Bangunan asrama dan kelas hancur akibat diterjang gempa-tsunami Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu. Meski demikian, tidak ada yang perlu diratapi dan ditangisi karena Pondok Pesantren Wali Songo akan selalu ada untuk mendidik masyarakat Sulawesi Tengah meski dengan segala keterbatasannya.
Kala musibah gempa dan tsunami menerjang Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal, langsung mengingstruksikan kepada Wakil Pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor 13 Ittihadul Ummah di Poso, Ustadz Cecep Sobar Rohmat, untuk membantu para korban gempa yang terdiri dari beberapa santri, wali santri dan pondok alumni.
“Arahan pertama pimpinan adalah membantu segala yang dibutuhkan oleh pondok al-Istiqamah Ngatabaru Palu sebagai salah satu pondok alumni yang terkena gempa serta beberapa pondok yang di dalamnya terdapat guru-guru pengabdian seperti pondok pesantren Wali Songo Palu dan sejumlah rumah wali santri,” ungkap Ustadz Cecep kepada Majalah Gontor tepat 7 hari setelah musibah gempa-tsunami di Palu, Sigi dan Donggala terjadi.
“Setelah kami melihat keadaan, ternyata di Palu masih memerlukan relawan untuk penanganan korban gempa sehingga kami putuskan setelah konsultasi dengan pimpinan untuk membuat posko relawan Gontor dan ternyata ada beberapa alumni dan wali santri yang menjadi korban gempa,” tambah Ustadz Cecep.
Benar saja, saat musibah menerjang, Pondok Pesantren Wali Songo yang berada di dua dari tiga titik di Sulawesi Tengah sangat terdampak. Menurut keterangan dari Pengasuh Ponpes Wali Songo 2 Sidondo, Sigi, Muhammad Rizki, gempa tersebut menyebabkan empat lokal bangunan di Ponpes Wali Songo 2 roboh dan rusak berat.
“Bangunan yang roboh total atau rusak berat ada empat lokal. Tiga lokal asrama dan ruang guru serta satu lokal asrama putri,” ungkap Wakil Pengasuh Ponpes Wali Songo 2, Muhammad Rizki kepada Majalah Gontor.
“Wali Songo 3 yang terdampak cukup parah. Semua bangunannya hancur sehingga semua bangunan dirobohkan kecuali masjid. Alhamdulillah, tidak ada korban di sana. Sedangkan untuk Wali Songo 1 Poso tidak ada bangunan yang rusak,” tambah Rizki.
Lebih lanjut, Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor 2007 itu menjelaskan, hampir sebulan setelah gempa, kegiatan pondok mati total. Akibatnya, Ponpes Wali Songo ditinggal hampir sebagian besar santrinya. Namun, mereka tetap berusaha menghubungi para wali santri untuk meyakinkan para santri agar melanjutkan pendidikannya di Pesantren yang berdiri sejak tahun 1987 itu.
“Pascagempa Palu, kurang lebih hampir satu bulan kegiatan pondok mati. Namun, atas dasar keprihatinan kami terhadap pondok yang baru dirintis pada tahun 2015, kami berusaha menghubungi kembali seluruh wali santri, baik melalui sambungan telepon atau berkunjung ke rumah untuk mengajak kembali anaknya agar mau kembali belajar di Wali Songo,” papar Rizki.
“Untuk meyiasati sarana pondok yang rusak khususnya asrama santri sebelum datangnya bantuan, pihak pondok menginstruksikan penggunaan ruang belajar atau kelas sebagai asrama sementara. Sedangkan untuk kelas, kami menggunakan teras asrama sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar,” jelasnya.
Bermula di Poso
Mulanya, Ponpes Wali Songo berdiri di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah pada tahun 1987. Akan tetapi, konflik horizontal yang terjadi pada tahun 1998-2000 di wilayah tersebut telah menyebabkan mereka hijrah ke Palu pada tahun 2002. Pondok ini didirikan oleh dua bersaudara yaitu almarhum KH Moh Marlan As-Syarief dan Moh Noeryatim.
Secara badan hukum, Pondok Pesantren Wali Songo berada di bawah naungan Yayasan Pembina Ummat Wali Songo (YPUWS) dengan KH Mochtar Ghozali MPd didapuk sebagai ketua yayasan sekaligus merangkap sebagai Pengasuh Wali Songo 3 di Palu.
Terkait dengan penamaan Wali Songo, para pendiri menisbatkan nama tersebut pada semangat Wali Songo yang memelopori Islam serta perkembangannya di Indonesia.
“Pendiri menamakan Wali Songo karena mereka merupakan cikal bakal perkembangan Islam di Indonesia. Para pendiri berharap pengambilan nama tersebut dapat digunakan sebagai cikal bakal perkembangan Islam khususnya di Kabupaten Poso yang saat ini bergerak di bidang pembinaan umat,” tutur Muhammad Rizki.
Sejak saat itu, Ponpes Wali Songo mendapatkan hibah berupa sebidang tanah di Kabupaten Sigi dan melanjutkan proses belajar mengajar yang sempat terhambat akibat konflik horizontal yang terjadi di Poso. Hingga saat ini, Ponpes Wali Songo telah memiliki tiga cabang yakni Pondok Pesantern Wali Songo 1 di Poso, Pondok Pesantren Wali Songo 2 di Sigi serta Panti Asuhan Wali Songo 3 di Palu.
Kehadiran Ponpes Wali Songo disambut dengan suka cita masyarakat Sulawesi Tengah. Mereka sangat antusias untuk memasukkan putra-putrinya di pondok pesantren. Tidak hanya itu, Ponpes Wali Songo juga menginisiasi sejumlah kegiatan kemasyarakatan seperti pembinaan majelis taklim serta TPA (Taman Pengajian Alquran) bagi masyarakat sekitar pondok.
Dalam menerapkan sistem pendidikannya, Ponpes Wali Songo menggunakan tiga kurikulum pendidikan sekaligus: kurikulum KMI Gontor, kurikulum Kementerian Agama serta kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, Ponpes Wali Songo juga mengembangkan potensi agro wisata. Mereka mendidik santri bercocok tanam palawija dan budidaya ikan.
“Seluruh pengelolaannya melibatkan santri,” ujar pria kelahiran Rangkasbitung, 13 September 1988, itu.
Untuk pengembangan, Ponpes Wali Songo juga tengah mempersiapkan pengembangan sayap dakwah ke sejumlah daerah di Sulawesi Tengah seperti di Poso, Donggala, Sigi dan yang terbaru yaitu pembangunan Ponpes Wali Songo 4 di Desa Melei Kabupaten Poso.
Saat ini, terkhusus Ponpes Walisongo 2 yang berdiri pada tahun 2015, jumlah santrinya meningkat dari tahun ke tahun. Pascagempa dan tsunami, jumlah santri 51 mukim dan 84 santri nonmukim.
Ponpes Wali Songo mendatangkan guru dari sejumlah daerah dan beragam disiplin keilmuan. Ada pula beberapa guru alumni PMDG sebagai penunjang sistem dan kurikulum PMDG di Ponpes Wali Songo.
Rizki berpesan, meski bencana menghantam, seluruh elemen pimpinan pondok pesantren Wali Songo maupun guru tetap menunjukkan raut wajah optimis serta tetap bersemangat dalam mendidik siswa dan santri meski dengan segala keterbatasan yang ada. Baginya, mendidik santri merupakan perjuangan maka harus dihadapi secara maksimal.
“Para pendidik, di manapun berada, agar tetap senantiasa bersemangat dalam mendidik para santri meskipun dengan segala keterbatasannya. Karena pendidikan yang baik berawal dari seberapa tinggi jiwa semangat pendidiknya,” pungkasnya mengutip pernyataan salah seorang pendiri PMDG, KH Ahmad Sahal, yang berbunyi Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawane Pisan yang berarti harta, badan, pemikiran, kalau perlu seluruh nyawa sekalian (akan kuserahkan).
Bagi Ponpes Walisongo, bencana bukan merupakan akhir dari segalanya. Bencana laksana ujian yang mampu meningkatkan kualitas pribadi penghuni pesantren menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. [Mohamad Deny Irawan]