Jakarta, Gontornews — Setelah melalui pembahasan mendalam selama tiga hari berturut-turut, Komisi Fatwa MUI Pusat pada Kamis (26/3) akhirnya mengeluarkan Fatwa Nomor 17 Tahun 2020 tentang Pedoman Kaifiat Shalat bagi Tenaga Kesehatan yang Memakai Alat Pelindung Diri (APD) saat Merawat dan Menangani Pasien COVID-19.
Fatwa ini dibahas secara maraton dan intensif yang melibatkan lebih dari 35 ulama yang aktif berdiskusi selama tiga hari. Komisi Fatwa memandang ini sebagai Jihad Ulama dalam upaya penanganan wabah COVID-19. Meskipun mayoritas ulama di Komisi Fatwa MUI Pusat sudah senior, namun pembahasan materi fatwa selama tiga hari ini dilaksanakan secara online, sehingga tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk social distancing.
Fatwa ini muncul setelah sebelumnya Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin meminta MUI dan Ormas Islam di Indonesia untuk membahas fatwa terkait petugas medis pasien COVID-19 yang harus memakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Sesuai protokol kesehatan, penggunaan APD hanya digunakan sekali pakai dan tidak boleh dilepas dalam waktu tertentu, selain harganya juga cukup mahal. Sehingga dalam beberapa kasus, jam kerja petugas medis APD lengkap melewati jadwal waktu shalat. Sementara bagi seorang muslim selama memungkinkan tetap wajib melaksanakan shalat fardhu dengan segala kondisi yang ada.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, bila petugas medis yang memakai APD tersebut masih mendapati waktu shalat saat selesai atau memulai kerjanya, maka petugas tersebut wajib melaksanakan shalat fardhu sebagaimana biasanya.
Bila jam kerja petugas medis yang memakai APD lengkap dimulai saat sebelum masuk shalat Dzuhur atau Maghrib, sementara selesainya masih berada di waktu Ashar atau Isya, maka ia boleh melaksanakan shalat dengan jama’ ta’khir, yaitu di waktu Ashar atau Isya tersebut. Hal itu juga berlaku sebaliknya.
Termasuk bila jam kerja petugas medis tersebut berada dalam rentang waktu dua shalat yang bisa dijamak seperti dhuhur dan ashar atau maghrib dan isya, maka petugas tersebut bisa melaksanakan shalat dengan jama’.
“Dalam kondisi ia bertugas mulai saat waktu Dzuhur atau Maghrib dan diperkirakan tidak dapat melaksanakan shalat Ashar atau Isya, maka ia boleh melaksanakan shalat dengan jama’ taqdim,” katanya seperti dilansir MUI.or.id.
“Dalam kondisi ketika jam kerjanya berada dalam rentang waktu shalat dan ia memiliki wudhu, maka ia boleh melaksanakan shalat dalam waktu yang ditentukan meski dengan tetap memakai APD yang ada,” sambungnya.
Bila kondisinya khusus, seperti yang dikatakan Kiai Ma’ruf, yakni penggunaan APD memakan waktu sampai delapan jam sehingga jam kerja petugas medis tersebut melewati dua waktu shalat (Ashar dan Maghrib) dan tidak memungkinkan wudhu dan tayamum, maka boleh melaksanakan shalat sesuai waktunya dengan tetap memakai APD yang ada. Shalat tersebut tidak perlu diganti (i’adah) di lain waktu bila APD tidak terkena najis.
“Dalam kondisi APD yang dipakai terkena najis dan tidak memungkinkan untuk dilepas atau disucikan, maka ia melaksanakan shalat boleh dalam kondisi tidak suci dan mengulangi shalat (i’adah) usai bertugas,” katanya.
Komisi Fatwa, lanjut Kiai Niam, juga mewajibkan penanggung jawab bidang kesehatan mengatur shift bagi tenaga kesehatan Muslim yang bertugas dengan mempertimbangkan waktu shalat. Sehingga petugas medis tersebut bisa menjalankan kewajiban ibadah dan menjaga keselamatan diri. “Tenaga kesehatan perlu menjadikan fatwa ini sebagai pedoman untuk melaksanakan shalat dengan tetap memperhatikan aspek keselamatan diri,” katanya. [Fathur]