Politik saat ini sangat sarat dengan permainan uang (money politic), baik pemilihan presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati, bahkan pemilihan kepala desa. Karena itu, perlu solusi agar politik di Indonesia lebih sehat dan bermartabat.
Seolah sudah menjadi tradisi, para calon pemimpin yang hendak maju dalam Pilkada membagi-bagikan uang kepada rakyat. Bahkan, ada istilah serangan fajar, yaitu uang yang dibagi-bagikan di pagi hari tepat pada hari pemilihan.
Bisa dibayangkan, berapa kira-kira uang yang harus disiapkan seorang kandidat untuk membeli suara tersebut. Belum lagi harus membayar para saksi, biaya akomodasi di suatu daerah pemilihan, biaya bikin spanduk, baliho, poster, dan iklan di media cetak maupun elektronik.
Jika dikalkulasikan, jumlahnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliaran rupiah. Semua tergantung seberapa tinggi jabatan yang akan diperolehnya kelak.
Lantas dari mana uang sebanyak itu berasal? Tentu, mereka dibantu orang-orang berkepentingan di belakangnya. Semua pinjaman itu tidak gratis. Kalau nanti sudah jadi pejabat, tentu dia bisa bikin segala macam surat, baik surat izin atau kebijakan yang akan sangat menguntungkan para investor. Itu keuntungan minimal yang sudah terbayang.
Peneliti Politik LIPI Prof Dr R Siti Zuhro MA menilai, praktik politik uang akan marak dijumpai pada pelaksanaan Pilkada 2018. Faktor uang sulit dihindari dalam kontestasi Pilkada di Indonesia. “Pemilu saat ini butuh biaya politik yang luar biasa. Jadi kandidat itu duit yang bicara, kita tak bisa menafikan itu,” ujar istri Abdussomad Abdullah, peneliti LIPI.
Menurutnya, politik uang dalam Pilkada tidak akan menghasilkan pemimpin daerah terbaik. Mereka akan tersandera untuk balik modal ketimbang menjalankan kinerja yang baik bagi masyarakat.
Selain itu, politik uang akan menenggelamkan potensi-potensi calon pemimpin besar yang terkalahkan karena kurang modal.
Ketua Umum Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsudin menambahkan, kini kualitas demokrasi Indonesia menurun karena banyak praktik menyimpang dalam tiap perhelatan pemilihan umum. Karena itu, kualitas penegakan hukum dan hukumnya sendiri harus tegas.
Ia menyarankan kepada seluruh masyarakat agar menjadikan tahun politik 2018 dan 2019 sebagai momentum untuk membangun sikap politik yang lebih beradab.
Dengan sistem demokrasi yang bisa dibeli, para pemodal sangat diuntungkan. Mereka tidak usah repot-repot menyogok para pejabat dengan tarif mahal dan belum tentu aman dari KPK. Mereka tinggal menyiapkan kandidat pejabat sejak masih belum menjadi penguasa.
Itulah jalan teraman yang bisa mereka tempuh. Jadi, jelas sumber uang itu dari pemodal yang berkepentingan ingin menguasai uang rakyat, bukan ingin membantu rakyat.
“Jika kita sudah tahu dari mana sumber uang yang dibagi-bagikan menjelang Pilkada itu, maka haram hukumnya menerima uang tersebut,” ujar Ustadz Ahmad Sarwat, Lc MA, direktur Rumah Fiqih Indonesia.
Ia menjelaskan, paling tidak ada lima kesalahan yang telah kita lakukan saat menerima bagi-bagi uang dari kandidat tersebut. Pertama, kesalahan kita adalah memilih kandidat yang dari awal sudah terikat dengan para investor. Mau tidak mau, dia pasti akan bikin kebijakan licik dan terselubung yang pasti harus menguntungkan investornya.
Kedua, kalau pun kita hanya ambil uangnya dan tidak pilih orangnya, kita juga tetap salah. Sebab sejak awal kita sudah menipu sang kandidat. Pura-pura mau memilih, tetapi ternyata kita tidak memilih.
Ketiga, sumber dan asal-usul uang yang dibagi-bagi itu jelas sudah haram karena menjadi bagian dari sogokan prematur, demi membeli sang kandidat.
Keempat, kalau kandidat itu kalah dan tidak jadi pejabat, maka dia akan mati berdiri atau bahkan gantung diri sebab hutang yang sangat banyak.
Kelima, jika kita membiarkan mereka dan ikut menikmati uang itu, maka dosa kita adalah dosa mendiamkan kebatilan sekaligus menikmati uang kebatilan itu.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa politik uang itu haram hukumnya. “Jika ada yang bilang bahwa politik uang, mahar politik, dan sejenisnya itu halal, alasannya karena demi mencapai tujuan yang lebih besar, maka pendapat itu salah besar,” tegas pria kelahiran 19 September 1969 itu.
Dosa mengubah fatwa hukum yang haram menjadi halal itu sangat besar. Sebagaimana kaum Yahudi dijuluki sebagai kaum yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim), bukan karena mereka tidak tahu, tetapi justru karena mereka sudah tahu antara halal dan haram. Namun, mereka mengubah fatwanya dari yang haram menjadi halal.
Politik uang dalam Pilkada terjadi akibat sistem liberalisasi politik melalui pemilihan langsung. Sistem inilah yang menjadi biang keladi permasalahan tingginya biaya di setiap pelaksanaan pemilihan umum.
Sistem demokrasi liberal ini layak disebut demokrasi bandar karena demokrasi dari bandar, untuk kepentingan bandar, dan melalui rakyat.
Sedangkan dampaknya adalah kerusakan akidah, miras, prostitusi, mencuri harta dan lahan rakyat, dan lainnya. Karena itu, salah satu solusi jitunya adalah dengan menerapkan demokrasi gotong-royong atau urunan. Artinya, umat yang membiayai sehingga pemimpin akan bertanggung jawab kepada umat.
Dengan begitu, si kandidat akan jauh lebih terbantu dan akan berusaha keras untuk bisa membahagiakan rakyat. Ironisnya, saat ini umat menyerahkan urusan politik kepada partai Islam dan tidak mau mengambil hak suaranya. Padahal, itu merugikan dirinya sendiri. Lantas bagaimana sikap umat menghadapi politik uang ini?
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam acara ulang tahun ke-50 Pesantren Daar el-Qolam Gintung, Tangerang, mengatakan, apabila umat bersatu dengan Islam, maka Indonesia akan jaya. Jika umat betul dalam bersikap, bertindak, dan berpolitik, maka Indonesia akan jaya. Kekayaan Indonesia tidak akan dikuasai para bandar, namun bisa dinikmati seluruh rakyat.
Ustadz Bachtiar Nasir juga menegaskan, kekuatan Muslim Indonesia sangat besar. Jika potensi ini dikelola dan diarahkan ke hal yang positif, tentu hasilnya akan sangat baik dan maksimal. Untuk menghindari praktik politik uang, para pemilih harus berhati-hati dan waspada untuk tidak menerima iming-iming dalam bentuk apapun. Pemerintah bekerjasama dengan Parpol harus giat memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar rakyat semakin cerdas berpolitik dan cerdas memilih pemimpin.
Jadi, pengawasan terhadap Pilkada menjadi tanggung jawab kita bersama. Praktik politik uang harus dicegah dan dilawan. Rakyat pun harus berani mengatakan tidak untuk politik uang.[]