London, Gontornews — Amnesty International menyatakan jika salah satu karyawannya telah menjadi target sebuah perangkat lunak pengawasan (Spyware) buatan Israel. Hal itu dicurigai sebagai upaya untuk memata-matai kelompok HAM oleh negara yang tidak sejalan dengannya.
Dalam sebuah laporan sebanyak 20 halaman yang dirilis hari ini, Rabu (1/8), Amnesty mengatakan awal Juni lalu, salah satu anggota stafnya diberi umpan melalui pesan WhatsApp yang mencurigakan. Pesan tersebut tentang aksi protes yang terjadi di depan Kedutaan Saudi di Washington.
Pesan berbahasa Arab itu berbunyi: “Bisakah Anda meliput (aksi protes) di depan kedutaan Saudi di Washington, untuk saudara-saudara Anda yang ditahan di Arab Saudi. Saudaraku ditahan di Ramadhan dan saya mendapat beasiswa di sini jadi tolong jangan tautkan saya ke ini. Protes sekarang ini akan dimulai dalam waktu kurang dari satu jam. Kami butuh dukungan Anda, silakan.”
Tautan, jika diklik, akan memasang Pegasus sebuah alat pengawasan canggih yang dikembangkan oleh perusahaan NSO Group yang berbasis di Israel. Pengawas canggih ini akan bisa menginfeksi smartphone pengguna dan mencuri semua informasi telepon, termasuk: setiap nama kontak dan nomor telepon, pesan teks , email, pesan Facebook, mulai dari Skype, WhatsApp, Viber, WeChat, dan Telegram.
“NSO Group diketahui hanya menjual spyware kepada pemerintah. Oleh karena itu, kami percaya bahwa ini adalah upaya yang disengaja untuk memata-matai Amnesty International,” jelas Joshua Franco dari Kantor Teknologi Hak Asasi Manusia, Amnesty Internasional, seperti dikutip Aljazeera.
Organisasi yang bermarkas di London itu mengatakan, mereka juga telah menelusuri tautan berbahaya itu ke jaringan situs yang terkait dengan NSO Group.
Sementara itu, NSO Group mengatakan dalam sebuah pernyataan tertulis bahwa produknya hanya dapat digunakan secara eksklusif untuk penyelidikan dan pencegahan kejahatan dan terorisme. Perusahaan itu juga telah mengakui membebankan pelanggan US$ 650.000 untuk meretas 10 perangkat, di atas biaya instalasi US$ 500.000. [Devi Lusianawati]