Disclaimer, tulisan ini bukan membicarakan tentang food estate yang ramai di awal-awal masa Pilpres. Ketika ada seorang Capres yang menjabat di sebuah kementerian, menanam singkong, tetapi kemudian yang tumbuh jagung di atas polybag. Tulisan ini juga bukan tentang Chairul Tanjung si anak Singkong pendiri Trans TV dan CT Corp dengan 25.000 karyawan.
Tulisan ini akan sedikit membahas tentang tujuan pendidikan kita. Saat ini, tujuan pendidikan sering tertukar dengan sarana pendidikan. Terutama ketika pernyataan salah seorang petinggi di Kementerian Pendidikan, pada pekan-pekan ini, banyak menjadi sorotan.
Pernyataan yang dikutip sindonews.com itu berbunyi, “Kita masuk pada era di mana gelar tidak menjamin kompetensi seseorang. Masuk kelas tak berarti belajar. Akreditasi bukan jaminan mutu.” Sepintas banyak yang mengapresiasi pernyataan itu sebagai otokritik sistem pendidikan yang memang lebih banyak memfokuskan kepada gelar formal, sementara kualitas yang dibutuhkan untuk kehidupan tidak diperhatikan.
Hanya saja, otokritik ini tidak banyak diamini. Kalau memang akreditasi tidak menjamin keunggulan untuk apa Badan Akreditasi Perguruan Tinggi Nasional (BAN-PT), Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan (LAMDIK), Lembaga Akreditasi Mandiri Program Studi Informatika dan Komputer (LAMINFOKOM) dan sederet lembaga akreditasi lainnya didirikan. Kalau gelar tidak menjamin kompetensi mengapa Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) didirikan. Begitu juga, jika masuk kelas tidak menjadi jaminan belajar, mengapa sekolah, pesantren, madrasah didirikan. Lebih dari itu untuk apa Kementerian Pendidikan ada, mengapa tidak dibebaskan saja semua belajar sendiri-sendiri.
Beberapa praktisi melihat pernyataan ini sebagai sebuah kebingungan, terkait dengan sistem dan tujuan pendidikan. Adanya akreditasi merupakan sarana, sistem untuk mencapai pendidikan unggul. Akreditasi bukan tujuan, akreditasi merupakan sarana, maka jangan sampai mabuk akreditasi. Begitu pula gelar, sejarah mencatat, manusia sempurna Rasulullah SAW digelari al-Amin oleh masyarakat Arab sebelum dirinya diangkat menjadi Nabi. Artinya gelar yang utama muncul dari luar personal seseorang, sebagai sebuah pengakuan atas kompetensi. Maka, ketika ada seorang yang bergelar, tapi tidak memiliki kompetensi, yang harus dipertanyakan pemberi gelar tersebut. Logika ini juga berlaku untuk madrasah, sekolah, pesantren kehadirannya sebagai fasilitas, sarana pendidikan, apabila ada siswa, santri, mahasantri yang masuk lembaga pendidikan tetapi tidak belajar maka yang bermasalah sistem dan tujuannya.
Apabila sarana-sarana ini dijadikan tujuan, akhirnya yang terjadi disorientasi pendidikan. Kesalahan dalam cara pandang ini mengakibatkan kesalahan berpikir dan bertindak. Kerancuan yang menyamakan antara sarana dengan tujuan, merupakan salah satu permasalahan dalam pendidikan. Tidak sedikit orangtua yang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang memiliki fasilitas lengkap, tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana pola, sistem dan proses pendidikan yang ada di sekolah tersebut.
Tidak sedikit juga orangtua yang berani membayar mahal untuk mencari lembaga yang terakreditasi unggul. Bahkan universitas-universitas, banyak yang bersusah payah, banting tulang, supaya bisa mencapai akreditasi unggul. Karena kesalahan cara pandang, akreditasi dan fasilitas sebagai sarana penunjang pendidikan berubah menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Prof Dr Mahmud Yunus, guru dari KH Imam Zarkasih pendiri Pondok Modern Gontor, yang menjadi sintesa Pesantren Darunnajah Jakarta, menyebutkan setidaknya ada tiga tahapan tujuan Pendidikan: pertama, mencari pekerjaan; kedua, mencari ilmu; ketiga, mengubah pola pandang, memperbaiki akhlak, sikap, mental. Asumsi kami, pernyataan petinggi Kementerian Pendidikan, masih berkenaan dengan tujuan tahap pertama.
Oleh sebab itu, sepertinya sistem pendidikan nasional perlu banyak belajar ke sistem pendidikan Pesantren. Ketika Sisdiknas berbicara tentang merdeka belajar, di pesantren selama puluhan tahun sudah terpatri slogan bahwa apa yang dilihat, didengar, dirasakan merupakan sarana pendidikan. Tiga pusat pendidikan yaitu rumah, sekolah dan masyarakat menjadi satu kesatuan tidak terpisahkan. Ketika Sisdiknas berbicara student centered learning, santri di Pesantren sudah mengamalkan, mempraktikkan bagaimana mengurus kelompok belajar, kursus, taman bermain, bahkan kehidupan masyarakat di asrama. Lebih dari itu, mereka mempraktikkan mengajar dengan disaksikan belasan evaluator.
Pada masa sekarang, dengan semakin berkembangnya teknologi, informasi dan sarana komunikasi, ada satu hal yang perlu menjadi perhatian lembaga-lembaga pendidikan, yaitu selain pendidikan yang bersifat knowledge dan keterampilan, seperti bercocok tanam, beternak dan keterampilan teknikal yang pada saat ini sudah mulai digantikan oleh mesin, sistem atau kecerdasan buatan. Maka, tantangan lembaga pendidikan, termasuk Pesantren tidak hanya memberikan keahlian praktis seperti bagaimana menanam singkong. Tetapi keahlian manajerial dan leadership sehingga mampu menanam sistem, membangun ekosistem.
Kemampuan ini tercermin di beberapa negara maju di Timur Tengah misalnya Qatar, Dubai yang baru terkena banjir besar. Mereka bisa maju, walaupun dengan kondisi alam yang sangat memprihatinkan karena cuaca yang ekstrem, berada di gurun pasir, panas. Tetapi karena mereka bisa melakukan kolaborasi, bisa membangun sistem bisnis, akhirnya mereka bisa membangun kota-kota yang sangat megah dan menjadi pusat-pusat ekosistem ekonomi dunia. Begitu pun dengan negara tetangga kita yaitu Singapura walaupun luasnya tidak lebih luas dari Kabupaten Cianjur, dengan kemampuan manajerial dan leadership-nya berhasil mambangun ekosistem ekonomi di ASEAN bahkan di Asia Tenggara.
Sebenarnya, ketika pendiri Gojek, start up pertama Indonesia yang memiliki nilai lebih dari US$10 miliar itu menjadi Menteri Pendidikan, semangat membangun ekosistem pendidikan itulah yang diharapkan. Hanya saja, ekosistem pendidikan tidak semudah ekosistem ekonomi yang sangat pragmatis. Wallahu A’lam. []