyak orang bilang, kalau ingin tahu Gontor maka datanglah pada Bulan Ramadhan. Ada kuliah Shubuh: santapan otak, bimbingan jiwa, tuntunan budi. Itu semua kuliah Shubuh Pak Sahal.
Supaya ente tahu, saya kan tidak pernah mengatakan Bapak saya, Bapak saya, Bapak saya… tapi yang saya teriakkan di BPPM di mana-mana, sebetulnya banyak dari situ (dari Pak Sahal). Tapi tidak menyebutkan Bapak saya.
Mengapa begitu?
Saya takut orang-orang mendengar dan mengikuti omongan saya karena (Bapak saya) Ahmad Sahal. Saya mengharapkan anak-anak mengikuti dan mengerti segala hal, karena hal itu benar. Ente mengamalkan apa yang saya pidatokan dan saya omongkan, itu bukan karena saya pimpinan pondok, tapi karena itu benar.
Qaala Muhammad Abduh, qaala Jamaluddin al-Afghani….apa semua orang senang dengan keduanya?
Saya bilang ke Husnan (Bey Fananie/cucu Pak Fananie), apakah yang saya catat, pidatokan di BPPM ada yang menyalahi pemikiran Pak Fananie? “Tidak ada Pak De,” kata Husnan.
Jadi orang menerima pidato, omongan, saya itu karena benar, bukan karena senang apalagi menyenangkan orang lain.
Ada orang bertanya apa hukumnya menyanyi? Saya tanya balik, apa ada orang hidup tanpa menyanyi? Simple tho. Ya, begitu yang ada di Gontor.
Orang yang melarang nyanyi itu tanathu’, mutanathi’in, atau ghuluw. Berlebih-lebihan. Orang ketika menggendong anak, ya menyanyi semisal membaca shalawat. Itu kan puji-pujian, tasliyah hati. Mereka turawwih nafsahu, menenangkan dirinya, beristirahat. Ya begitu. Simple…
Maksudnya simple bagaimana?
Islam itu simple. Hanifiyah. Saya tidak termasuk penganjur Islam wasathiyah. Tidak ada itu Islam wasathiyah. Yang benar wasathiyatul Islam. Islam itu sudah wasathiyah, tidak usah di wasathiyah-kan lagi. Ini Islam wasathiyah di Indonesia, nanti ada Islam wasathiyah di Mesir, Islam wasathiyah di Suriah, dan tempat lainnya. Tidak perlu, karena Islam itu sudah wasathiyah.
Ekstremisme atau aspek-aspek yang berlebihan itu tidak bisa masuk ke dalam Islam. Karena sejak awal itu sudah wasathiyah. Minhaj atau cara ber-Islam kita ya wasathiyah. []