Buku ini berangkat dari kegelisahan penulisnya, Ustadz Dr. Adian Husaini, akan merebaknya wacana pemikiran atau cara pandang asing yang sesat ke dalam diri umat Islam, khususnya di kalangan anak muda dan mahasiswa. Masuknya cara pandang asing atau ide-ide Barat seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, dan feminisme, misalnya, telah menjadi tantangan terbesar umat Islam saat ini. Ibarat seorang gadis, cara pandang asing ini sangat seksi. Tak heran jika kemudian wacana pemikiran ini mudah menyebar karena disukai kalangan muda. Apalagi paham ini didukung oleh aliran dana yang nyaris tak terbatas, yang membuat kalangan muda tergiur untuk mereguknya. Demi membendung lajunya peradaban Barat yang sesat di kalangan anak muda Islam, khususnya mahasiswa, itulah buku ini hadir di hadapan pembaca.
Doktor bidang Peradaban Islam lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization –International Islamic University Malaysia ini berharap buku yang sempat terhenti penyusunannya ini menjadi panduan atau pedoman bagi dosen, orangtua dan mahasiwa untuk memberikan wawasan mendasar tentang Islam, keilmuan, ibadah, dakwah, dan juga tentang kenegaraan. Karena itulah buku ini disusun secara berurutan sesuai topik perkuliahan.
Kuliah pertama, “Mengapa Kita Muslim?” Bagian ini memaparkan konsep Islam sebagai agama wahyu. Kuliah kedua, “Jangan Lepaskan Islam!” Bagian ini memaparkan konsep Tauhid dan tantangan modernitas. Kuliah ketiga, “Semua Agama Menyembah Tuhan yang Sama?” Bagian ini merupakan studi kritis atas paham pluralisme agama. Paham yang mengajarkan semua agama sama.
Kuliah keempat, “Sang Nabi, Teladan Abadi”. Bagian ini memaparkan tentang konsep kenabian. Kuliah kelima, “Al-Qur’an Menjawab Tantangan Zaman”. Bagian ini memaparkan perbandingan atau perbedaan konsep wahyu antara Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci lain, khususnya Bible.
Kuliah keenam, “Bangkit, dan Jadilah Pemimpin!”. Bagian ini memaparkan konsep manusia teladan. Kuliah ketujuh, “Sains Islam, Sudah Saatnya!” Bagian ini memaparkan konsep ilmu dalam Islam. Kuliah kedelapan, “Kita Keturunan Nabi, bukan Monyet!” Bagian ini memaparkan konsep Sejarah. Kuliah kesembilan, “Tegakkan Kebenaran, Lawan Kemungkaran!” Bagian ini memaparkan konsep Pendidikan. Kuliah kesepuluh, “Berislam dan Berindonesia”. Bagian terakhir ini memaparkan tentang adab bernegara dalam Islam.
Materi-materi yang disajikan dalam buku ini dibuat berdasarkan kebutuhan mahasiswa, khususnya mahasiswa program sarjana (S1) program studi nonagama atau perguruan tinggi umum.
Ustadz Adian merupakan salah satu dari sedikit cendekiawan Muslim di Indonesia yang berada di garda terdepan dalam memerangi ide-ide Barat itu bersama para sahabatnya di INSISTS dan UIKA Bogor seperti Prof. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi (Rektor UNIDA Gontor), Adnin Armas, MA (Pemimpin Redaksi Majalah Gontor), dan Dr. Syamsuddin Arif, MA (dosen pascasarjana UNIDA Gontor).
Pada kuliah kedua buku ini, “Jangan Lepaskan Islam!”, Ustadz Adian mengisahkan perubahan tantangan umat Islam dari masa ke masa. Jika dahulu, di masa awal lahirnya agama Islam dan perjalanan umat Islam beberapa abad kemudian, tepatnya di abad ke-15 saat benteng terakhir umat Islam di Granada, Andalusia, jatuh umat Islam mengalami ujian keimanan secara fisik, maka kini umat Islam menghadapi tantangan berupa pemaksaan ide-ide Barat itu. Suka atau tidak, umat Islam dipaksa untuk menelan ide-ide liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, materialism, dan teman-temannya itu.
Mengutip hasil penelitian ulama terkemuka India, Syaikh Abul Hasan an-Nadwi, Ustadz Adian menyebutkan, “Paham-paham yang menyesatkan dan menghancurkan keimanan itu telah melancarkan serangan gencarnya dari rumah ke rumah, dari keluarga ke keluarga Muslim. Sampai-sampai sekolah-sekolah, pesantren, universitas, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam –yang seharusnya menjadi benteng pertahanan aqidah Islam– juga telah diterjang oleh paham-paham ini. Banyak yang masih mampu bertahan. Tapi, banyak juga yang telah jebol pertahanannya, sehingga paham-paham sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, materialisme, dan sebagainya, dengan leluasa hinggap di benak pikiran kaum Muslim” (hlm. 51). Muara dari itu semua apalagi kalau bukan pemurtadan. Karena itu, menurut Ustadz Adian, seorang Muslim harus hati-hati menerima atau mempercayai informasi yang datang, yang bisa membuatnya ragu atas keyakinan agamanya.
Salah satu paham yang banyak menyesatkan umat Islam yaitu Pluralisme Agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama sama saja. Semua agama benar. Cuma cara beribadah atau cara menyembah Tuhan saja yang berbeda-beda. Namun tujuannya sama. Menurut Ustadz Adian, argumentasi kaum Pluralis Agama bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama merupakan pendapat yang batil. Sebab, jika semua jalan benar, maka tidak perlu Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berdoa “Ihdinash-shiraathal-mustaqim!” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). “Dalam surat al-Fatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalannya orang-orang yang dimurkai Allah dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok dan jalan yang sesat,” papar Ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor itu (hlm. 87).
Karena itu paham ini dekat dengan ateisme. Paham ini telah mendorong umat Islam untuk keluar dari agamanya alias murtad. “Ketika seorang yang mengaku Pluralis berkata, semua agama menyembah Tuhan yang sama, maka secara hakiki, dia telah berdiri di luar Islam. Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah. “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa disebut Yahweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis! Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God! Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah”,” terang Ustadz Adian (hlm. 76). Oleh karena itu paham Pluralisme Agama ini mesti dijauhi oleh umat Islam.
Rusaknya pemikiran umat Islam, khususnya yang terkait dengan aqidah dan kemasyarakatan, inilah yang membuat umat Islam terpuruk.
Kuliah kesembilan buku ini memaparkan pentingnya umat Islam menyiapkan generasi yang gemilang, generasi seperti di masa Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil membebaskan kembali al-Aqsha dan Yerusalem dari kekuasaan pasukan Salib pada tahun 1187. Di sini, peran ilmu dan ulama sangat signifikan dalam melahirkan generasi Islam yang gemilang.
Menurut Ustadz Adian, Shalahuddin al-Ayyubi bukanlah pemain tunggal yang “turun dari langit”. Tetapi, dia adalah produk sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat. Dua ulama ternama yang berjasa besar menyiapkan generasi baru itu yaitu Imam al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani (hlm. 227).
Dalam konteks Indonesia, paparnya, menghadapi perang pemikiran seperti saat ini, maka sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan introspeksi terhadap kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama para elite dan lembaga-lembaga perjuangannya. “Sikap kritis terhadap pemikiran-pemikiran asing yang merusak tetap perlu dilakukan, sebagaimana juga dilakukan oleh al-Ghazali” (hlm.230).
Menurut Ustadz Adian, umat Islam dituntut bekerja keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas ‘Salahuddin al-Ayyubi’. Dan ini tidak mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia –terutama lembaga-lembaga dakwah dan pendidikannya– amat sangat serius untuk membenahi konsep ilmu dan para ulama atau cendekiawannya. Dari sinilah diharapkan lahir satu generasi baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia, yang mampu membuat sejarah baru yang gemilang (hlm. 232).
Pada kuliah ke-10, “Berislam dan Berindonesia”, Ustadz Adian mengangkat soal loyalitas seorang Muslim. Loyalitas seorang Muslim itu kepada agamanya (Islam) atau kepada negaranya? Mantan wartawan Republika ini kemudian mengutip pernyataan profesornya di Malaysia, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam ceramahnya di Festival Islam Internasional di Manchester, Inggris, tahun 1975, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan hakikat loyalitas seorang manusia kepada Tuhannya.
“Loyalitas tertinggi seorang manusia harus diberikan kepada Tuhannya, kepada Allah SWT. Sebab, Allah adalah Sang Pencipta dan pemilik alam semesta. Negara ada karena diciptakan oleh Allah. Dan Allah tidak pernah berubah. Negara dan pemerintahan datang silih berganti. Jika loyalitas tertinggi diberikan kepada mereka, maka nilai-nilai pun akan selalu berubah, sebagaimana yang biasa terjadi di Barat. Tidak ada kepastian nilai baik-buruk di sana. Itu berbeda dengan Islam, yang memiliki kepastian nilai baik-buruk karena bersumber pada ajaran wahyu Allah (hlm. 262).
Kuliah ini ditutup oleh Ustadz Adian dengan pidato bersejarah Mohammad Natsir tentang Bahaya Sekularisme bagi bangsa Indonesia yang disampaikan di Majelis Konstituante pada 12 November 1957. “Ketika itu, Mohammad Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk meninggalkan paham sekularisme dan menjadikan agama sebagai dasar kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. Pidato itu telah 57 tahun berlalu. Namun, isinya masih sangat relevan untuk kita renungkan, demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik,” tulis Ustadz Adian yang menjadi penerus M. Natsir di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Buku 10 Kuliah Agama Islam ini ditutup dengan bagian akhir pidato M. Natsir yang mengatakan, “Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekularisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan qalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan llahi.” (hlm. 282).
Secara substansi buku kuliah ini sangat lengkap dan nyaris sempurna. Tersusun secara sistematis tanpa cela. Tidak ditemukan koreksi yang berarti kecuali pada halaman 230 alinea pertama. Di sana ditemukan kata “tanggung” yang seharusnya “tangguh” pada kalimat: … Bangkitnya kaum Muslim dari keterpurukan ketika Perang Salib bukan kebangkitan Shalahuddin seorang diri, tetapi kebangkitan satu “generasi Shalahuddin”; satu generasi yang tanggung secara aqidah, mencintai ilmu, kuat ibadah, dan zuhud…
Meski hanya berisi 10 pokok bahasan, namun secara substansi buku ini sangat komprehensif. Khususnya terkait dengan upaya-upaya untuk melawan dan membendung ide-ide Barat yang menyesatkan. Ustadz Adian mengajak pembacanya untuk mengenal dan memahami Islamic Wordlview agar senantiasa berada di jalan Islam yang lurus, dan mengajaknya agar tidak meninggal dunia kecuali berbekal iman di dada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imraan: 102) []