Den Haag, Gontornews — Pengadilan internasional, Jumat (22/7/2022), akan memutuskan keberatan Pemerintah Myanmar atas dugaan genosida yang mereka lakukan terhadap minoritas muslim Rohingya. Keputusan ini bisa menjadi langkah pembuka jalan persidangan kasus genosida Rohingya oleh militer Myanmar jika pengadilan menolak keberatan negara Asia Tenggara tersebut.
Dalam persidangan sebelumnya, Myanmar berpendapat bahwa Gambia tidak memiliki kedudukan di pengadilan tinggi PBB tersebut. Tetapi, Gambia beranggapan bahwa semua negara memiliki kewajiban untuk menegakkan Konvensi Genosida 1948. Gugatan Gambia ini telah mendapatkan dukungan dari 57 negara Organisasi Kerja sama Islam dalam rangka meminta pertanggungjawaban Myanmar serta mencegah pertumpahan darah lebih lanjut.
Sebuah misi pencari fakta PBB menyimpulkan bahwa, pada tahun 2017, kekerasan militer Myanmar telah menyebabkan 730.000 etnis minoritas Rohingya di Rakhine menyelamatkan diri ke Bangladesh.
Jika hakim menolak keberatan Myanmar, maka pengadilan akan mengadili kasus ini secara penuh meski, nantinya, proses persidangan berjalan lama. Tetapi, jika hakim menerima keberatan ini, Myanmar akan mengakhiri perkaranya di pengadilan.
Dalam keputusan sementara tahun 2020, pengadilan meminta pemerintah Myanmar untuk melindungi komunitas Rohingya dari genosida. Putusan ini merupakan bentuk kemenangan hukum bagi komunitas Rohingya agar mereka mendapatkan hak perlindungan secara internasional.
Meski demikian, sejumlah komunitas Rohingya internasional dan aktivis hak asasi manusia mengatakan putusan itu tidak mengakhiri penganiayaan sistematis oleh militer Myanmar. Benar saja, sejauh ini, komunitas Rohingya masih mendapatkan penolakan hak kewarganegaraan maupun kebebasan bergerak di Myanmar. Bahkan, puluhan ribu komunitas Rohingya ditempatkan di kamp-kamp pengungsian yang kumuh dalam satu dekade terakhir. [Mohamad Deny Irawan]