Tripoli, Gontornews – Sebanyak 10 orang misi pengamat PBB telah tiba di Libya yang berencana mengadakan pemilihan umum pada bulan Desember mendatang.
Mereka terbang ke ibukota Libya, Tripoli, pada hari Selasa (2/3), kata sebuah sumber seperti dilansir Arabnews.com. Mereka akan memantau gencatan senjata antara dua faksi bersenjata yang bersaing di negara itu.
Tim pengamat tak bersenjata itu, juga bertugas memverifikasi penarikan ribuan tentara bayaran dan pejuang asing yang telah dikerahkan di negara kaya minyak di Afrika Utara itu, dan sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan hengkang.
Libya dilanda kekacauan selama bertahun-tahun setelah pemberontakan yang didukung NATO tahun 2011 menggulingkan dan menyebabkan tewasnya Presiden Libya saat itu, Muammar Qaddafi.
Negara itu telah terpecah antara Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui PBB, yang berbasis di ibukota dan didukung oleh Turki, dan pemerintahan di timur yang didukung oleh orang kuat Khalifa Haftar, dengan dukungan Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia.
Kedua belah pihak mencapai gencatan senjata pada Oktober, dan pembicaraan yang dipimpin PBB sejak itu menghasilkan pemerintahan baru sementara yang dipilih pada Februari, yang dipimpin oleh perdana menteri sementara Abdul Hamid Dbeibah.
Sumber diplomatik di Tunis mengatakan, tim pendahulu, yang terdiri dari misi PBB di Libya dan para ahli dari markas besar PBB di New York, tiba Selasa melalui ibukota negara tetangga, Tunis.
Dalam misi lima pekannya, mereka akan melakukan perjalanan ke Sirte, sebuah kota di pantai Mediterania di tengah-tengah antara pusat-pusat kekuatan timur dan barat, serta ke Misrata di barat dan Benghazi di timur.
Sumber diplomatik di New York mengatakan, tim itu akan menyerahkan laporan ke Dewan Keamanan PBB pada 19 Maret tentang gencatan senjata dan kepergian pasukan asing.
Menurut PBB, sekitar 20.000 tentara bayaran dan pejuang asing masih berada di Libya pada awal Desember. Batas waktu 23 Januari untuk penarikan mereka berlalu tanpa ada tanda-tanda kepergian mereka.
Dewan Keamanan pada awal Februari memerintahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mengerahkan pengamat di Libya, menyusul kesepakatan gencatan senjata 23 Oktober.
Dalam sebuah laporan akhir tahun lalu, Guterres sendiri telah menganjurkan kelompok pengamat tidak bersenjata yang terdiri dari warga sipil dan pensiunan personel militer dari negara-negara anggota Uni Afrika, Uni Eropa, dan Liga Arab. []