Oleh Dedi Junaedi
Wartawan dan Dosen INAIS Bogor
Dalam pidato pekanan awal April 2017, Presiden Donald Trump memuji “misi eksplorasi” NASA dalam riset keantariksaan. Badan Antariksa Nasional AS disebutnya telah berhasil memacu banyak penemuan dan menggugah rasa keingintahuan manusia akan sains dan teknoogi antariksa.
Pada sisi lain, Presiden AS mulai membatasi kiprah NASA dengan mengamputasi anggaran riset dan eksplorasi kebumian dan lingkungan hidup. Dia berpesan: “NASA harus fokus kosentrasi ke masalah antariksa. Sementara soal sains kebumian dan lingkungan hidup bisa diurus pihak lain!”
Dari US$ 19 miliar anggaran NASA, sekitar 5% di antaranya kena pangkas. Riset ilmu kebumian dan lingkungan hidup mendapat porsi pemotongan terbesar. Semula, NASA memiliki angaran khusus untuk ilmu kebumian sendiri sekitar US$ 2 miliar.
Empat misi satelit NASA terkait iklim pun terancam. Yaitu, misi peluncuran satelit PACE (Plankton, Aerosol, Cloud and ocean Ecosystem) untuk memantau ekosistem laut, awan, aerosol dan planton; kemudian misi Orbiting Carbon Observatory-3 (OCO-3), Climate Absolute Radiance and Refractivity Observatory (CLARREO), dan misi Deep Space Climate Observatory (DSCOVR) untuk pengamatan iklim antariksa.
Pemotongan anggaran riset lingkungan tentu saja mengejutkan kalangan dalam NASA. ‘’Bahwa akan ada pengurangan itu normal. Biasa dan wajar karena ada pergantian pemerintahan. Tetapi, saya tidak menduga akan sedalam itu,’’ kata Emmanuel Boss, saintis dari misi PACE seperti dikutip Scientific American.
Keempat misi riset itu sebenarnya terbilang penting untuk mengatasi kesenjangan pemahaman kita tentang iklim bumi yang kompleks bumi dan semakin cepat berubah.
Upaya serius yang dirintis bertahun-tahun itu, menurut Boss, bertujuan tidak hanya untuk kajian sistem iklim dan mekanisme pemanasan global, tetapi juga menyentuh hal-hal praktis seperti memantau kesehatan perairan pesisir dan sistem peringatan dini tentang bahaya kekeringan dan anomali iklim.
Amputasi anggaran terhadap kebijakan warisan Obama memang terus digulirkan Donald Trump. Proposal itu pun mendapat dukungan penuh dari kalangan legislator Partai Republik yang menguasai Kongres AS. Seperti koor, mereka kompak menyuarakan agar NASA fokus ke misi luar angkasa dan segera meninggalkan misi kebumian dan lingkungan.
Sementara para saintis lingkungan justru melihat sebaliknya. “Saya tidak melihat ada lembaga lain yang punya kompetensi, kapasitas, dan pengalaman yang lebih memadai dari NASA,” ungkap Adam Sobel, ilmuwan iklim Columbia University, Menurutnya, NASA leading dalam mengembangkan teknologi pengamatan maupun peluncuran satelit bumi dan lingkungan.
Amputasi anggaran riset lingkungan juga disesali oleh Direktur Center for Solutions to Weather and Climate Risk, David Titley, di Pennsylvania. Sejatinya, dana terpotong tidak seberapa dibanding total anggaran pemerintah. Tetapi, penghapusan misi riset yang telah hampir 20 tahun dirintis bisa berefek tragis.
“Janganlah berpikir keuntungan jangka pendek, seraya mengabaikan kepentingan masa depan, katakanlah nasib ekonomi Amerika 20 tahun lagi,’’ komentar Kim Cobb, ahli karang di Georgia Tech.
“Pemotongan itu langkah kerdi. Hanya merugikan nama besar bangsa ini,” tambah Gabe Vecchi, ilmuwan iklim di Princeton University. Dia yakin, hanya melalui riset dan pemantauan berkelanjutan yang bisa mempertahankan Amerika sebagai pemimpin dalam riset prediksi cuaca dan iklim global di dunia.”
PACE, misalnya, bertujuan untuk memantau kondisi mikroplankton faktual dalam peta rantai makanan di laut lepas. Informasi besaran plankton dan aspek lain kelautan akan menjadi masukan penting dalam kajian bagaimana perubahan iklim mempengaruhi lautan, serta bagaimana lautan memediasi iklim bumi. Demikian juga data pantauan awan, aerosol-debu dan partikel kecil lain yang mengapung di sekitar atmosfer akan mengatasi ketidakpastian proyeksi model perubahan iklim.
Bagi politisi di Amerika, langkah Presiden AS itu tidak mengagetkan. Tahun lalu, dalam kampanye capresnya, Trump bersumpah akan menghentikan, mengubah dan memutarbalikkan sejumlah kebijakan lingkungan AS yang dinilainya ambisius dan merugikan kepentingan ekonomi AS. Kala itu, dia bertekad untuk menghidupkan kembali sektor industri minyak dan batu bara AS yang terpuruk selama era Obama.
Trump juga bermaksud menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan iklim global PBB, menyetujui pipa minyak Keystone XL dari Kanada, dan membatalkan sejumlah komitmen Obama untuk memotong emisi karbon dan melindungi saluran air dari polusi industri. “Setiap peraturan yang sudah usang, tidak perlu, dan buruk bagi para pekerja atau bertentangan dengan kepentingan nasional akan dihapus dan dibatalkan,” ungkapnya di hadapan ribuan peserta Williston Basin Conference Petroleum di Bismarck, ibu kota North Dakota yang kaya minyak.
“Kami akan melakukan semuanya demi tindakan yang tepat dan rasional,” ujarnya. Trump, bahkan, tidak percaya dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim. Menurutnya, pemanasan global adalah isu buatan Tiongkok untuk merugikan ekonomi AS. Trump berniat membantalkan Agenda Paris (merujuk kepada kesepakatan 195 negara di Paris, Desember 2015). Dia meyakini, kebijakan ini akan membantu AS meraih kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan kepada sejumlah negara produsen minyak di Timur Tengah.
“Bayangkanlah dunia di mana kartel minyak tak lagi memakai energi sebagai senjata,” katanya. Menurut data statistik, saat ini AS memproduksi sekitar 55 persen dari jumlah konsumsi minyak warganya. Seperempatnya impor dari Kanada dan Meksiko, sementara 20 persen sisanya berasal dari negara-negara OPEC
Untuk memperkuat posisinya, Trump menggandeng politisi Partai Republik: Myron Ebell dan James Inhofe. Dia menunjuk Myron Ebell sebagai pimpinan Kelompok Kerja Environmental Protection Agency (EPA). Ebell juga adalah kandidat terkuat pimpinan EPA. Sementara, James Inhofe sudah berkuasa menjadi pimpinan Komite Lingkungan dan Pekerjaan Umum di Senat AS selama beberapa tahun terakhir. Ketika terpilih menjadi anggota Senat AS pertama kali tahun 1994, senator Oklahoma ini berpandangan, “Pemanasan global adalah hoax terbesar yang pernah disampaikan kepada masyarakat AS.” Pendirian Inhofe seperti identik dengan sikap resmi Partai Republik.
Inhofe tak sekadar menantang konsensus ilmiah, namun juga melakukan berbagai tindakan eksentrik. Akhir bulan Februari 2015, misalnya, dia membawa segenggam bola salju pada pidatonya di Senat, seraya menyatakan bahwa bola salju yang keras itu adalah bukti terkuat bahwa sebetulnya dunia—atau setidaknya AS—mengalami pendinginan, bukan pemanasan.
Sikap Partai Republik kerap menyulitkan Presiden Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat. Sepanjang Obama berkuasa, ia mendapatkan banyak kendala legislatif bila ingin menggolkan kebijakan penanganan perubahan iklim. Walaupun demikian, Obama tetap berhasil melakukan beberapa hal penting terkait perubahan iklim dengan kekuasaan eksekutifnya, termasuk menandatangani Kesepakatan Paris 2015.
Setelah menjadi menjadi Presiden AS ke-42, Donald Trump seperti menunaikan janjinya. Trio Trump – Ebell – Inhofe semakin kokoh menguasai kebijakan lingkungan AS yang anti konvensi perubahan iklim. Para pejuang lingkungan hidup pun mulai mengkhawatirkan gejala neo-konservatisme tersebut,
Setidaknya ada tiga isu penting yang menjadi wacana kalangan pemerhati lingkungan. Pertama, tren penguatan kembali industri energi fosil dan pelemahan energi terbarukan. Kedua, penarikan kembali dukungan AS dari Kesepakatan Paris. Ketiga, penciutan anggaran untuk tindakan nyata mengatasi perubahan iklim.
Penguatan industri fosil berimplikasi pada peningkatan emisi. Kajian pakar menyatakan bahwa untuk menahan pemanasan global maksimal 2 derajat Celsius pada tahun 2100, kita harus memastikan 2/3—bahkan kalau bisa 80%– dari total cadangan energi fosil perlu diamankan, tak dieksploitasi.
Tetapi, kini eksploitasi energi fosil secara massif oleh AS akan membuat seluruh dunia makin sulit mencapai target 2 derajat itu. Kalau masih mau dicapai, maka pemotongan energi fosil dan sumber-sumber emisi lainnya haruslah dilakukan dengan lebih dalam lagi oleh negara-negara lain.
Maka, penarikan dukungan AS terhadap Kesepakatan Paris juga akan sangat menyulitkan dunia. Meski penarikan dukungan butuh waktu empat tahun, namun ketidakpastian membayangi seluruh negara partisisan. Apalagi, emisi AS terbesar kedua setelah Tiongkok. Laporan World Resource Institute 2016 menyebut emisi Tiongkok 20.09% dari total emisi global, sementara AS 17,89%.
Dedi Junaedi