Landasan Teologis
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ ١
لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ ٢
وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ
وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ ٤
وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ ٥
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِࣖ ٦
- Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai orang-orang kafir,
- Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
- Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah.
- Aku juga tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
- Kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
- Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 1-6)
Asbabunnuzul
Dalam Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, Sahabat Ibnu Abbas menjelaskan, “Sesungguhnya kafir Quraisy menjanjikan kepada Rasulullah SAW akan memberi harta kekayaan yang banyak. Dan didaulat menjadi orang terkaya di kota Mekkah, lalu mereka akan menikahkan dengan wanita mana saja yang dikehendaki, namun di balik itu semua mereka ada maunya.”
Mereka mengatakan, “Semua ini adalah persembahan dari kami untukmu wahai Muhammad. Dan sekarang berhentilah kamu dari mencela tuhan-tuhan kami dan jangan menyebutnya dengan kejelekan. Jika kamu tetap tidak mau, maka kami tawarkan satu lagi padamu, yaitu perjanjian antara kami dan kamu.”
Maka Nabi bertanya, “Apa perjanjiannya?” Mereka menjawab, “Engkau ikut menyembah tuhan-tuhan kami selama satu tahun, yaitu pada Latta dan Uzza, setelah itu kami ikut menyembah tuhanmu selama satu tahun pula.” Maka Allah SWT menurunkan surat ini.
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Munir, Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili menyebutkan fungsi dari kata “قُلْ” adalah Nabi SAW diperintahkan untuk bersikap lemah lembut dalam segala hal dan berbicara kepada manusia dengan cara yang paling baik.
Ketika terjadi dialog dalam keadaan keras, Allah SWT membolehkan dan memerintahkannya untuk berbicara keras. Bukan karena Nabi SAW menyebutkan hal itu dari keinginan beliau sendiri.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan perbedaan pendapat tentang tafsiran مَا pada ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya. Pada tafsiran sebelumnya مَا pada ayat-ayat tersebut adalah مَا الْمَوْصُوْلَةُ sehingga makna ayat adalah, “Aku tidak pernah menyembah apa yang kalian sembah.”
Sebagian yang lain berpandangan bahwa مَا pada ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya adalah مَا الْمَصْدَرِيَّةُ sehingga makna ayat adalah, “Aku tidak akan menyembah sebagaimana cara beribadah kalian” karena mereka beribadah dengan cara kesyirikan meskipun mereka mengaku menyembah Allah akan tetapi cara beribadah mereka salah. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa mereka menyembah Allah dan juga menyembah selain Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Katsir, makna maa ta’buduun adalah berhala-berhala dan sekutu-sekutu yang mereka ada-adakan. Rasulullah tidak akan menyembah mereka dan tidak akan memenuhi ajakan orang kafir dalam sisa usianya.
Demikian Ibnu Katsir menyebutkan pada dasarnya isi kandungan surat Al-Kafirun berisi tentang perintah Allah SWT kepada umat Islam untuk menjauhkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Atau menyerupai bentuk peribadahan dari orang-orang kafir.
Nilai-Nilai Pendidikan
QS Al-Kafirun ayat 1-6 mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan buat manusia. Nilai-nilai itu antara lain: Pertama, Nilai Toleransi. Dari ayat ini kita diajarkan bahwa perbedaan keyakinan adalah sesuatu yang natural dalam masyarakat. Setiap individu atau kelompok memiliki hak untuk memilih keyakinannya tanpa harus dipaksakan. Toleransi mengajarkan kita untuk saling menghargai dan membiarkan orang lain menjalankan keyakinan sesuai dengan hati nurani mereka.
Kedua, Nilai Tauhid. Ayat ini mendidik hamba-Nya agar tidak menyekutukan Allah dengan apa pun karena itu termasuk syirik serta perbuatan dosa. Maka kita harus menjaga keimanan dan menguatkan ketauhidan kepada Allah.
Ketiga, Nilai Religius. Ayat ini mendidik hamba-Nya agar memiliki karakter religius dalam beribadah kepada Allah serta menjaganya dengan tidak ikut serta mengikuti sembahan orang lain walaupun diberikan segala harta dan keperluan yang sementara.
Keempat, Nilai Akhlak. Ayat ini mengajarkan pentingnya kita memiliki akhlak terpuji, baik kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya, agar tercipta kerukunan dan keharmonisan dengan saling mengingatkan dalam kebenaran.
Landasan Teoretis
Menjaga toleransi beragama merupakan fondasi penting bagi keberagaman sosial dan harmoni dunia. Di tengah dunia yang semakin terhubung, kita dihadapkan pada berbagai kepercayaan dan keyakinan agama.
Namun tugas kita untuk menghormati perbedaan ini, bukan hanya sebagai tugas, tetapi sebagai nilai-nilai mendasar kemanusiaan. Toleransi beragama bukan hanya tentang mengizinkan orang lain untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan mereka, tetapi juga tentang memahami dan menghargai nilai-nilai dan budaya yang berbeda.
Ini tentang menciptakan ruang untuk belajar dari satu sama lain dan menggali kesamaan di antara kita. Dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas dan perbedaan, menjaga toleransi beragama merupakan langkah yang sangat penting menuju perdamaian dan persatuan.
Makna Toleransi
Toleransi dalam Islam, atau tasamuh dalam bahasa Arab, berarti sikap saling menghormati dan menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Toleransi dalam Islam juga diartikan sebagai sikap tenggang rasa, lapang dada, dan bermurah hati.
Toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan atau saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini dalam pengertian muamalah (interaksi sosial).
Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Allah SWT berfirman:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 256)
Nabi Muhammad SAW selalu menggelorakan hidup dengan penuh toleransi. Beliau Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak 40 tahun perjalanan di dunia.” (HR Bukhari)
Karena itu hendaklah kita terus menjaga keimanan karena musuh-musuh Islam tidak akan pernah ridha (suka) terhadap kita, sampai kita melepaskan agama secara menyeluruh serta mengikuti mereka. Inilah batasan toleransi. Jika sudah pada batas keimanan tinggalkanlah mereka. Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰىۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْر
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.” (QS Al-Baqarah: 120)
Keutamaan Toleransi
Membangun toleransi dalam keragaman sesuai ajaran Islam memiliki banyak keutamaan. Antara lain, pertama, menjadi agama yang dicintai Allah. Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata; ditanyakan kepada Rasulullah Saw: ‘Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah? Maka beliau bersabda: Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)’.” (HR Bukhari)
Kedua, toleransi membawa kemudahan. Rasulullah SAW bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
“Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ‘Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli, dan ketika memutuskan perkara’.” (HR Bukhari)
Ketiga, memperoleh keutamaan dari Allah karena takwanya. Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ بَكْرٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: “انْظُرْ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِخَيْرٍ مِنْ أَحْمَرَ وَلَا أَسْوَدَ إِلَّا أَنْ تَفْضُلَهُ بِتَقْوَى
“Telah menceritakan kepada kami Waki, dari Abu Hilal, dari Bakar, dari Abu Zar [Al-Ghifari] yang mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepadanya: ‘Perhatikanlah, sesungguhnya kebaikanmu bukan karena kamu dari kulit merah dan tidak pula dari kulit hitam, melainkan kamu beroleh keutamaan karena takwa kepada Allah SWT’.” (HR Ahmad)
Lalu bagaimana cara agar kita bisa menjaga sikap toleransi dalam menciptakan harmoni
di tengah keberagaman? Pertama, berlaku adil dan berbuat baik serta menjauhi kezaliman. Allah berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8)
Kedua, tidak memaki sembahan selain Allah. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al An’am: 108)
Ketiga, saling mengenal tanpa membedakan status atau agama. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13)
Keempat, berlepas diri atas apa yang mereka kerjakan setelah kita menyampaikan peringatan. Allah SWT berfirman:
وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Jika mereka mendustakanmu (Nabi Muhammad), katakanlah, “Bagiku perbuatanku dan bagimu perbuatanmu. Kamu berlepas diri dari apa yang aku perbuat dan aku pun berlepas diri dari apa yang kamu perbuat.” (QS Yunus: 41)
Kelima, bersikap lunak dan lembut. Allah SWT berfirman:
وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَۚ
“Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak. Maka, mereka bersikap lunak (pula).”
(QS Al-Qalam: 9)
Keenam, tolong-menolong dalam kebaikan dan menjauhi berbuat dosa dan permusuhan. Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS Al-Maidah: 2)
Kisah Teladan
Aisyah binti Abu Bakar merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam dan merupakan istri Nabi Muhammad SAW. Selain sebagai istri Nabi, Aisyah juga dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas, pemberani, dan memiliki peran yang signifikan dalam menyebarkan pengetahuan agama Islam. Aisyah merupakan contoh teladan dalam mempraktikkan toleransi beragama.
Aisyah binti Abu Bakar menunjukkan toleransi dan keterbukaan terhadap umat beragama lain melalui sikap dan tindakannya. Ia berinteraksi dengan baik dengan orang-orang non-Muslim dalam kehidupan sehari-harinya. Ia melayani dan memberikan nasihat kepada orang-orang yang datang dari berbagai latar belakang agama. Sikapnya yang terbuka dan ramah terhadap orang-orang dari agama lain mencerminkan pentingnya menghormati dan menjaga hubungan yang baik dengan umat beragama lain.
Selain itu, Aisyah juga memiliki peran penting dalam menyebarkan pengetahuan agama Islam melalui ajaran dan hadis-hadis yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ia menjadi salah satu perawi yang terkemuka dan diakui kecerdasannya dalam memahami dan mengajarkan ajaran Islam. Melalui peran pentingnya sebagai seorang guru, Aisyah berkontribusi dalam memperluas pemahaman tentang Islam kepada umat Muslim maupun non-Muslim, sehingga mendorong dialog dan pemahaman yang lebih baik antaragama.
Aisyah binti Abu Bakar merupakan contoh yang menginspirasi tentang pentingnya toleransi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan peran Aisyah dalam mempraktikkan toleransi beragama mengajarkan kita untuk saling menghormati, berinteraksi dengan baik, dan berperan aktif dalam menyebarkan pengetahuan yang baik kepada umat beragama lain.
رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ اٰمِنًا وَّاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّعْبُدَ الْاَصْنَامَۗ
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS Al-Baqarah: 35) []