Kabar duka itu datang jelang tengah hari: Prof. Dr. Yahya Abdul Muhaimin, mantan dosen dan Dekan Fisipol UGM serta Menteri Pendidikan Nasional era Gus Dur, berpulang ke pangkuan Ilahi menjelang usia 79.
Pria berperangai lembut dan selalu bertutur kata santun itu meninggalkan dunia pada Rabu, 9 Februari, pukul 10.10 WIB di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto, Jawa Tengah. Sebelum wafat dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Kalierang, Bumiayu, Kabupaten Brebes, beliau sempat dirawat selama 10 hari karena sindom geriatri lantaran usia lanjut.
Kepergian Pak Yahya, demikian beliau lazim dipanggil, merupakan kehilangan besar bagi amat banyak pihak. Kepergiannya menghadirkan rasa kehilangan yang kuat lantaran jejak karyanya yang panjang dan bermakna…
Selain tekun mengajar di UGM, beliau juga rajin mengajar di sekolah milik yayasan keluarganya di Bumiayu meski sehari-hari tinggal di Yogyakarta. Belakangan beliau bahkan mendirikan Universitas Peradaban di kota yang sama dan menjadi Rektor hingga akhir usia.
Menjadi Guru tampaknya merupakan panggilan sejati Pak Yahya…
Perjalanan hidupnya selama bertahun-tahun mondar-mandir di antara tiga kota tempatnya mengabdi, Yogyakarta-Bumiayu-Jakarta, bahkan diabadikan sebagai judul buku (semi) biografis yang ditulis oleh Badruzzaman Busyairi (Tiara Wacana, 2012) yaitu: Tiga Kota Satu Pengabdian: Perjalanan Yahya A. Muhaimin.
Berpulangnya Pak Yahya juga sebuah momen kehilangan bagi keluarga besar Muhammadiyah. Dilahirkan dan dibesarkan di keluarga terpandang di Bumiayu, sebuah kecamatan di Kabupaten Brebes, beliau sempat menjadi salah seorang Pengurus Pusat Muhammadiyah pada 2000-2005 termasuk ketika menjadi Mendiknas pada 1999-2001.
Kepergian Pak Yahya juga menghadirkan kehilangan besar bagi Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), sebuah lembaga riset di UGM yang dirintisnya pada 1996. Beliau memimpin PSKP UGM hingga terpilih menjadi Mendiknas yang membuatnya meninggalkan Yogyakarta dan lebih banyak menetap di Ibukota.
Bagiku pribadi, Pak Yahya punya jejak istimewa.
Tanpa sentuhan tangannya, tampaknya mustahil aku bisa menjadi dosen UGM. Sebagai mahasiswa yang butuh waktu 9 tahun untuk lulus kuliah dengan nilai yang biasa-biasa saja (IPK-ku hanya 3.01), tentu aku tak berani bermimpi menjadi dosen.
Namun gara-gara nekad meminta beliau menjadi penguji skripsiku yang bertopik “Sosiologi Kritis terhadap Dwifungsi ABRI” yang ternyata membuatnya kepincut, kesempatan itu akhirnya tiba.
Sebenarnya beliau dosen Jurusan HI, sementara aku berkuliah di Sosiologi. Namun saat S1 beliau menulis skripsi amat bagus mengenai militer Indonesia yang akhirnya diterbitkan menjadi buku oleh UGM Press. Berbekal rasa kagum terhadap skripsi hebat itulah aku meminta doktor ilmu politik lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu menjadi ‘penguji tamu’ dalam ujian skripsiku.
Nah, tawaran menjadi dosen itu akhirnya kudapatkan ketika meminta tanda tangan beliau tak lama sehabis ujian skripsi. Setelah menunggu antrean lumayan panjang karena saat itu beliau menjabat sebagai Dekan, kami akhirnya bertemu di ruang Dekan Fisipol UGM.
Ketika berjumpa, setelah memberikan nilai A dan membubuhkan tanda tangan di kertas hasil ujian, beliau bertanya: apa rencanamu setelah lulus? Apakah berminat menjadi dosen?
Aku sempat kagok menjawab pertanyaan tak terduga itu. Sejujurnya kujawab bahwa aku belum punya rencana khusus, jadi mungkin kembali ke Jakarta berkumpul bersama komunitas eks jurnalis tabloid DeTIK.
Saat itulah tawaran tak terbayangkan itu datang: “Jika kamu tertarik menjadi dosen, mungkin saya bisa membantu. Sambil menunggu lowongan menjadi dosen, nanti kamu bisa membantu menjadi asisten di pusat studi yang sedang saya rintis.” Kata beliau, bidang kajianku cocok dengan lembaga riset yang sedang dirintisnya.
Selain menjabat sebagai Dekan, saat itu beliau rupanya sedang merintis berdirinya PSKP UGM. Sementara aku, pada awal 1996 itu, sedang menjadi pengangguran lantaran media tempatku bekerja dan ‘bermain-main’, yaitu tabloid DeTIK dan mingguan Simponi, dibredel oleh rezim otoriter Suharto.
Begitulah. Ringkas cerita: tak lama setelah itu akhirnya aku ‘terjerumus’ menjadi dosen UGM hingga kini. Bahkan sejak 2017 memimpin lembaga yang dahulu didirikannya, PSKP UGM.
Sayangnya, sejak beliau banyak tinggal di Jakarta saat menjadi menteri dan dilanjutkan menjadi dekan di Universitas Al Azhar serta kemudian menjadi Rektor Universitas Peradaban di Bumiayu, kami tergolong jarang bertemu. Kami hanya bertemu sesekali ketika beliau datang ke kampus Fisipol untuk mengajar di antara berbagai kesibukannya.
Beliau sempat menyampaikan rasa senangnya ketika mendengar aku terpilih menjadi kepala PSKP UGM. Mungkin bagai dejavu terhadap lembaga yang dulu dirintisnya tapi kemudian tak banyak mendapatkan sentuhannya. Sayangnya kami tidak sempat intens berdiskusi dan merancang agenda bersama.
Waktu itu aku hanya sempat dititipi seorang dosen muda di Universitas Peradaban yang menempuh program doktoral di Sosiologi UGM dan kebetulan aku menjadi pembimbing penulisan disertasinya.
Juga atas permintaan beliau sempat dibuat perjanjian kerjasama antara PSKP UGM dengan Pusat Studi Perdamaian Universitas Peradaban, lembaga baru yang sedang dirintisnya. Namun sayang belum sempat ada kerjasama kongkret di antara kami.
Terakhir kami bertatap muka pada awal 2019 ketika beliau jatuh sakit dan dirawat di RS JIH Yogyakarta. Bersama istri, saya menjenguk beliau yang tengah berbaring sakit namun mulai membaik kondisinya. Beliau tampak bungah ketika sejumlah dosen muda anak didiknya menjenguk dirinya. Disana hadir juga Dr. Dafri Agussalim dan Dr. Ririn Nurhayati, dua dosen di Departemen HI UGM.
Tahun lalu, di tengah gelombang pasang pandemi, sempat terdengar kabar kondisi kesehatan beliau memburuk. Untungnya beliau bertahan dan kemudian pulih kembali. Namun ajal itu akhirnya tiba, kemarin pagi.
Sugeng kondur Pak Guru Yahya, selamat kembali ke alam keabadian dalam kedamaian.
Alfatihah…
Sleman, 10 Februari 2022
M. Najib Azca
Dosen Sosiologi dan Kepala PSKP UGM
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10160468821139381&id=708229380