Jakarta, Gontornews — Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Iuran dinaikkan pemerintah per 1 Januari 2020 untuk mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Kenaikan ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pada Pasal 34 Perpres 75 Tahun 2019 menyatakan kenaikan premi 100 persen. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa besaran iuran yang harus dibayar peseerta adalah Rp 42.000 per bulan untuk kelas III, Rp 110.000 per bulan untuk kelas II, dan Rp 160.000 per bulan untuk kelas I.
Menurut Anggota Komisi IX DPR RI Anggia Erma Rini, problem inti kesehatan bukan semata urusan kenaikan iuran. “Harus ada perbaikan sistem dan langkah kongkrit penanganan yang tepat dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pihak BPJS Kesehatan,” kata Anggia dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes RI dan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Rabu (6/11).
Anggia menyarankan perlunya revitalisasi dan promosi puskesmas, serta prevensi problem kesehatan di masyarakat. “Revitalisasi itu penting untuk menekan lonjakan orang sakit yang datang berobat. Karena Puskesmas adalah ujung tombak kesehatan masyarakat. Kita tidak perlu menunggu orang sakit datang ke Puskesmas. Kemenkes harus melakukan pendampingan sekaligus menemukan formula yang tepat agar masyarakat sehat dan tidak perlu mengakses BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Terkait kenaikan iuran, Anggia meminta agar kenaikannya dikalkulasi secara benar. “Apakah benar kenaikan ini akan menutupi defisit? Dikhawatirkan belum menutupi. Jangan sampai, sudah dinaikan 100 persen ternyata tidak mampu menutupi defisit, terus layanan tetap sama. Kenaikan ini meresahkan dan membuat gaduh masyarakat di luar sana. Harus ada kebijakan yang menjawab permasalahan di masyarakat terkait hal ini,” pungkasnya.