Jakarta, Gontornews — Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, kebijakan pemerintah untuk memasang defisit anggaran di APBN Perubahan 2017 di angka 2,92 persen menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah keuangan Indonesia. Atau tepatnya setelah ada UU Keuangan Negara tahun 2003 lalu.
“Ini bisa disebut risiko dari pengelolaan fiskal kian membesar. Apalagi penyebab utamanya itu adanya tambahan belanja yang cukup besar dengan penerimaan negara yang terus shortfall, padahal sudah dilakukan tax amnesty,” ujar Bhima kepada Aktual.com, Minggu (30/7).
Selain itu, kata dia, karena mulai masuk tahun politik, pemerintah juga menambah subsidi energi. Realisasi belanja subsidi energi sampai Mei 2017 kmarin sudah 41,8%. Untuk BBM bersubsidi 51,9%.
Sementara, kata dia, realisasi total penerimaan baru mencapai 33,8% dari target Rp1.748.9 triliun brdasar APBN 2017.
“Sehingga, dengan risiko shortfall penerimaan pajak cukup besar di tahun ini makanya defisitnya sampai 2,92 persen. Maka opsi Pemerintah untuk tekan defisit itu yaitu dengan menambah utang secara agresif termasuk lewat SBN rupiah atau valas,” cetus dia.
Opsi penambahan utang yang agresif itu, kata dia, justru jadi persoalan baru. Apalagi, realisasi pembiayaan utang juga sudah mencapai 58,9% per Mei 2017.
“Tentu saja, agresivitas utang ada risikonya bagi perekonomian, selain beban cicilan kedepannya juga ada resiko crowding out alias perebutan dana di pasar. Dampaknya, perbankan yang paling terkena, bunga kredit sulit turun dan likuiditas mengetat,” jelasnya.[DJ]