Phubbing kini menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Tidak hanya di rumah, sekolah, kampus, kantor, dan di tempat-tempat umum, fenomena phubbing juga terjadi saat khatib menyampaikan khutbah Jumat. Apa itu phubbing?
Sejak smartphone mudah diperoleh dan internet gampang diakses, kehidupan sosial masyarakat di Tanah Air berubah. Banyak orang, khususnya generasi milenial, asyik dengan dunianya sendiri. Acuh. Tidak peduli dengan keadaan sekitarnya.
Webershandwick, perusahaan public relations dan pemberi layanan jasa komunikasi menyebutkan, pada tahun 2013, di Indonesia ada sekitar 65 juta pengguna facebook. Data ini kemudian meningkat drastis dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, lebih dari setengah penduduk Indonesia atau 132,7 juta telah terhubung ke dunia maya karena internet.
Gadget yang terintegrasi dengan situs jejaring sosial seperti facebook, tweeter, WhatApps (WA), dan line, seolah membawa dunia lain ada dalam genggaman manusia. Betapa tidak, hanya dengan menggerakkan jempolnya, jutaan orang dari seluruh penjuru dunia bisa ada di genggaman. Dalam hitungan detik pula manusia bisa mendapatkan segalanya lewat gadget dan internet yang ada di tangannya.
Peningkatan jumlah pengguna internet ini tak disadari telah mempengaruhi tradisi komunikasi antarmanusia zaman now. Karena ini orang yang berada di dekatnya seolah jauh di sana. Tapi, sebaliknya yang jauh di sana baginya sedekat handphone dalam genggamannya.
Di jalanan dulu orang-orang berdiri tegak dan memperhatikan sekitarnya saat sedang berjalan kaki, tapi apa yang mereka lakukan setelah ada gadget? Sibuk dengan gadget-nya bukan? Saat makan pun demikian, handphone masih digenggamnya.
Lain dulu lain sekarang. Seolah melebihi kebutuhan makan dan minum, melepas gadget untuk berbicara dengan lawan bicara yang ada di depannya sepertinya sulit dilakukan. Bisa diperhatikan, untuk urusan bicara saja, pasangan atau sekumpulan teman yang seharusnya saling berbincang akrab, ada saja yang sibuk memainkan ponselnya, meskipun bukan soal pekerjaan yang mendesak.
Karena fokusnya pada gadget dan media sosial yang diaksesnya, kalimat-kalimat yang terkadang muncul adalah “ha, apa, sebentar, mengapa.” Itulah yang terjadi belakang ini. Kebosanan seseorang saat berbincang tatap mata dan beralih berbincang dengan orang lain via smartphone dinamakan Phubbing, yang merupakan kependekan dari Phone Snubbing.
Istilah Phubbing ini resmi terdaftar dalam kamus Macquarie. Perilaku semacam ini dapat pula disebut “autis”. Meski bukan autis secara medis. Tapi istilah ‘autis’ ini dikecam oleh banyak orang karena menyinggung makna autis yang sebenarnya. Istilah tersebut menjadi kasar dan tidak digunakan lagi oleh banyak orang.
Dikutip CNN istilah phubbing kembali viral dengan adanya studi yang dilakukan oleh Dr James Roberts dan Dr Meredith David dari Baylor University di Texas, Amerika Serikat, seperti dikutip dari Dailymail. Phubbing yang sekarang terjadi ternyata cukup memprihatinkan karena dilakukan saat momen kebersamaan terjadi.
Biasanya Phubbing dilakukan oleh pasangan dalam hubungan percintaan atau para sahabat yang sedang berkumpul. Dari 143 individu yang diujicobakan, ternyata 70% tidak bisa lepas dari telepon genggam dan melakukan phubbing. Sedangkan 450 responden yang menjadi korban phubbing, 46 persen nyata-nyata menjadi korban dari pasangannya sendiri dan sisanya langsung memarahinya.
Semua berubah sejak ada telepon pintar. Terlepas dari banyaknya aplikasi media sosial untuk mengobrol yang menyenangkan dan adiktif, ternyata phubbing juga menjadi alasan bagi seseorang untuk menjauhkan lawan bicaranya dengan sengaja. Phone Snubbing ini merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Tidak hanya di rumah, di jalan, restoran, kuliah, fenomena phubbing juga terjadi saat khatib menyampaikan khutbah Jumat.
Mungkin kita sering melihatnya. Saat khatib sedang menyampaikan materi atau khutbah, seringkali didapati di antara jamaah, baik dari kalangan tua maupun muda, memainkan smartphone baik itu untuk sekedar SMS, buka WhatsApp, maupun hal lainnya.
Terkait hal ini Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) DKI Jakarta, Dr H Atabiq Luthfi MA, mengatakan semua aktivitas selain mendengarkan khutbah saat khatib naik mimbar dilarang. “Begitu pesan Rasulullah SAW, malah disebut ‘tidak ada nilai Jumatnya’,”ungkapnya kepada Majalah Gontor.
Dulu konteksnya berbicara atau menegur, sekarang secara analogis semua masuk kategori yang sama, sehingga hukumnya sama. “Secara fiqih memang tidak ada yang mengatakan batal tetapi sia-sia seperti orang puasa tapi tidak meninggalkan pembicaraan atau perbuatan sia-sia,” paparnya.
Menanggapi fenomena tersebut salah satu pengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta Tajudin MA juga mengungkapkan, gadget dan internet memiliki banyak manfaat jika digunakan sebaik-baiknya. “Di sisi lain kecanggihan teknologi informasi ini memiliki sisi negatif jika tidak digunakan dengan baik dan sewajarnya,” ungkap Wakil Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta itu.
Kandidat doktor pengkajian Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai, sibuk dengan gadget saat bertatap muka hingga tidak memperhatikan obrolan lawan bicaranya merupakan tindakan yang tidak berakhlak. “Boleh pakai gadget, tapi pilihlah waktu yang tepat, gunakan seperlunya. Kalau ada yang mengajak ngobrol ya dengarkan baik-baik. Kalau ada khatib berkhutbah ya perhatikan,” ungkapnya kepada Majalah Gontor. []