New Delhi, Gontornews — Lubna Aamir (28) adalah seorang dokter gigi muslimah bersertifikat pelatihan. Tetapi, menjalankan profesinya sebagai dokter gigi profesional masih menjadi impian bagi Lubna. Setelah belajar kedokteran gigi dan beberapa tahun menjalani praktik kedokterannya di sebuah perguruan tinggi di negara bagian Maharashtra, Aamir berharap mendapatkan posisi yang lebih baik.
“Saya ingin mengembangkan apa yang kami sebut dengan praktik kelas dan memiliki pengalaman di luar lingkungan lokal,” kata Aamir kepada Al Jazeera.
Sejak tahun 2018, Aamir mulai melamar pekerjaan di klinik di seluruh India dengan menggunakan pesan elektronik. Ia bahkan mengajukan lamaran secara langsung ke beberapa klinik tetapi tidak kunjung mendapatkan tanggapan.
“Saya mendapatkan nilai bagus dan magang di perguruan tinggi negeri yang banyak diperlukan oleh industri kedokteran gigi. Profil kerja saya bagus. Tetap saja, saya tidak mendapat tanggapan apa pun,” paparnya.
Meski berkontribusi hampir 14 persen dari 1,35 Miliar, muslim di India tidak memiliki kesempatan yang sama baik di sektor pemerintah maupun swasta. Beberapa komisi yang pemerintah tunjuk menemukan bahwa komunitas muslim di India berada di urutan terbawah di antara kelompok sosial India dalam hal pendidikan dan pekerjaan.
Salah satu komisi tersebut menemukan, pada tahun 2006, bahwa Muslim India kurang beruntung dalam hal sosial, ekonomi dan pendidikan. Komisi tersebut mengatakan kurang dari 8 persen populasi muslim di India yang bekerja di sektor formal.
Pada sensus 2011, sensus terakhir pemerintah India, menyatakan bahwa partisipasi perempuan Muslim dalam pekerjaan kurang dari 15 persen, sedangkan perempuan Hindu lebih dari 27 persen. Sementara partisipasi serupa untuk wanita Budha dan Kristen berada di atas 30 persen.
Situasi ini semakin buruk saat partai nasionalis India Bharatiya Janata Party (BJP) pimpinan Narendra Modi berkuasa. Di rezim Modi, pemerintah seolah mengerjakan kebijakan yang menargetkan komunitas muslim terutama yang terkait hak-hak ekonomi dan agama mereka.
Para ahli mengatakan bahwa pemerintah India saat ini berdiri di persimpangan perbedaan gender dan agama yang signifikan.
“Biasanya ada. Tetapi dominasi BJP dan RSS telah membuat orang-orang menyerukan pengucilan Muslim di semua sektor ekonomi,” kata Apporvanand, akademisi dan aktivis yang berbasis di New Delhi, India.
“Karena ini selalu mendapatkan perlindungan dan patronase dari negara, (kesenjangan itu) sekarang berlaku secara terbuka,” sambungnya.
Apporvanand tidak segan mengatakan tujuan dari hak Hindu adalah untuk melumpuhkan umat Islam secara ekonomi. “(Pemerintah India seolah) memaksa mereka ke dalam keadaan kekurangan secara terus menerus sehingga mereka menjadi populasi yang tertunduk secara permanen,” ucap Apporvanand.
“Secara politik, umat Islam telah dilemahkan. Idenya sekarang adalah untuk melemahkan mereka di semua sektor kehidupan,” imbuhya.
Dokter gigi Aamir pun mengakui bahwa identitas kemusliman yang ia tunjukkan sebagai alasan di balik kegagalannya untuk mendapatkan pekerjaan. Jika ia bukan seorang muslim, mungkin situasinya akan berbeda.
Selama wawancara, Aamir menjawab beberapa pertanyaan dari pewawancara seputar kehidupan dan kepercayaannya. Tetapi, di akhir wawancara, pewawancara bertanya tentang jilbab yang ia kenakan. Pewawancara bertanya ke Aamir tentang kesediaannya melepas jilbab jika klinik menerimanya. Ia pun dengan tegas menolak permintaan tersebut.
“Dia membawa saya ke samping dan mengatakan kepada saya secara pribadi bahwa dia tidak ingin menyimpan harapan saya untuk pekerjaan itu,” kata Aamir saat mengingat seorang petinggi SDM di sebuah klinik terang-terangan menolak untuk mempekerjakan dirinya karena ia menggunakan jilbab.
Aamir pun putus asa dengan kondisinya. Kini, Aamir beralih profesi dari sektor klinis ke bidang non-klinis. Kini, ia bekerja sebagai analis data medis senior di sebuah perusahaan bioinformatika yang berfokus pada penelitian kanker alih-alih berprofesi sebagai dokter gigi yang menjadi impiannya.
“Saya harus membuat keputusan sulit. Perasaan untuk melakukan hal-hal terhadap pasien tidak cukup membuat Anda menjadi seorang dokter,” tutup Aamir. [Mohamad Deny Irawan]