Jakarta, Gontornews — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan semakin tinggi tingkat keagamaan masyarakat semakin tinggi pula pengaruhnya dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat sampai kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ketika agama menjadi sumber nilai dalam kehidupan dan mengajarkan orang berbuat benar, baik, patut, dan nilai-nilai keadaban, sentimen agama menjadi konstruktif untuk menghidupkan derajat moral dan keadaban publik,” ungkap Haedar sebagaimana dilansir muhammadiyah.or.id, Rabu (19/4).
“Islam bukan hanya ajaran keyakinan (akidah) dan ritual (ibadah), melainkan juga akhlak dan muamalah. Pada ranah muamalah itulah Islam bertautan dengan politik, ekonomi, iptek, budaya, dan urusan duniawi lainnya,” tambahnya.
Bagi Haedar, sistem perpolitikan dan ekonomi nasional memerlukan peran agama sebagai legitimasi.
“Politik itu sarat kepentingan dan banyak seninya. Ketika menguntungkan, agama dipakai. Ketika tidak menguntungkan, agama tidak dipakai. Ini soal aktornya,” jelas Haedar.
Pada kesempatan yang sama, Haedar juga mengatakan stigma negatif umat Islam sebagai pengganggu kebhinekaan sama sekali tidak benar.
Umat Islam, lanjut Haedar, sedang dalam proses mencari tempat dan artikulasi yang pas untuk berekspresi dan menyampaikan keinginannya.
“Sebenarnya umat Islam tidak sedang mengganggu kebhinekaan, apalagi mengganggu kemapanan kekuasaan. Tetapi sedang mencari baju yang pas di republiknya sendiri yang dia bangun,” papar Haedar.
“Dia harus punya baju yang pas. Ini bukan politik diskriminasi. Tapi realitas politik yang berlaku di negara mana pun dalam proses demokrasi. Dan tidak ada tuntut-menuntut.”
“Umat Islam tidak ingin meminta lebih kok. Kami, Muhammadiyah, dan tentu organisasi Islam moderat lain, selalu menjaga koridor bahwa posisinya adalah Negara Pancasila. Tidak negara Islam. Dan tidak negara sekuler. Proses dialektik ini sedang berlangsung,” pungkas Haedar. [Mohamad Deny Irawan/Rus]