Oleh Nurizal Ismail
Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID
Anda mungkin tidak mengira atau bahkan menyangka, mengapa istilah dungu sering diperdengarkan hingga diperdebatkan akhir-akhir ini. Entah, apakah itu karena kata ‘dungu’ keluar dari seorang Rocky Gerung (RG) atau memang kata ini adalah kata sindirian yang dialamatkan kepada mereka yang tidak mampu menggunakan akalnya untuk menganalisis fenomena masyarakat? Tentu, hanya Anda yang bisa menjawab pertanyaan ini dalam hati.
Bagi mereka memiliki hati nurani yang jernih dan tidak pernah menggunjing orang lain akan menganggap penyebutan istilah dungu sebagai istilah yang sangat kasar untuk sekedar diucapkan bahkan digunakan dalam pergaulan sehari-hari.
Oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dungu diartikan sebagai sebuah istilah yang mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk berpikir cerdas dan enggan untuk mengakui kebodohannya atau bebal.
Akan tetapi, perdebatan apa dan bagaimana sifat orang dungu sudah dibahas oleh para ulama dan cendekiawan muslim sedari abad 7 H jauh sebelum hingar-bingar penggunaan istilah ‘dungu’ di media sosial masyarakat Indonesia hari ini. Dalam literatur kajian kitab klasik Islam, istilah ‘dungu’ disebut dengan Al-Aḥmaq.
Salah seorang ulama yang fokus dan memberikan penjelasan makna kedunguan adalah Ibnu al-Faraj ibnu al-Jawzī (508-597 H). Dalam karyanya, yang berjudul Akhbāru al-Hamqā’ wa al-mughoffalīn, ia menjelaskan bahwa secara bahasa dungu berarti kondisi dimana seseorang mengalami kerusakan akal dan pikiran.
Lawan dari dungu adalah ilmu. Jika demikian, Ibnu al-Jawzī yang mengutip pendapat Ja’far bin Muhammad membagi 4 tipe manusia, yakni: orang yang berilmu (‘Ālim), orang yang tidur (Nāimun), orang bodoh (Jāhilun) dan orang dungu (Ahmaqūn).
Orang yang berilmu, atau ‘Alim, merujuk kepada orang yang memahami bahwa ia mengetahui sesuatu tentang ilmu pengetahuan. Maka, belajarlah ilmu pengetahuan kepadanya. Sedangkan orang yang sedang tidur, atau nāimun, adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya mengetahui tentang sebuah ilmu pengetahuan. Maka, berhati-hatilah dengannya.
Sedangkan orang bodoh, atau jāhilun, adalah mereka yang tidak tahu kalau ia tidak mengetahui sebuah ilmu pengetahuan, maka ajarkanlah ia. Dan orang dungu atau aḥmaqun adalah mereka yang tidak tahu kalau ia tidak mengetahui tentang ketidaktahuannya, maka jauhilah orang itu.
Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu al-Jawzī ini juga ditemukan dalam penjelasan Imam Al-Ghazālī (W 505 H), dalam karyanya yang monumental kitab Ihyā ‘Ulūmuddīn. Kedua ulama ini pun bersepakat jika menjauhi orang-orang dungu adalah merupakan sebuah keharusan bukan karena ketidaktahuannya tapi karena kesalahan informasi yang mungkin saja menyebabkan banyak orang tersesat.
Sementara itu, dalam Jāmi’u al-Bayani al-’ilmi wa Faḍlihi, Ibnu ‘Abdul Birri pernah mengisahkan pembicaraan salah seorang khalifah Bani Abbasiyah Umar bin Abdul Aziz dengan para jama’ahnya tentang orang paling dungu di dunia. Ia bertanya, “Beritahukan kepadaku siapakah orang yang paling dungu?” para jama’ah pun ramai-ramai menjawab, ”(mereka adalah) orang-orang yang menjual akhiratnya demi mendapatkan dunianya.”
Tak berhenti sampai di situ, Khalifah Umar pun kembali bertanya, “Maukah kuberitahu kepada kalian semua siapakah orang yang lebih dungu darinya?” mereka menjawab, ”tentu saja.” Khalifah Umar pun menjelaskan bahwa orang yang lebih dungu dari orang dungu adalah, ”orang yang mengorbankan akhiratnya demi kepentingan dunia orang lain.”
Satu pesan penting lain dilontarkan oleh Khalifah ‘Ali bin Abi Ṭālib kepada putranya Hasan tentang seruan untuk menjauhi orang yang dungu. Bagi mereka yang pernah hidup di lingkungan pesantren tentu sudah sangat familiar dengan salah satu mahfūdẓāt ini. Berikut pesan ‘Ali bin Abi Ṭālib kepada putranya, Hasan:
“Ya Bunayya, ihfaẓ ‘annī arba’an wa arba’an la yaḍurruka mā ‘amilta ma’ahunna, aghna al-ghina al-’aqlu, wa akbaru al-faqri al-ḥūmqu, wa awhashu al-wahshati al-‘ujbu, wa akbaru al-ḥasabi ḥusnu al-khuluqi.”
Artinya: “Wahai anakku jagalah dariku empat perkara dan empat perkara lain yang tidak akan mencelakakanmu selama engkau berpegang dengannya: (1) kekayaan yang paling kaya adalah akal, kefakiran yang paling besar adalah kedunguan, keliaran terbesar adalah kesombongan, dan nasab terbesar adalah akhlak mulia.”
Pada pesan selanjutnya, ‘Ali bin Abi Ṭālib menambahkan: Iyyāka wa muṣadaqata al-aḥmaqi fainnahu yurīdu an yan’fa’aka fayaḍurruka, yang berarti menghindarlah dari orang yang dungu karena mereka hadir seolah untuk membantu dan memberikan manfaat kepadamu padahal mereka ingin mencelakakanmu.
Dari beberapa catatan di atas, sudah sepatutnya seorang muslim menjauhi sifat dungu hingga menjadikan orang dungu sebagai teman setia. Jika Ali bin Abi Ṭālib menempatkan kedunguan sebagai sebuah kemiskinan terbesar maka Umar bin Abdul Aziz mengaitkan kedunguan dengan sisi akhirat.
Oleh karenanya, mayoritas ulama bersepakat dan menganjurkan seluruh umat Muslim agar mempelajari ilmu pengetahuan agar senantiasa terhindar dari sifat dungu dan kedunguan seseorang. Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.[]