Kata “kritik” ini bukan suatu yang tak biasa kita dengar, bahkan sering menjadi buah pembicaraan publik di tengah masyarakat. Secara bahasa, kritik berarti kupasan yang disertai uraian dan pertimbangan-pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan lain sebagainya. Sedangkan kritikus berarti orang yang mengkritik, yaitu orang yang mempertunjukkan kesalahan atau kepentingan sesuatu.
Jika ditilik pada arti dan tujuan yang sebenarnya, kritik ini memang bagus. Karena dengan kritik, maka apa yang kurang baik menjadi bagus, apa yang dirasa pincang menjadi lurus, apa yang salah menjadi benar, dan apa yang gelap menjadi terang benderang. Intinya, tujuan kritik untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Namun dalam praktiknya, kritik ini sangat sulit dan bisa sangat berlainan dengan tujuan yang pertama, entah karena bangsa kita yang belum mengerti secara matang apa makna kritik atau karena sebab lain. Secara faktual, kritik hampir 90 persen digunakan untuk tujuan yang negatif, bukan demi perbaikan.
Hasilnya, yang dekat menjadi jauh, yang jernih menjadi keruh, yang terang menjadi gelap, dan yang lurus menjadi bengkok. Ini terjadi bisa jadi karena hati belum bersih, tidak punya kelapangan dada menerima masukan. Bisa juga kar na kita belum paham betul maksud, tujuan, dan fungsi kritik itu sendiri.
Secara umum, para ahli membagi kritik menjadi dua macam. Pertama, kritik yang punya tujuan hendak memperbaiki suatu hal (opbouwende critiek). Kedua, kritik yang sengaja dilontarkan untuk memecah belah semata, mengadu domba, atau untuk menyebarkan fitnah (afbrekende critiek).
Karena itu, ketika menyampaikan kritik hendaknya menunjukkan terlebih dahulu beberapa kesalahan disertai dengan bukti bukti yang sah. Tak hanya itu, beri tahu pula cara memperbaiki atau solusi yang bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Inilah kritik yang membangun. Ini bagus, asal pandai meletakkannya.
Adapun kritik secara membabi buta, sekadar mengungkit-ungkit dan menyebarluaskan kesalahan tanpa bukti-bukti yang jelas, dan tidak mau menunjukkan cara untuk memperbaikinya, maka sia sia saja. Inilah kritik yang merusak. Inilah yang paling busuk dan paling hina.
Kritik tanpa bukti berarti fitnah. Dalam kitab suci disebutkan, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Agar pembaca lebih jelas lagi soal kritik ini, Anda dapat merujuk karya Syekh Musthafa al-Ghulayaini yang terkenal sebagai pakar budaya di Sekolah Tinggi Beirut, ia banyak membahas mengenai kritik ini. []