Jakarta, Gontornews -– Muhammadiyah membeberkan alasan ketimpangan ekonomi di Indonesia. adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan (STEIAD) Jakarta, Mukhaer Pakkanna yang mengungkapkan bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia stagnan di angka gini rasio 3,93.
Dalam penjelasannya, Mukhaer mengungkapkan bahwa angka inflasi Indonesia yang diperparah dengan rendahnya daya beli masyarakat menjadi alasan ketimpangan ekonomi Indonesia secara umum.
“Daya beli masyaraka terpukul akibat kenaikan harga yang diatur pemerintah. Sifatnya lebih struktural dan administratif,” ungkapnya sebagaimana dilansir muhammadiyah.or.id
Mukhaer juga menyatakan bahw akenaikan tarif dasar listrik (TDL) ikut menambah lebar gap ekonomi antar masyarakat.
“Kenaikan TDL dalam dua tahun berturut-turut secara akumulatif memukul daya beli rakyat.”
“Itulah yang mengonfirmasi kenapa inflasi rendah dalam satu semester. Tapi, inflasi rendah tidak selamanya positif jika diiringi daya beli yang jatuh,” tambahnya.
Penyebab ketimpangan yang kedua adalah faktor struktural. Ketimpangan ekonomi dalam periode 1990-2000 lebih rendah ketimbang periode 2000-2016 yang mengindikasikan bahwa reformasi tidak membawa masyarakat mekin sejahtera.
“Saat ini, justru yang kayak makin kaya dan yang miskin makin miskin. Yang kaya makin didukung oleh elit politik yang berkuasa.”
“Justru yang ikut kaya adalah partai politik (parpol) yang berkuasa. Artinya, ketimpangan terjadi selama satu dasarwarsa ini lebih disebabkan faktor struktural,” jelasnya.
Bahkan, faktor struktural ini mengarah pada pemberikan kekuasaan politik kepada para pemilik modal.
“Terjadinya simbiosis mutualisme antara penguasa politik dan penguasa modal. Itulah penyebab akar ketimpangan,”
Mukhaer menambahkan bahwa perubahan format politk merupakan hal mendesak yang perlu dilakukan untuk membatasi penguasan aset dan kekayaan pemilik modal raksasa.
“Perlu kebijakan affirmative action dengan membuat model partnership antara pemilik modal raksasa dan rakyat dalam posisi yang sama, tidak dalam posisi subordinat. Pemilik modal jangan melihat rakyat dalam posisi yang given tapiharus dilihat dalam yang bisa diubah. Karena kebijakan pemilik modal tidak semata charity,” pungkasnya. [Mohamad Deny Irawan]