Konflik agraria sudah menjadi momok perbincangan yang rasanya tidak ada habisnya. Bagaimana tidak, pembukaan lahan dan pembangunan semakin sering dilakukan. Sengketa terjadi tanpa henti, layaknya lingkaran setan tak bertepi.
Melansir laman databox.co.id, tercatat jumlah konflik agraria meningkat secara signifikan. Terhitung per tahun 2022 saja, terdapat 212 konflik lahan yang merugikan 346.402 kepala keluarga. Sementara, Komnas HAM mengatakan sepanjang Januari-Agustus 2023 terdapat 692 konflik lahan di Indonesia.
Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini, sejak tahun 2015 Jokowi secara langsung mencanangkan program pemberian sertifikat tanah bagi rakyat. Dengan adanya sertifikat tanah ini, lahan yang ditempati rakyat memiliki bukti kepemilikan yang berkekuatan hukum. Harapannya, sengketa lahan dapat terhindari.
Tapi pertanyaannya, apakah pemberian sertifikat tanah ini benar-benar dapat menjadi solusi bagi rakyat atas kepemilikan tanahnya?
Apabila berkaca pada fakta di lapangan, nyatanya rakyat yang menempati tanah bersertifikat, tetap berpotensi mengalami penggusuran. Seperti yang dialami warga Pasir Gintung, Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung. Mirisnya, mereka tergusur karena PT KAI Tanjung Karang memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat hak guna yang dikeluarkan oleh Negara. Bagaimana bisa tanah milik warga yang sudah bersertifikat dijadikan aset negara?
Adanya kontradiksi atas kebijakan yang diterapkan pemerintah menandakan kecacatan hukum saat ini. Beda halnya dengan hukum Islam yang sudah sangat jelas mengatur batasan-batasan kepemilikan lahan. Islam membagi lahan menjadi tiga kategori, yaitu: milik umum, milik individu, dan milik negara.
Lahan milik umum adalah lahan yang kaya akan sumberdaya alam (SDA), seperti hutan dan tambang. Sementara lahan milik individu adalah lahan yang digunakan untuk pemukiman, perkebunan, ladang, dan sebagainya. Terakhir, lahan milik negara adalah lahan yang tidak berpemilik dan di atasnya terdapat aset milik negara, seperti bangunan pemerintahan dan sebagainya.
Maka dari itu, dalam Islam, ketika sebuah lahan sudah dijadikan pemukiman dan tidak membahayakan keselamatan warga (seperti banjir atau tanah longsor), penggusuran merupakan hal yang haram dilakukan.
Hal ini pernah terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Kala itu, gubernurnya di Mesir yakni Amr bin Ash sedang melakukan perluasan masjid. Perluasan tersebut ternyata memakan lahan pemukiman seorang Yahudi. Setelah dilakukan diskusi, ternyata orang Yahudi tersebut tetap ingin mempertahankan rumahnya dan menghadap pada Khalifah Umar. Umar memberikan kepada orang Yahudi itu tulang yang telah disayat untuk disampaikan pada Amr bin Ash. Tatkala Amr bin Ash menerima tulang itu, beliau bersegera menghentikan perluasan masjid.
Dari sejarah yang sudah pernah terjadi sebelumnya, dapat dibuktikan bahwa menerapkan hukum Islam secara kaffah dapat menciptakan hubungan yang ekologis. Bukan hanya menyejahterakan kaum Muslim, tapi juga menyejahterakan kaum non-Muslim dan alam semesta. []