Rakhine, Gontornews — Genosida yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya adalah untuk membangun pangkalan militer mereka. Setidaknya, saat ini sudah ada tiga pangkalan mikiter milik Myanmar yang dibangun di atas tanah milik Muslim Rohingya.
Remisi Amnesty International yang diterbitkan Senin (12/3) melaporkan, pasukan keamanan telah membuldozer rumah dan mulai membangun setidaknya tiga fasilitas keamanan baru di negara bagian Rakhine, Myanmar barat. Pembangunan tiga pos militer tersebut dimulai pada bulan Januari, didasarkan pada citra satelit dan pernyataan saksi dari pengungsi Rohingya.
Direktur Respons Krisis Amnesty, Tirana Hassan, menjelaskan yang terjadi di negara bagian Rakhine adalah perampasan tanah oleh militer dalam skala dramatis. Pangkalan baru didirikan untuk menampung pasukan keamanan yang sama yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya.
“Pembangunan baru-baru ini memperkokoh diskriminasi yang sudah tidak manusiawi yang dihadapi di Myanmar,” katanya seperti dikutip Aljazeera.com.
Sementara itu, aktivis Rohingya, Ro Nay San Lwin, mengatakan, Myanmar tidak akan mengizinkan kaum minoritas Muslim untuk kembali ke negara bagian Rakhine. Sebagai bagian dari genosida, tentara Myanmar telah menghancurkan rumah warga Rohingya dan menyita barang dan hak milik Muslim Rohingya.
“Mereka tidak akan membiarkan Rohingya kembali ke desa asalnya,” kata Lwin.
Hampir 700.000 orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak Agustus lalu sebagai akibat tindakan kekerasan pemerintah yang dilancarkan setelah serangan mematikan terhadap pos-pos militer oleh anggota Arakan Rohingya Solidarity Army (ARSA).
Rohingya, salah satu komunitas yang paling teraniaya di dunia karena tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, selama beberapa dekade menghadapi diskriminasi dari pihak berwenang Myanmar.
Sebelum eksodus saat ini, puluhan ribu orang Rohingya telah tinggal sebagai pengungsi di beberapa negara tetangga. Myanmar dan Bangladesh mengumumkan kesepakatan repatriasi pada bulan Januari, namun kelompok hak asasi manusia dan Rohingya mengkhawatirkan tentang kesepakatan tersebut. Mereka mengatakan, hal itu tidak menjamin kewarganegaraan atau keamanan penuh bagi mereka yang kembali. [Devi Lusianawati]