Jakarta, Gontornews — Lulusan yang memiliki link and match dengan dunia kerja menjadi fokus pengembangan pendidikan vokasi dalam tiga tahun terakhir. Dengan menumpukan kegiatan pendidikan 70 persen di lapangan dan 30 persen di kelas diharapkan mampu menelurkan lulusan pendidikan vokasi yang lebih terampil di dunia kerja. Sayangnya fakta menunjukkan bahwa lulusan SMK, salah satu sekolah dengan sistem pendidikan vokasi, justru menyumbang angka pengangguran tertinggi di negeri ini.
“Fakta ini menunjukkan masih ada ketimpangan dalam konsep link and match antara dunia sekolah dengan dunia usaha dan dunia industri. Padahal sistem pendidikan vokasi sudah mengakomodasi 70 persen praktik lapangan dan 30 persen teori. Artinya masih ada yang tidak klop dengan konsep link and match ini, bisa dari soal kerja lapangannya, tenaga kependidikannya maupun dari kurikulumnya,” kata anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah kepada Gontornews.com. Selasa (10/12).
Ledia menguraikan, meskipun 70 persen waktu siswa digiatkan dalam kerja praktek lapangan namun pada kenyataannya masih banyak perusahaan mitra yang memperlakukan siswa hanya sebagai helper, bukan sebagai siswa magang yang tengah memenuhi target kerja sesuai kurikulum.
“Dari berbagai masukan dan serap aspirasi terungkap kalau Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang menjadi mitra sekolah kerap hanya menjadikan anak-anak magang sebagai helper, tenaga bantu-bantu di beberapa unit. Kadang bahkan tidak berkesuaian dengan rencana ajar, yang penting magang. Padahal siswa magang seharusnya memiliki rencana, target dan evaluasi pencapaian yang ditentukan dan terukur, serta sebelum magang antara sekolah dengan mitra DUDI sudah ada kesepahaman akan rencana, target dan evaluasi pencapaian praktek lapangan dari siswa tersebut,” tegasnya.
Soal kompetensi guru juga diingatkan oleh Ledia. “Guru yang mengajar pada sekolah vokasi perlu ditingkatkan keahliannya, diantaranya dengan memastikan mereka memperoleh pelatihan yang tepat sampai memiliki sertifikat kompetensi yang sesuai dengan bidang ajar,” tambah Ledia.
Sebab hampir semua sekolah vokasi memiliki jumlah guru yang cukup untuk mengajar tetapi ternyata banyak diantara para guru ini belum memiliki sertifikat kompetensi yang berkesesuaian. “padahal logikanya kalau siswa didorong untuk menjadi terampil dan ahli tenaga pengajarnya harus lebih terampil dan ahli dong. Salah satunya ya dibuktikan dengan sertifikat kompetensi yang dimiliki,” katanya
Lebih lanjut aleg Fraksi PKS ini meminta implementasi kurikulum sekolah vokasi juga perlu pula diawasi dan dievaluasi secara berkala. Sebab kalau kurikulumnya sudah menitikberatkan pada soal ketrampilan, keahlian, link and match, maka pencapaian ketrampilan minimal dan kompetensi minimal dari setiap siswa dapat harus dilihat secara terukur. Sebelum magang, sesudah magang, selama di sekolah, semua pencapaian pemahaman teori dan ketrampilan peserta didik harus terukur sesuai dengan kurikulum yang ada. Apakah akan melibatkan DUDI? “Bisa saja, ini artinya sekolah pun perlu proaktif membangun komunikasi dengan mitra DUDI agar terjadi implementasi kurikulum dengan kebutuhan link and match yang tepat,” pesannya.
Terakhir aleg dapil Kota Bandung dan Cimahi ini juga mengingatkan pemerintah agar memastikan koordinasi yang sinergis antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mewujudkan program revitalisasi pendidikan vokasi yang link and match dengan DUDI.
“Sebab dunia usaha itu kan berada di bawah tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota, tanggungjawab SMK berada di tangan Pemerintah Propinsi sementara Politeknik berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat. Maka kalau satu sama lain kurang lancar ngobrolnya, koordinasinya dan belum satu visi misinya soal penguatan link and match pendidikan vokasi dengan DUDI ke depannya tentu pengokohan SDM unggul pun bisa terhambat,” tutup Ledia. []