Oleh: Ustadz Felix Siauw
Hanya Allah yang berhak menentukan yang mana yang baik yang mana yang buruk, yang mana iman yang mana kafir, pernyataan ini tidak ada yang salah.
Karena hanya Allah yang berhak menentukan semuanya, Allah pun mengutus Nabi dan Rasul-Nya untuk menjelaskan dan jadi contoh bagi manusia, tentang baik dan buruk.
Artinya, Nabi dan Rasul-lah yang paling memahami keinginan Allah, sebab mereka dibimbing oleh Allah dengan wahyu, maka apa yang mereka lakukan pastilah dari Allah.
Logikanya, yang diperintahkan Nabi dan Rasul pastilah baik dan apa yang dilarang Nabi dan Rasul pastilah buruk. Jikalau kita tak mampu memahaminya, itu karena akal kita lemah.
Nabi Muhammad misalnya, siapa yang paling mengenalnya? Tentulah para sahabatnya, yang hidup, berbagi, dan berjuang bersama, merekalah yang paling memahami.
Allah dan Nabi Muhammad pun sudah menjamin hal ini, bahwa Allah dan Rasul ridha dengan para sahabat, dan sahabat pun ridha pada Allah dan Rasul-Nya.
Maka siapa yang paling mengerti agama ini sepeninggal Rasul yang dibimbing wahyu? Tentulah para sahabat Rasulullah, dan generasi setelahnya, dan setelahnya lagi.
Tiga generasi sepeninggal Rasulullah itu disebut di satu hadis sebagai “sebaik-baik manusia”, atau lebih dikenal dengan generasi salafussalih, orang salih terdahulu.
Maka merekalah yang paling memahami al-Qur’an dan tafsirnya, hadis dan maknanya, sunnah dan manhajnya. Siapapun yang mengikuti mereka, itulah agama Islam.
Jalan salafussalih ini diterjemahkan lagi oleh para ulama yang melanjutkan perjuangan mereka, merangkum semuanya secara sederhana dalam apa yang dinamakan madzhab.
Maka kita mengenal madzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, kesemuanya ahlusunnah yang mengikuti manhaj salafussalih, menerangkan pada kita tentang agama ini.
Kembali lagi ke atas, kafir dan iman, baik dan buruk, surga dan neraka memang hanya Allah yang berhak, dan Allah sudah menerangkan lewat jalan yang tadi kita bahas.
Secara singkat, Allah berikan pada kita sumber untuk menjadi standar baik-buruk, ialah al-Qur’an, as-Sunnah, Kesepakatan para sahabat, dan Qiyas Syar’i.
Mudahnya, selama kita punya rujukan dalam menilai sesuatu yang berasal dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat ulama salafussalih, maka kita insya Allah benar.
Tapi jika kita menilai satu hal keluar dari pemahaman al-Qur’an, as-Sunnah, dan ulama salafussalih, maka sudah dipastikan kita mengikuti nafsu bukannya wahyu.
Memang dimungkinkan para salafussalih berbeda pendapat dalam menyikapi satu hal, tapi perbedaan itu takkan sampai pada perkara yang fatal, perkara ringan saja.
Dan dalam hal perbedaan itu, sekali lagi selama kita memiliki dasar referensi, rujukan atau dalil, maka hal itu menjadi ilmiah, berdasarkan ilmu agama yang benar.
Di sinilah letak tantangannya, yaitu mempelajari Islam sesuai dengan pandangan salafussalih, hingga kita tak terjebak menghalalkan yang haram atau sebaliknya.
Karena di antara sikap berlebihan itu, menghalalkan yang haram, atau mengharamkan apa yang halal, mengafirkan yang beriman, atau mengimankan yang kafir.
Lalu bagaimana kita bersikap? Apalagi di zaman simpang siur informasi semisal sekarang? Sebagai panduan awal, telitilah referensi dan rujukan saat seseorang membahas agama.
Misal, jika ada yang dikatakan “ulama”, tapi membolehkan wanita tak berhijab, lihat saja apa dasarnya, apa rujukannya, pendapat salafussalih mana yang dikutip?
Atau bila ada yang berucap “semua agama sama”, lihat saja apa dalil yang digunakan? Pendapat salafussalih mana yang diambil sebagai rujukan, lihat second opinion.
Sebaliknya, jika ada anak petani mengucapkan satu pendapat dengan dalil dan pendapat serta referensi yang kuat, ambillah, sebab bukan orangnya, tapi pendapatnya dilihat.
Hijab tetap wajib walau yang menyampaikan dalil dan referensi para ulama adalah anak kecil bau kencur, orang bisa ditolak, tapi pendapat Islami itu harus diterima.
Boleh jadi kita tak menyukai orangnya, tapi bila pendapatnya berdasar dalil, maka itu pendapat Islami. Dan inilah maksudnya jalan salafussalih, manhajnya ahlusunnah.
At the end, jangan tertipu relativisme kebenaran. Saat ada orang yang mengatakan “Anda tidak boleh menghakimi”, sebenarnya dialah yang sudah mulai menghakimi.
Kebenaran itu milik Allah, dan Nabi sudah menyampaikannya, para sahabat membenarkannya, salafussalih mengamalkannya, kita tinggal praktik mencontohi mereka. []