Jakarta, Gontornews — Majelis Ulama Indonesia akan menyelenggarakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 di Bangka Belitung, dengan tema “Mewujudkan NKRI yang Maju, Adil, dan Beradab”.
Dalam acara KUII ke-7 itu, akan dibahas berbagai persoalan mulai dari ekonomi, politik, hukum, Islam Wasathiyyah, pendidikan dan budaya, media dan pers, sampai filantropi.
Ketua Panitia KUII ke-7, KH. Zaitun Rasmin mengungkapkan, di bidang Pendidikan, KUII akan membahas masalah seperti pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu dan daya saing, tata kelola, pembiayaan, serta akomodasi kebudayaan dalam pendidikan.
Pemetaan masalah ini akan meningkatkan kinerja pendidikan nasional yang selama ini memang memerlukan reformasi secara menyeluruh.
“Cita-cita pendidikan dan kebudayaan dalam perspektif Islam dan Pancasila adalah pendidikan yang religius, yaitu sistem pendidikan yang tidak sekadar bersifat pragmatis, namun juga menekankan perkembangan diri manusia, mengisinya dengan nilai-nilai mulia,” katanya di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Jumat (7/2).
Zaitun juga mengatakan, di bidang filantropi, KUII menyoroti upaya memaksimalkan peluang filantropi Islam. Terutama karena Indonesia dalam lima tahun terakhir, selalu masuk sebagai 10 negara paling dermawan di dunia. Bahkan di tahun 2018, Indonesia didaulat sebagai negara paling dermawan sedunia.
“Lembaga filantropi tumbuh dengan subur, tapi di lain pihak belum banyak lembaga yang profesional sehingga tidak terdata secara nasional, regional, maupun global,” katanya.
Selain dua topik itu, topik-topik lain yang dibahas dalam KUII mengangkat masalah penting terkait umat.
Jumlah peserta yang hadir pada KUII ke-7 itu ditargetkan mencapai 800 peserta, yang berasal dari semua golongan mewakili Islam seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, perguruan tinggi, sekolah, tokoh-tokoh Islam, dan lain sebagainya.
Kongres Umat Islam dilaksanakan lima tahun sekali membahas masalah keumatan terkini di berbagai bidang dan strategi kemajuan umat di masa mendatang. Akhir dari kegiatan ini menghasilkan rekomendasi. Kongres terakhir di Yogyakarta pada tahun 2015 menghasilkan rekomendasi yang dinamai Risalah Yogyakarta. [Fathur]