Tangerang, Gontornews — “Optimalisasi pengumpulan zakat di Indonesia sangat prospektif. Hal ini didukung dengan adanya regulasi yang mengintegrasikan agama dan negara dalam menghidupkan hukum di masyarakat (living law),” terang Dr Holilur Rahman kepada Gontornews.com.
Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional dapat efektif jika mengandung substansi mengikat, daripada hukum agama bersifat ketaatan saja.
Kesimpulan tersebut didukung melalui hasil penelitian antara lain, pertama, konsep peran negara dalam pengelolaan zakat merupakan bentuk relasi negara dan agama yang mengintegrasikan agama dan negara.
Paradigma simbiotik dalam relasi negara dan agama memberikan kewenangan pengumpulan zakat pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Sehingga agama dan negara walaupun dua entitas yang berbeda, namun keduanya saling membutuhkan.
Dengan optimalnya pengelolaan zakat, lanjutnya, tuntutan agama dalam melaksanakan ibadah dapat terlaksana dengan baik. Khususnya terkait hal menjaga harta sebagai bagian dari tujuan-tujuan syariat. “Maka peran negara dalam Islam dilakukan sebagai bentuk aktualisasi syariah,” jelas ayah dua anak tersebut.
Adanya peran negara terhadap pengelolaan zakat secara filosofi dianalisis menggunakan teori diyani qada’i. Berdasarkan analisis teori diyani qada’i, hukum zakat sebagai bagian dari hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber hukum nasional.
“Hal ini mengingat dimensi yang terkandung dalam pengelolaan zakat memuat beberapa hal,” sambung dosen Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam (STEBANK) itu.
Satu, perintah ibadah yang syarat dengan ritual-muamalah. Dua, ajaran yang pelaksanaannya tidak hanya urusan pribadi tetapi menyangkut hubungan masyarakat dan negara.
Tiga, kewenangan amil yang menyangkut hak dan kewajiban muzaki-mustahik. Empat, efektivitas pelaksanaannya tergantung amil zakat. Dengan demikian, hukum zakat menjadi hukum nasional karena entitas zakat mengandung integrasi agama dan negara.
Secara aplikatif bentuk peran negara terintegrasi terhadap amil zakat dengan ditetapkannya regulasi zakat. Regulasi zakat sebagai bagian esensial kewenangan amil dalam mengelola zakat berupaya mewujudkan tujuan bernegara dalam UUD (Undang-Undang Dasar) RI tahun 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum.
Selanjutnya konstitusi berupaya mengaktualisasi tujuan bernegara dengan menjamin fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Menjamin fakir miskin dan anak terlantar merupakan bagian dari tujuan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.
Melalui UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan turunan perundang-undangan lainnya menunjukkan implementasi keberpihakan dan peran negara dalam usaha mewujudkan tujuan bernegara sesuai dengan konstitusi.
Kesimpulan kedua, bentuk kewenangan amil dalam pengumpulan zakat melalui regulasi UU No. 23/2011 dan turunan perangkat peraturan perundang-undangannya telah mengatur tentang kewenangan pengelolaan zakat.
Dijelaskan bahwa otoritas pengumpul zakat adalah pemerintah melalui badan atau lembaga yang secara resmi dibentuk atau diakui oleh negara yakni BAZNAS dan BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten dan LAZ.
“Namun bentuk regulasi kewenangan amil zakat dalam mengoptimalkan kelembagaan zakat masih bersifat himbauan (voluntary), belum bersifat wajib dalam hukum positif (obligatory),” tambah Holil, ayah dua orang anak ini.
Regulasi zakat dalam UU zakat, PP, dan Inpres secara umum sudah memberikan kewenangan yang bersifat atribusi kepada BAZNAS sebagai koordinator dalam pengelolaan zakat secara nasional.
Kewenangan bersifat delegatif BAZNAS kepada BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten /kota dan LAZ untuk membantu pengumpulan di wilayah masing-masing.
Dan kewenangan bersifat mandat BAZNAS kepada muzaki untuk menghitung dana zakatnya. Sementara itu, tidak ada mandat atas muzaki untuk membayarkan zakat kepada amil.
Adapun Kementerian Agama memiliki kewenangan yang bersifat atributif sebagai regulator dalam membentuk dan memberikan izin atas BAZNAS provinsi dan LAZ. Selain itu Kemenag memiliki kewenangan bersifat delegatif kepada Dirjen Bimas Islam dalam pembentukan BAZNAS kabupaten/kota.
Ketiga, strategi pengumpulan zakat oleh BAZNAS sebagai proses integrasi dan sinergi dari sisi manajemen dan kesesuaian syariah. Hal ini diupayakan dengan menetapkan rencana strategis tahunan dan jangka panjang.
Kemudian merealisasikan dalam tiga poin utama, yaitu perluasan lingkup zakat, penentuan target pengumpulan zakat, dan sosialisasi pada masyarakat.
Upaya strategi yang dilakukan BAZNAS dalam kewenangannya berpengaruh signifikan dalam optimalisasi kelembagaan zakat, namun kurang optimal di dalam mempengaruhi pengumpulan zakat.
Hal ini dikarenakan aspek regulasi dan keterkaitan dengan instansi lain seperti DPR, KEMENAG, Pemerintah Daerah, serta DPRD, yang eksistensinya turut serta mempengaruhi pengumpulan zakat secara langsung.
Dr Kholil, pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syaikhona Cholil (STITS), mengutarakan, “Regulasi zakat berpengaruh signifikan terhadap kelembagaan zakat, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap penguatan kewenangan amil dalam pengumpulan zakat.”
Penguatan kelembagaan amil zakat dapat dibuktikan dengan adanya regulasi zakat berupa keputusan Menteri Agama dan tentang pembentukan dan restrukturisasi BAZNAS Provinsi. Sehingga pada tahun 2015 terbentuk 34 BAZNAS provinsi.
Lebih lanjut keputusan Dirjen Bimas Islam tentang pembentukan dan restrukturisasi BAZNAS kabupaten/kota menghasilkan pembentukan BAZNAS kabupaten/kota sebanyak 515 di tahun 2016. Dari hasil upaya Kemenag dan Dirjen Bimas Islam amil zakat yang aktif sebanyak 35 BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebanyak 466.
Terkait hal pengumpulan zakat walaupun sudah ada UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, kemudian diterbitkan PP Nomor 14 Tahun 2014 dan Inpres Nomor 3 tahun 2014, namun capaian pengumpulan zakat meningkat setiap tahun dengan pertumbuhan rata-rata- 29%.
Meski tren pertumbuhan zakat masih belum stabil bahkan semenjak adanya regulasi zakat tahun 2015 justru terendah 10%. Bila dilihat dari hasil perhitungan terbaru BAZNAS (2015) menunjukkan potensi zakat nasional sebesar Rp 286 triliun.
Dimana capaian organisasi pengelola zakat dalam menghimpun dana masih kurang dari dua persen dari total potensi nasional. Hal ini berarti regulasi tersebut belum efektif bagi institusi penghimpun zakat dalam menjalankan fungsinya.
Regulasi zakat sudah memadai secara struktur hukum, namun secara substansi hukumnya perlu diperkuat dengan diktum hukum yang mempunyai daya paksa dan daya ikat.
“Sehingga adanya regulasi tidak hanya berpengaruh secara kelembagaan tapi akan signifikan berpengaruh terhadap pengumpulan zakat,” terang alumnus Pondok Pesantren Tebuireng tahun 2001 ini.
Proyeksi strategi yang berpengaruh signifikan dalam optimalisasi pengumpulan zakat yakni dengan tiga model. Ketiga model itu adalah wajibnya zakat secara qada’i, muzaki yang tidak membayar zakat dikenakan sanksi, dan zakat menjadi pengurang pajak.
Pewajiban zakat secara hukum nasional merupakan bentuk integrasi agama dan negara. Adanya sanksi merupakan upaya agar hukum negara berjalan efektif.
“Negara Malaysia sudah membuktikan zakat pengurang pajak mampu meningkatkan pengumpulan zakat sekaligus penerimaan pajak,” pungkas dosen di Institut Dirasah Islamiyah al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep tersebut. <Edithya Miranti>
Biodata Penulis
Nama : Dr Holilur Rahman
Tempat Tanggal Lahir : Bangkalan, 31 Maret 1982
Pekerjaan : Dosen dan Tenaga Ahli MPR RI
Pendidikan :
- S1 di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Syari’ah tahun 2006.
- S2 di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun
- S3 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Hukum Islam.
Pengalaman :
- Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Syariah UIN Malang.
- Aktif di Pendidikan Kader Mufassir (PKM) yang diadakan oleh Pusat Studi Quran (PSQ).
- Tenaga Ahli Anggota DPR RI sejak 2011-2014 dan Tenaga Ahli MPR RI sejak 2015.