Jakarta, Gontornews — Wakaf dengan berbagai bentuknya baik dalam bentuk harta tidak bergerak seperti tanah maupun harta bergerak seperti uang, jika digarap dengan baik wakaf dapat memberikan manfaat yang sangat luar biasa bagi kesejahteraan umat.
Berdasarkan data yang ada, potensi aset wakaf di Indonesia per tahun mencapai Rp2.000 triliun sedangkan potensi wakaf uang mencapai Rp188 triliun. Sayangnya potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Padahal sudah sejak lama umat Islam Indonesia mempraktikkan wakaf dalam kehidupan sehari-hari.
Ketua Forum Wakaf Produktif, Bobby Manulang mengatakan, beranjak dari masalah esensial dalam dunia perwakafan nasional bahwa kesenjangan antara pertumbuhan wakaf aset dan wakaf tunai yang menyebabkan aset wakaf tidak terkelola dengan baik merupakan alasan wakaf uang perlu ditingkatkan.
Adalah rendahnya pertumbuhan wakaf uang, menurut Bobby, terjadi karena minimnya literasi masyarakat terhadap wakaf yang mana hal itu bisa dilihat dari mindset yang selama ini berkembang di masyarakat, wakaf masih diidentikan sebagai ibadahnya orang – orang kaya.
Akibatnya banyak dari masyarakat yang melazimkan bahwa wakaf hanya bisa ditunaikan dalam bilangan-bilangan besar. Sementara orang yang belum memiliki uang jutaan, puluhan juta bahkan ratusan juta merasa tidak pantas untuk berwakaf. Akibat dua mindset itu muncul mindset ketiga yang lebih fatal, dimana masyarakat merasa bahwa berwakaf tidak perlu disegerakan.
Terkait penyebab rendahnya literasi wakaf, kata Boby, hal itu terjadi karena tingkat kesulitan dalam mengkampanyekan wakaf berbeda dengan kampanye zakat yang cukup mudah. Ibarat orang berburu, kampanye wakaf sesulit orang yang berburu di hutan belantara, karena yang menjadi sasaran buruannya masih sembunyi di balik semak-semak hutan belantara.
Sedangkan kampanye zakat semudah orang berburu di kebun binatang yang sasaran buruannya sudah ada di kandangnya masing- masing. Karena zakat sudah menjadi top of mind donasi di kalangan umat Muslim Indonesia. Banyak orang yang sudah mengerti bahwa 2,5 % dari penghasilannya harus dikeluarkan untuk zakat. “Artinya para amil sudah tidak lagi merasa kesulitan untuk menghimpun dana zakat dari masyarakat,” ungkapnya.
Untuk itu pihaknya mengajak semua pihak untuk berperan bersama-sama untuk andil dalam upaya mengembangkan literasi wakaf ini. Dalam hal ini pihaknya juga berharap kepada kiai ataupun ustadz agar dalam khutbahnya mendakwahkan wakaf sebagai bagian dari ibadah yang dianjurkan dalam Islam.
Karena memang belum banyak khatib yang berbicara tentang wakaf dalam mimbar-mimbar khutbahnya. Karena tadi, ibarat orang berburu di hutan belantara, literasi wakaf terlampau sulit untuk ditanamkan kepada masyarakat, sehingga diperlukan stimulus dengan literasi.
Selain itu bisa juga dilakukan dengan program yang bisa membuat masyarakat peduli dan memancing mereka keluar. Untuk menstimulusnya wakaf harus dicarikan relasi dengan setiap aktivitas masyarakat. Dalam hal ini literasi wakaf pun sudah masuk ke dalam sektor perbankan, pasar modal, infrastruktur dan manufaktur.
Di sektor perbankan misalnya, sudah ada transaksi wakaf yang sudah dihimpun. Di asuransi juga sudah menggeliat soal wakaf ini. Bahkan di pasar modal hari ini sudah ada bahasa wakaf saham. Infrastruktur dan manufaktur juga menjadi bagian penting dalam merelasikan hubungan kampanye wakaf terhadap industri-industri ini.
“Karena pengembangan aset-aset wakaf juga erat kaitannya dengan industri-industri infrastruktur yang dengannya ada potensi yang bisa digali untuk menghimpun wakaf uang dari para pekerja yang ada di dunia infrastruktur,” ungkapnya dalam webinar wakaf uang pada Sabtu (23/01/2021). Selain itu juga dimungkinkan untuk menjalin aliansi strategis dengan industri untuk bisa menyumbangkan kompetensinya dalam pengembangan aset wakaf terutama untuk aset harta tidak bergerak.
Meski belum sepopuler zakat, menurut Bobby, melalui penetrasi digital literasi serta kemudahan berwakaf mulai digandrungi oleh kaum milenial. Jumlah donasi dari kalangan milenial yang berwakaf memang tidaklah besar, tapi jumlah mereka yang berwakaf uang sangat banyak. Kemudahan berwakaf yang bisa dilakukan dengan nominal Rp 10 ribu inilah yang membuat kalangan milenial bisa menjangkaunya.
Berdasarkan usia, kalangan milenial (usia 24-35 tahun) yang mendominasi profil donatur sebesar 48 persen. Perolehan tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan senior-seniornya, yakni Generasi X (35 persen) Baby Boomer dan Pre-Boomer (11 persen).
Dari keterangan itu pihaknya menganggap milenial sebagai real future sektor wakaf yang perlu dibidik dengan cermat. Memang kalangan milenial yang ada saat ini belum memiliki pendapatan yang besar. Tapi dengan literasi yang kuat dan inovasi yang memudahkan untuk berwakaf, diharapkan timbul loyalitas untuk berwakaf.
Direktur Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Ventje Rahardjo Soedigno mengatakan, wakaf uang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Karenanya penting untuk memperhatikan faktor -faktor yang dapat membangun kepercayaan calon wakif. “Kita harus bisa bersama-sama meyakini bahwa mereka dapat percaya dengan siapapun nazhirnya,” ujarnya dalam Webinar Gerakan Nasional Wakaf Uang, Sabtu (23/1).
Menurutnya, menunjukkan reputasi, akuntabilitas, hingga transparansi yang baik merupakan kewajiban bagi nazhir. Adalah wakaf uang merupakan pengelolaan investasi yang mendapatkan tantangan. Begitupun dengan upaya meningkatkan realisasi pengelolaan wakaf uang secara nasional juga tantangan. Karena pengelolaan investasi sedang mendapatkan tantangan, maka kita sedang membangun kepercayaan kepada calon wakif terutama wakaf uang,” ujarnya.
Untuk itu pihaknya mengajak semua pihak untuk melakukan pendalaman inovasi pengembangan wakaf uang. Misalnya, seperti Kementerian Keuangan yang memiliki cash wakaf linked sukuk (CWLS) dengan prestasi yang cukup baik. Dalam hal ini Kemenkeu hingga saat ini telah memperoleh 1.041 jumlah wakif CWLS- nya. Berdasarkan catatan yang ada, inovasi pengembangan wakaf uang dari produk CWLS SW001, hingga Maret 2020
mencatatkan perolehannya sebesar Rp 50,85 miliar dan Rp 14,9 miliar pada November 2020.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI) Mohammad Nuh dalam opening speechnya saat webinar nasional wakaf uang Sabtu (23/01/2021). Menurutnya meski belum sepopuler zakat, intensitas wakaf saat ini semakin tinggi digunakan dalam ranah publik. Meski begitu wakaf uang bisa menjadi peluang dan tantangan bagi para pegiat perwakafan dalam meningkatkan profesionalitasnya baik dari sisi pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatannya bagi mauquf alaih.
Karena dari potensi wakaf uang di Indonesia yang katanya berjumlah Rp 180 triliun, hingga saat ini berdasarkan catatan Kementerian Agama, realisasi wakaf uang di Indonesia baru mencapai Rp 255 miliar. Realisasi tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi yang ada. Dalam hal ini adalah tingkat literasi wakaf uang yang masih menjadi salah satu kendala minimnya perolehan wakaf kriteria ini, yakni dengan tingkat literasi yang berada di angka 57,67 persen.
Baginya, Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah kendaraan, sedangkan wakaf adalah muatannya dan gerakan wakaf uang bisa berhasil jika daya dorongnya lebih besar dari daya geseknya. Untuk itu literasi wakaf uang perlu didorong dengan beragam gerakan yang melibatkan lintas sektor. Selain itu penguatan kompetensi nazhir, transformasi layanan, inovasi, hingga digitalisasi merupakan beberapa hal yang juga perlu menjadi fokus dan kekuatan perwakafan Indonesia di masa yang akan datang.
.