Doha, Gontornews — Noora Diyanti atau Noora, sebagai Art Dealer, Publik Relation dan Manager untuk karya-karya Achmad Nuril Mahyudin telah mengikuti dua hari simposium internasional dengan membawa bekal pemikiran, gagasan, ide untuk perubahan – pergeseran dan perkembangan global serta membawa karya lukisan “Wet Positive Abstract of Nurielist” sebagai elemen nyata pengayaan khazanah seni lukis dunia.
Sebuah karya lukis yang mengalirkan berbagai aliran lukisan dalam satu wajah kanvas, telah membanding dengan ribuan lukisan ternama dunia. It’s a second to none (tiada duanya), atau bahasa umum orang biasa menyebut “the one and only” adalah sebuah keajaiban yang terbit dari tanah persada Indonesia.
Dengan tidak disebutnya Indonesia sebagai sebuah negara yang menopang dan mengandung warganya dua ratus juta lebih, sontak Noora menegakkan kepala, mengangkat tangan dan berdiri di forum “roundtable” yang menghimpun tiga pembicara level dunia yang dihadirkan Qatar.
Terlebih fase forum roundtable ini berbicara tentang “theory” terhadap sejarah seni dunia rasanya tidak fair tanpa menyebut Indonesia.
Walaupun mereka hadir secara independen atas biaya pribadi, dan Noora mewakili karya lukis “Wet Positive Abstract of Nurielist” untuk tujuan memperkaya khazanah seni lukis dunia, tetapi mereka, Noora sebagai generasi muda yang akan menjadi paku bumi bertiang langit Indonesia tetap berkeinginan mengangkat nama ibu pertiwi sebagai kerangka penting Sejarah Seni Islam Dunia di simposium yang bersifat “hybrid” ini dan dipantau pegiat seni di seluruh dunia.
Apa yang disampaikan Noora seakan menggoncang seisi ruangan simposium internasional yang diadakan di Virginia Commonwealth University – School of The Art in Qatar. Tiga panelis yang terpajang di panggung depan sebagai punggawa narasumber dunia untuk simposium internasional yang mengangkat “Global Turn” pun gelagapan, bahkan “Chair Person” dari Beirut-Lebanon mewakili direktur acara, langsung mengambil mic dari tangan penyaji mic untuk para penanya.
Para partisipan dari berbagai penjuru dunia yang hadir di acara simposium ini baik secara off-ine maupun online tertuju kepada anak ibu pertiwi Indonesia, Noora.
Bahkan, banyak individu yang menghampiri Noora untuk memberi dukungan kepadanya. Dan, bahkan setuju dengan apa yang disampaikannya secara lantang dan lugas. Terlebih suara Noora jauh lebih tegas dan keras membahana dibanding keseluruhan para pembicara dunia yang menyampaikan materi di simposium ini.
Tidak mau kalah dan tidak rela ketinggalan momen, bagian media berlari dari berbagai pos masing-masing untuk menangkap pesan penting tentang “Art & Global Turn” yang disampaikan Noora. Sesaat mata dunia tertuju kepada Noora. Ada beberapa pembicara dunia yang juga mengajar di berbagai perguruan tinggi dunia meminta Noora untuk meluangkan waktu berdiskusi ketika coffee-break.
Ada calon pemateri untuk esok hari yang menghampirinya untuk menggali kedalaman gagasan dan pemikiran Noora untuk “global turn” yang bergulir deras dalam kanal seni dunia.
Di sinilah seorang Noora berdiri sebagai pemberani membela Indonesia dan mencoba memaparkan nama ibu pertiwi secara terhormat sebagai tonggak sejarah seni Islam dunia.
Tidak ada satupun penanya yang menyampaikan pemikirannya di simposium ini dengan berdiri, kecuali Noora.
Noora bertekad menggugah cakrawala dunia bahwa ada Indonesia yang terkandung di bumi ini. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Bagaimana mungkin terabaikan dari catatan penting komunikasi tentang “Islamic Art History and Global Turn”
Bila dunia akan mempertanyakan karya seni lukis, ia mengungkapkan “ada di tanganku” dan bertumpu pada pesan suara ini ia bersiap menggulirkan “global turn” dan berbicara untuk dunia melalui lukisan.
Siapa yang akan berbicara mewakili Indonesia untuk dunia dalam kesempatan penting yang langka ini? “Pesan pemikiran cemerlang tidak bisa dititipkan kepada angin,” tutur Nuril.
Sosok Noora Diyanti
Noora adalah sosok Perempuan yang pernah belajar di Pondok Gontor selama enam tahun, dan mengabdi sebagai guru selama delapan tahun. Noora seorang alumni Gontor Putri 1 di tahun 2000 dan menyelami kehidupan di kampus Ngawi sampai S1 UNIDA selama empat belas tahun.
Di UNIDA, Noora mengambil kuliah Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat, kemudian melanjutkan jenjang S2 di Universitas Gadjah Mada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan Komunikasi.
Noora adalah lulusan terbaik dengan nilai A, sehingga tesisnya didigitalisai oleh Universitas Gadjah Mada agar bisa dipelajari oleh halayak luas. [Fathur]