فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ
“Maka barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu lebih baik baginya”. (QS Al-Baqarah: 184)
Teks ayat ini secara korelasional berbicara tentang pilihan ibadah puasa bagi yang sakit, bepergian, atau tidak mampu menjalankannya; apakah ia tetap berpuasa, atau tidak berpuasa, dan atau membayar fidyah. Diingatkan di akhir ayat di atas, bahwa kerelaan hati lebih utama dalam mengerjakan berbagai jenis kebaikan. Sedangkan konteks ayat dapat dipahami bahwa menjalankan amal yang bersifat ‘khidmah’ pengabdian dan pelayanan secara sukarela merupakan amal yang sangat dianjurkan dan menjadi pilihan kebaikan, tentunya setelah selesai menunaikan kewajiban.
Syekh Wahbah Zuhaily dalam Tafsir Al-Wajiz memahami ‘tathawwu’ di ayat ini dalam arti memberi makan lebih dari satu orang miskin, atau melebihi dari ketentuan dan takaran fidyah, sehingga pahala yang didapat juga akan lebih utama dan lebih besar.
Kata kunci dari ayat di atas ada pada kata kerja ‘tathawwa’a’. Isim mashdarnya ‘tathawwu’, yang dimaknai dengan kerelaan hati atau amal yang bersifat sukarela. Di dalam Mu’jam Al-Ma’ani disebutkan di antara maknanya yang lebih umum adalah menjalankan sesuatu secara sukarela tanpa mengharapkan upah atau balasan, sebagaimana diperintahkan di Surat Yaasiin: 21:
ٱتَّبِعُوا۟ مَن لَّا يَسْـَٔلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Yaasiin: 21)
Ayat ini menegaskan pentingnya ketulusan dalam menjalankan setiap aktivitas dan tidak mengharapkan apalagi meminta imbalan materi. Ketulusan dan kesukarelaan lebih dominan pada mereka yang berkhidmah kepada orang lain. Tanpa keikhlasan, tidak mungkin seseorang mampu berkhidmah kepada sesamanya.
Riwayat ayat ini menyebutkan bahwa ketiga utusan yang datang kepada mereka tidak diindahkan, bahkan cenderung didurhakai. Maka datanglah dari ujung kota seorang laki-laki yang telah beriman kepada risalah nabi Isa, yang dikenal dengan Habib An-Najjar, bergegas menasihati penduduk negeri agar mengikuti para nabi yang diutus, karena mereka berkhidmah secara sukarela untuk mengajak kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Di dalam Tafsir As-Sa’di ditegaskan bahwa orang yang datang tersebut hendak menjelaskan dukungannya kepada para nabi utusan Allah SWT, dengan mengatakan: “Ikutilah orang yang tiada meminta balasan, dan tidak menginginkan harta ataupun imbalan dari kalian atas nasihat dan bimbingannya kepada kalian.”
Khidmahnya para nabi dan juru dakwah merupakan khidmah ilmu, nasihat, dan petunjuk ke arah jalan kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Pada tataran ibadah mahdhah, ‘tathawwu’ dimaknainya segala ibadah selain dari yang wajib atau sunnah, seperti shalat atau puasa tathawwu’. Namun amaliyah khidmah atau tathawwu’ dapat dipraktikkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Sejarah khidmah di masa Rasulullah SAW yang mentradisi dapat dijadikan acuan dan panutan, bagaimana para sahabat biasa melakukan amal khidmah kepada Nabi Muhammad SAW. Misalnya Anas bin Malik RA pernah berkhidmah kepada Rasulullah selama sepuluh tahun; melayani, membantu, dan menyiapkan semua kebutuhan baginda SAW.
“Aku telah menjadi khadim Nabi SAW (melayani secara sukarela) selama sepuluh tahun, namun selama itu beliau belum pernah berkata `Uff (ah..) kepadaku sekalipun. Juga tidak pernah menanyakan mengenai sesuatu yang aku lakukan kenapa aku melakukannya, dan tidak pula terhadap sesuatu yang aku tinggalkan, kenapa aku meninggalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan manusia yang paling baik akhlaknya.” (HR Tirmidzi)
Oleh karena itu, berkhidmah dalam beragam implementasinya bukan merupakan sesuatu yang baru, namun sudah menjadi tradisi masyarakat dari zaman Rasulullah SAW dan orang-orang shalih setelahnya. Khidmah dalam berbagai jenis dan bentuknya merupakan implementasi dari sabda Nabi SAW yang mengingatkan tentang sedekah untuk seluruh persendian manusia.
”Setiap persendian manusia ada sedekahnya setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya. Kamu mendamaikan di antara dua orang itu sedekah. Kamu membantu seseorang untuk menaikkannya di atas kendaraannya atau mengangkatkan barangnya di atasnya itu sedekah. Kalimat yang baik sedekah, pada tiap-tiap langkah yang kamu tempuh menuju shalat itu sedekah. Dan kamu membuang gangguan dari jalan itu sedekah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Konsep sedekah yang multijenis dan sasaran berdasarkan hadis Nabi SAW di atas, mengisyaratkan bahwa amal khidmah yang bersifat sukarela merupakan keniscayaan sebagai wujud dari rasa syukur atas semua anugerah Allah SAW. Di dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW membuat tolok ukur kebaikan seseorang dinilai dari sisi kemanfaatannya kepada orang lain. Sedangkan memberi kemanfaatan merupakan wujud nyata dari ‘khidmah’ seseorang.
خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia yaitu yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Tirmidzi).
Mafhum mukhalafah dari hadis tersebut berarti, seburuk-buruk orang adalah yang tidak memberikan manfaat, malah cenderung memudharatkan, mempersulit dan merugikan orang lain. Berarti tidak ada aktivitas ‘khidmah’ sama sekali yang pernah dijalankan dalam hidupnya. Karena kemudharatan sangat bertentangan dengan prinsip khidmah.
Oleh karena itu, budaya ‘khidmah’ yang mentradisi di lingkungan pesantren dapat menjadi ikhtiar yang positif untuk menghadirkan ketulusan dan kesukarelaan melebihi dari sekedar menjalankan yang wajib dan sunnah. Terlebih di era kontemporer saat ini, konsep khidmah sangat tepat untuk didengungkan kembali, di saat budaya individualistik dan egoisme cenderung dominan mewarnai kehidupan masyarakat.
Ditandai dengan sikap acuh tak acuh, abai dan tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Maka ‘Khidmah guru/kiai’, khidmah di pesantren, di sekolah, di almamater, di kantor, di lingkungan masyarakat dan sebagainya merupakan tradisi yang layak untuk dipertahankan dan dijadikan sebagai budaya ‘tathawwu’ yang bernilai kebaikan dan keutamaan dari Allah SWT. []