Memasuki Desember 2015, publik dihebohkan oleh skandal pencatutan nama presiden dan wakil presiden. Tak tanggung-tanggung sumber kehebohan berawal dari laporan Menteri ESDM Sudirman Said kepada Mahkamah Kehormatan Dewan. Intinya ada oknum anggota dewan – belakangan diketuai bernama Setya Novanto (SN, Ketua DPR)—terlibat dalam pertemuan segitiga antara Ketua DPR, Presdir Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha M Reza Cholid.
Dari rekaman yang beredar dan diputar dalam sidang MKD DPR RI terungkap adanya pembicaraan ihwal ‘permintaan’ 20% saham freeport –11% buat Presiden Jokowi dan 9% buat Wapres JK—sebagai salah satu syarat perpanjangan Kontrak Karya Freport yang akan berakhir tahun 2021. Saling sanggah dan saling curiga pun muncul antara kelompok SN di DPR dengan pihak istana. Kebetulan, nama Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan disebut berali-kali dalam rekaman itu. Sementara itu, beberapa elemen masyaakat pun bereaksi keras menuntut tanggungjawab pihak-pihak terkait.
Di sini, penulis tak hendak membicarakan ihwal heboh politik-ekonomi, dengan beragam ekor dan bumbunya itu. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyooti sisi lain dari tuntutan saham dan bagi hasil untuk negara. Sejatinya, selama tidak untuk kepentingan pribadi (dengan kata lain untuk kepentingan rakyat dan negara semata) Pemerintah –entah lembaga kepresidenen maupun lembaga legislatif—sangat wajar meminta saham dan bagi hasil yang lebih besar dari Freeport, yang telah mengeruk kekayaan tambang tembaga dan emas di Pegunungan Jayawijaya, Papua, sejak 1967.
Untuk diketahui, Freeport sudah dua kali mendapat konsesi Kontrak Karya. Kontrak Pertama berlaku 1967-1997. Tapi, sementara Kontrak Karya I belum selesai, Kontrak Karya II siudah disepakati tahun 1991. Jadi, Kontrak Karya II baru akan selesai tahun 2021. Dua tahun sebelumnya, 2019 adalah tenggat untuk negosiasi dengan opsi tambahan kontrak 2×10 tahun. Artinya, jika deal eksistensi Freeport bisa sampai 2041.
Sebenarnya, berapa nilai yang diperoleh Indonesia? Menurut data resmi Freeport, selama kurun 1991-2014, Indonesia telah mendapat bagian 15,7 milyar dolar. Kalau dirupiahkan dengan kurs sekarang (13.850 per dolar AS) adalah 217,45 trilyun. Sepintas angka ini cukup besar, kira-kira setara dengan 10% dana APBN. Tapi, jika dibandingkan dengan total pendapatan yang diperoleh Freeport sesungguhnya nilainya hanya sekitar 1-3% saja.
Sebagai ilustrasi, Tahun 2013, Freeport memiliki aset 28,39 milyar dolar. Pendapatan dari eksplorasi tambang dia Ertsberg dn Grasberg mencapai 18,98 milyar, laba usaha 8,987 milyar, dan laba bersih 4,34 milyar. Indonesia dua tahun lalu hanya mendapat bagian 484 juta dolar atau setara dengan 2,5% pendapatan Freeport. Bagian itu terdiri dari royalti 101 juta dolar (0,53%) dan pajak 383 juta dolar (2%). Jika basisnya laba usaha, maka bagian Indonesia adalah atau 5,38%, tediri dari royalti 1,1% dan pajak 4,28%. Tahun lalu (2014), Indonesia mendapat bagian 421 juta dolar. Ini juga hanya 539 juta dolar (sekitar 2,82% pendapatan Fresport, dengan perincian royalti 118 juta dolar (0,62%) dan pajak 421 juta dolar (2,2%). Jika basisnya laba usaha, maka Indonesia hanya mendapat 5,98% terdiri dari royalti 1,3% dan pajalk 4,68%.
Bayangkan, selama hampir 50 tahun Freeport menguasai tambang emas dan tembaga di Papua, Indonesia hanya mendapat bagian royalti sekitat 1,1-1,3% (sumber lain menyebut 1-3,5%) dan pajak sekitar 5% saja. Padahal, dalam Islam, zakat tambang itu sekitar 20%. Jika ketentuan zakat saja diterapkan kepada Freeport, maka Indonesia setiap tahun berhak mendapat bagian sekitar 3,8 milyar dolar setahun atau setara Rp 526,3 trilyun. Ini dapat menutup 26,3% anggaran APBN.
Apakah tuntutan mendapat saham 20% berlebihan? Sejatinya, tidak sama sekali. Secara regulasi, Peraturan Pemerintah No 77/2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No 23/2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menngatur bahwa usaha penambanan bawah tanah oleh PMA maksimal hanya boleh menguasi 70%.saham (Pasal 7C). Kemudian sesuai Pasal 97, PMA wajib melakukan divestasi saham 20% dalam waktu enam tahun, kemudian 25% saham (setelah 10 tahun) dan 30% (setelah 15 tahun). Berdasarkan PP yang ditetapkan Pemerintahan SBY per Oktober 2014 itu, Freeport sebenarnya sudah jatuh tempo melepas saham sedikitnya 20% pada Oktober 2015.
Jika sampai sekarang kita masih ribut dan Freeport belum mau melepas sahamnya, maka sebenarnya ini sudah melanggar hukum dan ketentuan. Pemerintah Jokowi-JK punya alasan kuat untuk memutus kontrak karya Freeport. Dengan kata lain, nasionalisasi Freeport menajdi masuk akal. Bayangkan, jika terjadi, maka Indonesia berhak atas aset senilai 28,9 milyar dolar (200% APBN) dan setiap tahun mendapat tambahan uang masuk sekitar 19 milyar dolar atau 130% APBN.
Lebih dari itu, Indonesia akan mendapat tambahan cadangan emas 29,800 juta troy ons emas (1 troy ons = 48-gram) atau setara dengan 14.300 ton emas. Sekarang ini, Indonesia baru memiliki cadangan emas sekitar 100 ton di BI. Artinya, bila nasionalisasi Freeport terjadi, kekayaan relatif Indonesia akan melejit hingga 143 kali. Rupiah, seperti analisis Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli, dipastikan akan menguat tajam. Indonesia berpotensi menjadi negara terkaya, mengalahkan AS (8.133 ton) Cina (1.677 ton) atau IMF (2.500 ton) dan Worldbank (1.800 ton).
Masalahnya, beranikah Presiden Jokowi bersikap tegas? Untuk itu, kita mungkinperlu belajar pada Venezuela yang mengambil risiko melakukan nasionalisasi perusahaan asing di negaranya. Di Arbitrasi Internasional, Pemerintah Hugo Chavez kalah dan harus membayar denda hingga milyaran dolar. Tapi, itu tidak masalah. Dari laba setahun saja cukup untuk memnbayar sanksi internasional. Jadi, apalagi yang ditakutkan? [Dedi Junaedi, Redaktur Majalah Gontor dan Dosen Ekonomi Islam INAIS Bogor]