Jakarta, Gontornews — Wakil Ketua MPR RI dan Anggota DPR RI Komisi VIII dari FPKS, Hidayat Nur Wahid, menyayangkan biaya haji (Bipih) tahun 2023 yang ditetapkan, memang turun dari yang semula diusulkan oleh Kemenag yaitu Rp69,9 juta, tapi turunnya masih berada di angka Rp49,8 juta atau nyaris di angka psikologis Rp 50 juta. HNW sapaan akrabnya menjelaskan, bila merujuk pada penjelasan Kemenag terkait peruntukan biaya haji, dan fakta-fakta di lapangan, mestinya biaya haji masih bisa turun lagi ke kisaran angka Rp47 juta.
“Saya tentu mengapresiasi Kemenag yang mau mendengarkan kritik dan masukan dari anggota DPR Komisi VIII serta keberatan masyarakat luas soal kenaikan awal biaya haji di angka Rp69,9 juta. Apresiasi juga diberikan kepada Panja Haji Komisi VIII DPR RI yang telah mengkritisi, mengoreksi, melakukan kunjungan lapangan, dan mengawal soal kemahalan BPIH dan Bipih ini sehingga dapat menurunkan biaya haji tahun 2023. Namun angka akhir yang disodorkan oleh Kemenag yakni Bipih Rp49,8 juta per jamaah dengan peruntukan untuk tiga komponen yaitu ; penerbangan Rp32,743,992, living cost Rp 3,030,000, dan layanan Masyair sebesar Rp14,038,708, masih tidak efisien dan mestinya bisa diturunkan lagi hingga mendekati Rp47 juta, dan karena itulah FPKS DPR RI masih menolak ketentuan harga dari Kemenag yang Rp49,8 juta tersebut,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (16/2).
Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menambahkan, pengurangan usulan biaya penyelenggaraan haji (BPIH) dari Rp98,8 juta menjadi R 90,05 juta baru memangkas biaya layanan haji di Saudi dan living cost jamaah.
Padahal, ada beberapa komponen lain yang masih mungkin dilakukan efisiensi, seperti biaya penerbangan, penginapan, transportasi darat di Saudi, hingga konsumsi.
Misalkan biaya penerbangan seharusnya bila berpacu pada angka inflasi 5,5% saja, sehingga bisa di angka Rp30,9 juta per jamaah. Atau kalau mengacu pada harga ticket normal Jakarta-Jeddah PP untuk jamaah umrah, jelas bisa lebih diturunkan lagi.
“Itu pun kesesuaian dengan UU Keuangan Haji bahwa pengelolaan keuangan haji harus berdasarkan syariat dalam konteks biaya penerbangan penting dikritisi, karena dengan angka itu, sejatinya calon jamaah haji diharuskan membayar dengan harga penuh pesawat kosong ketika pulang mengantar calon jamaah haji, maupun ketika pesawat kosong datang menjemput mereka pulang ke Indonesia,” sambungnya.
Lalu akomodasi di Mekkah selayaknya bisa turun lagi setidaknya 200 SAR per jamaah, anggaran bus shalawat 146 SAR mestinya bisa dihapuskan dengan mencari pemondokan yang menyediakan layanan tersebut, dan makanan bisa turun lagi sekitar 2 SAR per jamaah atau 88 SAR untuk 44 kali makan.
Selain itu biaya pelayanan haji di Armuzna (Masyair) juga patut diturunkan lagi setidaknya ke angka 4000 SAR, mengingat adanya penghapusan pajak oleh pihak Saudi, dan fakta tidak adanya peningkatan layanan yang signifikan bila dibandingkan dengan haji pada tahun 2019 yang biaya masyairnya hanya 1500 SAR.
“Tentunya jika biaya seluruh komponen tersebut bisa diperjuangkan oleh Kemenag menjadi lebih efisien, BPIH tahun 2023 bisa berada di kisaran angka Rp 85 juta, sehingga bipih atau beban yang dibayar langsung oleh setiap calon jamaah bisa turun ke sekitar Rp46,7 juta,” lanjutnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menjelaskan, dengan skenario demikian, maka jamaah waiting list tahun 2023 hanya dikenakan pembayaran pelunasan sebesar Rp20,44 juta, lantaran sudah ada saldo setoran awal Rp 25 juta dan saldo virtual account sebesar Rp1,3 juta. Adapun jamaah lunas tunda tetap dalam skenario tidak lagi perlu membayar tambahan pelunasan.
Kebutuhan nilai manfaat dari skenario tersebut adalah Rp8,3 Triliun, bisa diambil dari saldo nilai manfaat berjalan yang bisa digunakan tahun 2023 sebesar Rp7,1 Triliun dan akumulasi saldo nilai manfaat sebesar Rp1,2 Triliun. Keberlangsungan keuangan haji tetap terjaga karena akumulasi saldo nilai manfaat setelah digunakan untuk keperluan haji 2023 masih di level Rp14 Triliun.
“Jika biaya yang ditanggung jamaah bisa semakin turun ke angka Rp 20 juta, maka tentu hal tersebut akan meringankan mereka untuk menunaikan haji dan semakin syukur dan semangat mendoakan kebaikan untuk negeri ini,” ujarnya.
Meskipun berbagai usulan tersebut belum mampu diupayakan oleh Kementerian Agama tahun ini, dirinya mengingatkan Kemenag dan BPKH untuk memastikan persiapan penyelenggaraan haji tahun-tahun ke depan agar lebih efektif, efisien dan sesuai syariah sebagaimana ketentuan UU Keuangan Haji.
Jangan sampai ada biaya-biaya yang dilambungkan sehingga berpotensi menjadi temuan KPK, serta perencanaan dan pelaksanaannya harus sesuai aturan syariah yang menjadi ketentuan dalam UU pengelolaan keuangan haji.
“Kemenag harusnya bisa menyajikan perencanaan pembiayaan haji yang efisien, dan lebih awal dalam memaksimalkan lobi harga untuk biaya pelayanan, akomodasi dan transportasi di Arab Saudi. Agar masa tinggal jamaah haji Indonesia di Saudi hanya 30 hari, untuk itu agar ada tambahan bandara di Jeddah, Thaif, Yanbu maupun Qasim yang memungkinkan pesawat-pesawat pengangkut jamaah Haji dari Indonesia bisa leluasa take off dan landing. Dan agar BPKH juga harus lebih pintar dan sukses dalam mengelola keuangan haji agar nilai manfaatnya lebih banyak lagi untuk maslahat jamaah, sehingga mereka tetap dalam kategori “istitha’ah” untuk dapat memenuhi rukun Islam ; melaksanakan ibadah Haji,” pungkasnya. []