Jakarta, Gontornews–Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan awal Syawal 1437H/2016M jatuh pada Rabu, 6 Juli 2016.
Sebelumnya, anggota tim Badan Hisab Rukyat Cecep Nurwendaya memaparkan posisi hilal awal Syawal 1437H. Menurutnya, secara hisab, posisi hilal di seluruh wilayah Indonesia berada di bawah ufuk, rata-rata berada pada minus 2 derajat 45 menit sampai minus 0 derajat 49 menit.
Menag Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa sidang itsbat diperlukan untuk mendengar laporan rukyat sebagai konfirmasi atas informasi hitungan hisab sehingga kedua pendekatan ini sama-sama digunakan untuk saling melengkapi.
Apalagi, fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dengan dua metode, yaitu: hisab dan rukyat.
“Kedua metode ini saling melengkapi dan tidak untuk diperhadapkan,†jelas Menag.
Meski hasil hisab menunjukan bahwa hilal berada di bawah ufuk, lanjut Menag, rukyat tetap perlu dilakukan. Sebab, selain merupakan sunnah Rasul, rukyat juga merupakan cara konfirmasi atas informasi yang diperoleh melalui mekanisme hisab.
“Hasil hitungan hisab bersifat informatif, sedang hasil rukyat bersifat konfirmatif,†terangnya.
Senada dengan Menag, Ketua MUI KH Makruf Amin menjelaskan bahwa fatwa MUI No 2 tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah ini dikeluarkan pada Januari 2004. Menurutnya, fatwa ini merupakan hasil kesepakatan para ulama komisi fatwa seluruh Indonesia pada Desember 2003.
Fatwa yang ditandatangani oleh KH Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa MUI) dan Hasanudin (Sekretaris Komisi Fatwa MUI) ini menyatakan, penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Selain itu, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa ini juga mengatur bahwa dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan MUI, ormas-ormas Islam dan instansi terkait.
“Ini didasarkan pada pendapat ulama bahwa perbedaan dimungkinkan sepanjang Pemerintah belum membuat keputusan. Ketika pemerintah sudah menetapkan, seluruhnya wajib melaksanakan puasa atau berbuka,†tegas Kiai Makruf.
“Kaidahnya adalah hukmul haakim ilzaam wa yarfa’ul khilaaf. Keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perbedaan,†tambahnya.
“Fatwa itu masih berlaku sampai hari ini,†tegasnya dalam siaran pers Kemenag. [Fathur/DJ]