Roma, Gontornews – “Keputusan Pemerintah Turki mengubah museum Hagia Sophia yang bersejarah di Istanbul menjadi masjid didasarkan pada kekuasaan dan politik,” kata ulama Italia, Yahya Pallavicini.
Imam Milan itu mengatakan, Situs Warisan Dunia UNESCO yang berusia 1.500 tahun itu seharusnya tetap sebagai gereja sebagaimana aslinya dulu dibangun.
Arabnews.com merilis, situs itu menjadi museum pada tahun 1934 tetapi pengadilan Turki membatalkan statusnya dan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan tempat itu akan siap digunakan untuk shalat Jumat pada 24 Juli.
“Seharusnya bukan museum atau masjid, Hagia Sophia harusnya tetap menjadi gereja,” kata Pallavicini, yang juga presiden Coreis (komunitas agama Islam Italia).
“Saya tahu posisi saya mungkin kedengarannya tidak cukup diplomatis, tetapi didukung oleh fakta sejarah dan referensi Al-Qur’an,” katanya kepada kantor berita Italia Adnkronos.
“Dalam sejarah Islam, ketika para cendekiawan Muslim mengunjungi tempat ibadah, seperti sinagog, biara, atau tempat pemakaman berbagai agama lain, mereka selalu menghormati tempat-tempat itu dan identitas mereka.”
“Ketika Khalifah Umar memasuki Yerusalem, dia ditawari kesempatan untuk berdoa di sebuah gereja. Tetapi dia menolak untuk menghormati orang-orang Kristen. Pendekatan serupa harus dipertahankan saat ini juga.”
“Tempat-tempat ibadah harus diserahkan kepada penggunaan yang semula dibangun untuk mereka. Di Istanbul sudah ada begitu banyak masjid yang indah tempat umat Islam dapat berdoa, sehingga tidak perlu memiliki yang lain. Menurut pendapat saya, keputusan menjadikan Hagia Sophia sebuah masjid hanyalah hasil dari logika kekuasaan dan politik,” tambah Pallavicini.
Dia sepakat dengan Paus Fransiskus yang menyatakan “sangat sedih” dengan konversi Hagia Sophia menjadi masjid.
“Paus berhak membela dan melindungi ruang-ruang ibadah dari berbagai agama. Dengan cara yang berbeda, kita semua bisa sepakat tentang itu. Di sisi lain, siapa pun yang benar-benar mendukung dialog antar-agama, seperti yang dilakukan Paus Francis, juga perlu menghormati identitas dari berbagai agama.”
Mengacu pada demonstrasi oleh partai anti-imigran Liga Utara di luar Konsulat Turki di Milan, Pallavicini mengatakan, “Politisi Italia tidak boleh memanfaatkan peristiwa ini untuk keuntungan politik.” []