Allah SWT berfirman:
وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ
“Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 96)
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah ditandaskan bahwa Allah menekankan kepada Nabi Muhammad SAW tentang orang-orang Yahudi. Mereka manusia yang paling tamak untuk memiliki umur yang Panjang. Mereka lebih tamak daripada orang-orang musyrik dan mencukupkan diri dengan kecintaan terhadap dunia, sebab mereka tidak beriman kepada akhirat.
Orang-orang Yahudi berharap dapat berumur panjang sampai seribu tahun, namun umur panjang itu tidak dapat menolong dan menjauhkan mereka dari azab Allah. Allah mengetahui amalan mereka dan Dia akan memberikan balasannya.
Dalam Tafsir Muyassar disebutkan: “Ketahuilah wahai Rasul, bahwa orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang paling berambisi untuk hidup dalam keadaan apa pun, sekalipun hidup dengan kehinaan dan kerendahan. Bahkan keinginan mereka untuk hidup mengalahkan keinginan orang-orang musyrikin. Seorang dari mereka berharap hidup seribu tahun. Bila umur yang panjang tersebut terwujud, ia tetap tidak menghindarkannya dari siksa Allah. Tidak sedikitpun dari apa yang mereka lakukan samar bagi Allah, dan Dia akan membalas mereka dengan siksaan yang memang layak mereka dapatkan.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa orang Yahudi adalah makhluk yang paling berhasrat untuk berumur panjang, ketika mereka melihat hartanya buruk maka mereka terus mencari yang konsekuensinya akan merugikan mereka di hadapan Allah.
Alasan kaum Yahudi ingin berumur panjang karena mereka berkeinginan agar dapat masuk akhirat terakhir, dan menghindari sesuatu yang akan menimpa mereka, sehingga mereka akan menjadi orang musyrik paling rakus yang tidak memiliki pedoman kitab apa pun.
Allah SWT berfirman:
وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ
“Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim.” (QS Al-Baqarah: 95)
Nilai-nilai Pendidikan
QS Al-Baqarah: 96 mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan bagi kita. Pertama, mendidik kita agar senantiasa bertakwa serta menghindari sikap tamak (serakah), sombong dan zalim yang akan merugikan manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, menumbuhkan cinta pada hari akhir dan mempersiapkan perjumpaan dengan Allah SWT dengan beramal sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
Ketiga, mendidik kita agar senantiasa mengeluarkan zakat, infak dan sedekah dari harta yang kita miliki agar suci, berkah dan bertambah.
Keempat, mengajarkan kita agar mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segala apa yang dimiliki.
Makna Tamak
Dalam bahasa Arab, serakah disebut tamak yang artinya sikap tak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapai. Menurut istilah, tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. Karena ketidakpuasannya itu, segala cara ditempuh.
Serakah adalah salah satu dari penyakit hati. Mereka selalu menginginkan lebih banyak, tidak peduli apakah cara yang ditempuh itu dibenarkan oleh syariah atau tidak, tidak berpikir apakah harus mengorbankan kehormatan orang lain atau tidak. Yang penting, apa yang menjadi kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi. Sikap serakah dilarang oleh Allah SWT. Allah berfirman:
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ (١)
حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ (٢)
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ (٣)
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (٤)
“Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS At-Takatsur: 1-4)
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
Dari Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya’.” (HR At-Tirmidzi, No. 2376)
Hal yang paling dicintai oleh manusia adalah dirinya, ia ingin hidup kekal, maka ia mencintai panjang umur. Manusia juga mencintai harta, karena harta merupakan sebab terbesar untuk senantiasa sehat, yang menjadi salah satu sebab panjang umur. Jadi setiap ia merasa hartanya akan habis, bertambah kuatlah kecintaannya kepadanya.
Rasulullah SAW bersabda:
قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَىٰ حُبِّ اثْنَتَيْنِ : طُوْلُ الْـحَيَاةِ وَحُبُّ الْمَالِ
“Hati orang yang tua renta senantiasa muda dalam mencintai dua perkara: hidup yang panjang dan cinta terhadap harta.” (HR Al-Bukhâri, No. 6420 dan Muslim, No. 1046)
Rasulullah SAW juga bersabda:
يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ: حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ
“Anak Adam (manusia) semakin tua dan menjadi besar juga bersamanya dua hal: cinta harta dan panjang umur.” (HR Al-Bukhâri, No. 6421 dan Muslim, No. 1047)
Manusia semakin rakus akan dunia dan melupakan hari kiamat sehingga mereka jauh dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَلَا يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا، وَلَا يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
“Hari Kiamat semakin dekat, dan tidak bertambah (kemauan) manusia kepada dunia melainkan semakin rakus, dan tidak bertambah (kedekatan) mereka kepada Allâh melainkan semakin jauh. (HR Al-Hakim)
Dalam kitab Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân disebutkan:
مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ: هَمٌّ لَازِمٌ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى
“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapaian (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Penyesalan yang tidak pernah berhenti.”
Gambaran Orang yang Tamak dan Mencintai Harta
Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah. Kemudian Allâh mengampuni orang yang bertaubat.” (HR Al-Bukhâri, No. 6439 dan Muslim, No. 1048)
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ مَـنْ كَـانَ قَبْلَكُمُ الدِّيْنَارُ وَالدِّرْهَمُ، وَهُمَا مُهْلِكَاكُمْ
”Sesungguhnya dinar dan dirham telah membinasakan orang-orang sebelum kalian dan keduanya juga membinasakan kalian.” (HR Al-Bazzar)
Lalu bagaimana cara menjauhi sifat tamak sebagai upaya menyelamatkan diri dari kehancuran di dunia dan akhirat? Pertama, mengeluarkan harta yang kita miliki untuk akhirat. Allah SWT berfirman:
يَقُوْلُ الْعَبْدُ : مَالِـيْ ، مَالِـيْ ، إِنَّمَا لَـهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ : مَا أَكَلَ فَأَفْنَى ، أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَـى ، أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى ، وَمَا سِوَى ذٰلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ.
“Seorang hamba berkata, ‘Hartaku! Hartaku! Sesungguhnya ia hanya memiliki tiga hal dari hartanya: apa yang telah ia makan lalu habis, atau apa yang ia kenakan lalu usang, atau apa yang ia berikan lalu ia simpan untuk akhiratnya. Adapun selain itu, maka ia akan pergi dan ditinggalkannya untuk orang lain.” (HR Muslim, No. 2959)
Kedua, jangan terlalu mencintai harta yang kita miliki. Allah SWT berfirman:
وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS Al-Fajr: 20)
Ketiga, jangan terlalu hemat dalam membelanjakan harta. Allah SWT berfirman:
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah: 195)
Keempat, mengeluarkan harta untuk kepentingan agama dan sosial. Allah SWT berfirman:
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ
“Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa).” (QS At-Taubah: 54)
Kelima, tidak berbuat kikir. Allah SWT berfirman:
ۨالَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ
“(Yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan. (QS An-Nisa’: 37)
Keenam, memikirkan apa yang diperbuat untuk hari esok. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Hasyr: 18)
Ketujuh, senantiasa melakukan perbuatan baik dan menjalani hari-hari selama hidup dengan penuh semangat dan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW bersabda:
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْعَابِر سَبِيْلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ
“Dari Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: ‘Jadilah di dunia seperti kamu mengembara atau berjuang di jalan Allah dan anggaplah dirimu (termasuk) dari ahli kubur’.” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Selayang Pandang Kisah di Zaman Nabi Isa AS
Di zaman Nabi Isa AS terdapat tiga pejalan kaki yang menemukan timbunan harta. Karena lapar, mereka sepakat menyuruh salah seorang dari mereka membeli makanan. Di tengah perjalanan, terpikir oleh orang yang disuruh ke pasar itu untuk membunuh kedua rekannya dengan menaruh racun pada makanan. Dengan begitu, dia dapat lebih leluasa mengambil timbunan kekayaan itu hanya untuk dirinya sendiri. Niat jahat itu kemudian dia kerjakan.
Sementara itu, dua rekan yang lain pun sepakat untuk membunuh rekan yang diperintah membeli makanan, dengan harapan timbunan kekayaan itu hanya mereka bagi berdua. Setelah rekan yang membeli makanan sampai di tempat, kedua rekannya langsung menerkam dan membunuhnya, setelah itu mereka menyantap makanan beracun yang dibawa korban kejahatan mereka. Apa hendak dikata, kedua lelaki ini tewas.
Nabi Isa AS sempat mengunjungi tempat kejadian itu. Kepada pendukungnya yang setia, al-Hawariyun, dia berkata, ”Lihat, inilah dunia. Bagaimana dia telah membunuh ketiga orang itu. Setelah mereka, tentu akan banyak lagi korban-korban berguguran dari para pemburu dan pencinta dunia.‘’
Kisah ini memperlihatkan bagaimana dunia telah memperdaya ketiga pejalan kaki itu. Keserakahan, iri hati, dan dengki telah merasuk dalam diri mereka sehingga tak seorang pun mendapat timbunan harta yang mereka temukan.
Kita harus berhati-hati agar tidak tergelincir oleh fatamorgana dunia sebagaimana kisah tersebut di atas. Menurut Imam Al-Ghazali, dunia ini tak ubahnya jalan yang dilalui seorang musafir, yang dengannya manusia dapat mengambil bekal dari dunia ini untuk menjadi teman dan pendampingnya kelak di alam kubur dan dapat berjumpa Allah dengan membawa iman yang sempurna. Jadi, dunia hendaknya dipandang bukan sebagai tujuan melainkan sarana mempersiapkan bekal untuk kehidupan selanjutnya.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan, kehinaan. Aku juga memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya.“ (HR Nasa’i) []