يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!” (QS At-Taubah: 119)
Asbabunnuzul
Surat At Taubah ayat 119 ini turun sepaket dengan dua ayat sebelumnya. Tiga ayat, yakni ayat 117-119, turun berkenaan dengan tobatnya Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah.
Ketiganya tidak ikut Perang Tabuk. Ka’ab bin Malik sebenarnya telah mempersiapkan kendaraan perang dan perbekalan. Namun ia menunda-nunda. Ketika Rasulullah dan pasukan telah berangkat, ia berencana menyusul keesokan harinya. Ia masih sibuk dengan urusannya yang saat itu kebun-kebunnya sedang berbuah.
Hingga berlalu beberapa hari terdengar kabar Rasulullah dalam perjalanan pulang dari Perang Tabuk. Ka’ab sempat berpikir mencari alasan dengan berdusta. Ka’ab sadar, kalaupun ia bisa berbohong, Allah akan mengungkap kebohongannya.
Ketika Rasulullah tiba di masjid kemudian selesai shalat dua rakaat, orang-orang munafik yang tidak ikut berperang berdusta agar dimaafkan Rasulullah. Rasulullah pun tidak menghukum mereka.
Giliran Ka’ab, ia tidak mengemukakan alasan apa pun. Ia mengakui dirinya bersalah tidak berangkat. Rasulullah mendiamkannya. Rasulullah menyatakan bahwa Ka’ab telah berkata jujur. Beliau meminta Ka’ab pergi hingga Allah menurunkan keputusan-Nya.
Keputusan itu pun turun. Iqab (sanksi) atas Ka’ab, Murarah dan Hilal yaitu tidak diajak komunikasi kaum Muslimin selama 50 hari. Pada 10 hari terakhir, istrinya pun dilarang komunikasi. Ka’ab merasa bumi menjadi sangat sempit. Ia seakan hidup sendiri tanpa teman tanpa saudara. Di hari ke-50, Allah menurunkan Surat At Taubah ayat 117-119. Bahwa Allah menerima tobat mereka dan menyerukan untuk tetap jujur serta membersamai orang-orang yang benar dan jujur.
Dengan asbabunnuzul ayat ini, Ka’ab sangat bersyukur telah berkata jujur. Ia pun berjanji kepada Rasulullah untuk tetap memegang kejujuran sepanjang hayatnya.
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an, Surat At-Taubah ayat 119 maknanya: Baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keadaan. Hati mereka selamat dari niat buruk, berhati ikhlas, dan berniat baik.
Perlu diketahui bahwa kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa seseorang ke surga. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Artinya: “Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantar ke surga. Dan seseorang yang terus menerus berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan mengantar ke neraka. Dan seseorang yang terus menerus berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong).” (HR Bukhari dan Muslim)
Tafsir Surat At Taubah ayat 119 ini disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Tafsir Al Azhar dan Tafsir Al Munir.
Ada tiga poin penting dalam ayat ini yakni: perintah takwa, berlaku jujur, dan berjamaah bersama orang-orang yang jujur.
Makna Kejujuran
Pengertian jujur dalam Islam berasal dari bahasa Arab merupakan terjemahan dari kata Shidiq yang artinya benar dan dapat dipercaya. Sehingga, jujur secara bahasa dan istilah adalah perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan kebenaran.
Dalam Islam, jujur merupakan hal yang utama atau induk dari sifat-sifat terpuji (mahmudah).
Jujur adalah sikap yang sesuai antara perkataan dan perbuatan. Kejujuran erat kaitannya dengan hati nurani. Seseorang dikatakan jujur apabila ia berkata sesuai dengan kenyataan.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al-Ahzab: 70)
Kejujuran akan melahirkan kepercayaan yang merupakan fondasi utama untuk mencapai keberhasilan, kebahagiaan, ketenteraman serta mendatangkan cinta dan rahmat dari Allah. Sedangkan kebohongan sebagai lawan dari kejujuran hanya akan melahirkan kesengsaraan, kegelisahan dan ketidakpercayaan bahkan kebohongan dapat mendorong seseorang berbuat kemungkaran dan menjerumuskannya ke dalam api neraka.
Sebagian orang bijak bestari berkata, “Kejujuran menyelamatkanmu meski kau takut terhadapnya. Kebohongan melemparmu meski kau merasa aman dengannya.”
Demikian maka hendaklah sebagai Mukmin kita menjaga lisan agar selamat di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR Muslim No. 2988)
Imam Al-Ghazali membagi tingkat jujur sebagai berikut: Pertama, jujur dalam lisan atau ucapan, menyangkut dalam penyampaian informasi, apakah benar atau hoaks. Kedua, jujur dalam niat, mengenai keikhlasan di hati. Misal ketika beribadah, seseorang hendak mengharap ridha Allah SWT atau riya karena nafsunya.
Ketiga, jujur dalam tekad. Maksudnya, seberapa kuat keinginan seseorang untuk menggapai apa yang diharapkannya. Apakah ia bisa tergoyahkan atau bersungguh-sungguh. Keempat, jujur dalam perbuatan, perihal kesesuaian seseorang dalam menampilkan perilaku yang dilakukannya dengan apa yang di dalam hatinya.
Kelima, jujur dalam menerapkan maqamat dalam agama, seperti khauf (takut kepada Allah), dan raja’ (berharap hanya kepada Allah). Dikatakan bahwa tingkatan jujur inilah yang paling tinggi, dan biasa dilakukan oleh para ahli tasawuf.
Keutamaan Berlaku Jujur
Perilaku jujur akan mendatangkan sejumlah keuntungan atau balasan bagi pelakunya. Di antaranya: Pertama, kejujuran akan mendapatkan balasan kebaikannya. Allah SWT berfirman:
لِيَجْزِيَ اللّٰهُ الصّٰدِقِيْنَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ اِنْ شَاۤءَ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًاۚ
”Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya dan mengazab orang munafik jika Dia menghendaki atau menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab: 24)
Kedua, orang yang jujur akan memperoleh surga dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
قَالَ اللّٰهُ هٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصّٰدِقِيْنَ صِدْقُهُمْۗ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
”Allah berfirman, ’Ini hari yang kebenaran orang-orang yang benar bermanfaat bagi mereka. Bagi merekalah surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung’.” (QS Al-Maidah: 119)
Ketiga, diharamkam untuk masuk neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tiada seorang yang menyaksikan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah dengan penuh kejujuran dari hatinya, kecuali diharamkan oleh Allah terhadap neraka.” (HR Bukhari)
Keempat, kejujuran mendatangkan ketenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah hal yang membimbangkan kalian, menuju sesuatu yang tidak membimbangkan, sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan, dan kebohongan adalah kebimbangan.” (HR Turmudzi)
Kelima, kejujuran merupakan sebab dibangkitkannya seseorang bersama para Nabi, orang-orang syahid, dan orang-orang shalih. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari ini. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا
”Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisa’: 69)
Lalu bagaimana cara agar kita senantiasa jujur? Pertama, senantiasa bertutur kata yang baik. Allah SWT berfirman:
طَاعَةٌ وَّقَوْلٌ مَّعْرُوْفٌۗ فَاِذَا عَزَمَ الْاَمْرُۗ فَلَوْ صَدَقُوا اللّٰهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْۚ
”(Seharusnya, mereka memilih) ketaatan (kepada Allah) dan tutur kata yang baik. Apabila perintah (perang) ditetapkan, (mereka tidak menyukainya). Padahal, jika mereka benar (beriman dan taat) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS Muhammad: 21)
Kedua, senantiasa menepati janji. Allah SWT berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ
”Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (QS Al-Ahzab: 23)
Ketiga, senantiasa bertakwa di mana pun kita berada. Rasulullah SAW bersabda:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada.” (HR Tirmidzi)
Keempat, berdoa agar bisa senantiasa menjadi orang yang jujur. Allah SWT berfirman:
وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
”Katakanlah (Nabi Muhammad), ’Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(-ku)’.” (QS Al-Isra: 80)
Kisah Teladan
Abu Dujanah Simak bin Kharasha merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang sangat taat pada Allah SWT. Pria yang berasal dari kabilah Khazraj ini hidup serba kekurangan.
Kisah hidupnya membekas di hati Rasulullah. Bahkan, Rasulullah pernah menangis setelah mendengar cerita kelaparan yang dialami keluarga Abu Dujanah.
Suatu hari, Rasulullah menegur Abu Dujanah karena setiap usai menjalankan ibadah shalat Shubuh berjamaah, dia langsung pulang ke rumah. Abu Dujanah tak pernah menunggu pembacaan doa yang dipanjatkan Rasulullah selesai.
“Hai, apakah kamu ini tidak punya permintaan yang perlu kamu sampaikan pada Allah SWT sehingga kamu tidak pernah menungguku selesai berdoa. Kenapa kamu buru-buru pulang begitu? Ada apa?” tanya Nabi.
“Ya Rasulullah, kami punya satu alasan,” jawabnya.
“Apa alasanmu? Coba kamu utarakan!” perintah Nabi.
“Begini. Rumah kami berdampingan persis dengan rumah seorang laki-laki. Nah, di atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma menjulang, dahannya menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin bertiup di malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut saling berjatuhan, mendarat di rumah kami,” kata Abu Dujanah mulai bercerita.
“Ya Rasul, kami keluarga orang yang tak berpunya. Anakku sering kelaparan, kurang makan. Saat anak-anak kami bangun, apa pun yang didapat, mereka makan. Oleh karena itu, setelah selesai shalat, kami bergegas segera pulang sebelum anak-anak kami tersebut terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan kurma-kurma milik tetangga kami tersebut yang berceceran di rumah, lalu kami haturkan kepada pemiliknya,” sambungnya.
Abu Dujanah melanjutkan, suatu saat dia terlambat pulang ke rumah. Anaknya terbangun dan menemukan kurma tetangga yang jatuh dari pohonnya. Tak menunggu lama, sang anak langsung memakan kurma tersebut.
“Mata kepala saya sendiri menyaksikan, tampak ia sedang mengunyah kurma basah di dalam mulutnya. Ia habis memungut kurma yang telah jatuh di rumah kami semalam. Mengetahui itu, lalu jari-jari tangan saya masukkan ke mulut anakku itu. Kami keluarkan apa pun yang ada di sana,” jelasnya.
Abu Dujanah tak pernah membiarkan anaknya memakan kurma milik orang lain. Dia tak ingin makanan haram itu menyebabkan keluarganya mendapat siksaan pedih di akhirat kelak.
“Kami katakan, ‘Nak, janganlah kau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak’.” Abu Dujanah mengatakannya sambil menggigil.
Anakku menangis, kedua pasang kelopak matanya mengalirkan air karena sangat kelaparan. Wahai Baginda Nabi, kami katakan kembali kepada anakku itu, ‘Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak’.”
Sifat Qanaahnya membuat Rasulullah berkaca-kaca. Pandangan mata Rasulullah langsung berkaca-kaca mendengar pengakuan Abu Dujanah. Butiran air mata mulianya berderai begitu deras.
Rasulullah mulai mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu Dujanah. Abu Dujanah pun menjelaskan, pohon kurma tersebut milik seorang laki-laki munafik.
Tanpa basa-basi, Nabi Muhammad SAW mengundang pemilik pohon kurma. Rasulullah menawar pohon kurma dengan harga yang sangat tinggi.
“Bisakah jika aku minta kamu menjual pohon kurma yang kamu miliki itu? Aku akan membelinya dengan sepuluh kali lipat dari pohon kurma itu sendiri. Pohonnya terbuat dari batu zamrud berwarna biru. Disirami dengan emas merah, tangkainya dari mutiara putih. Di situ tersedia bidadari yang cantik jelita sesuai dengan hitungan buah kurma yang ada,” kata Rasulullah.
Pria munafik itu lantas menjawab dengan tegas, “Saya tak pernah berdagang dengan memakai sistem jatuh tempo. Saya tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan dan tidak pakai janji kapan-kapan.”
Tiba-tiba, Abu Bakar as-Shiddiq datang. Ia menegaskan langsung melunasi pembayaran pohon kurma tersebut.
“Ya sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat dari tumbuhan kurma milik Pak Fulan yang varietasnya tidak ada di kota ini (lebih bagus jenisnya),” ujar Abu Bakar.
Pria munafik terlihat sangat kegirangan. Dia akhirnya menyerahkan pohon kurma secara simbolis kepada Abu Bakar. Selanjutnya Abu Bakar menyerahkan pohon kurma kepada Abu Dujanah.
Demikian buah kejujuran dan kesabaran yang patut kita teladani.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS Ali Imran: 8) []