Oleh Ummu Yazid SPi MSi
Hari Akhwat Berduka Nasional, didaulatkan pada tanggal 7 Juli 2017 lalu. Pasalnya, seorang qari muda yang juga imam Masjid al-Lathif Bandung dan Masjid Salman ITB, Muzammil Hasballah, melangsungkan pernikahan pada hari tersebut. Tak ayal, berita pernikahannya pun viral.
Muzammil, adalah alumni jurusan Teknik Arsitektur ITB angkatan 2011. Ia lulus pada 2015. Selama menempuh pendidikan di ITB, Muzammil juga tetap mempelajari al-Qur’an dan dekat dengan masjid. Tak heran, jika dirinya kemudian mendapat kepercayaan sebagai imam shalat. Bahkan, dirinya pernah mendapatkan pujian dari Imam Masjidil Haram, berkat suara emasnya kala melantunkan ayat-ayat al-Qur’an.
Berkaca dari sosok Muzammil, mengingatkan kita pada salah satu sabda Rasulullah SAW. Dari Abû Hurairah RA ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu Pemimpin yang adil; Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya; Orang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid; Dua orang yang saling mencintai kerena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah kerena Allah; Seorang lelaki yang diajak seorang perempuan cantik dan berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, “Aku takut kepada Allah!”; Orang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan Seorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya.” (Mutafaq ‘alaih).
Di tengah derasnya sekularisasi dan liberalisasi, profil Muzammil mungkin tergolong langka. Karena, generasi kekinian nyatanya banyak yang menjadi korban modernisasi. Di satu sisi, mereka ada yang sibuk menjadi generasi alay. Ada juga yang apatis-apolitis, hingga skeptis dan pragmatis menghadapi tantangan zaman.
Namun yang juga jadi ironi, giliran ada dari mereka yang rajin ke masjid, rajin shalat dan shaum sunnah, Qiyamulail, tilawah al-Qur’an, berjenggot dan bercelana cingkrang, lantang meneriakkan takbir, atau menenteng panji Rasulullah SAW ke sana ke mari; segera saja mereka ini mendapat gelar radikal. Dan kalau sedang marak momen bom-pengeboman, makin lengkap saja labelnya; yaitu disebut teroris.
Bahkan Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, sebelum meralat dan meminta maaf, beberapa waktu lalu pernah menyatakan bahwa Masjid Salman ITB adalah masjid radikal. Ini sungguh pernyataan tanpa dasar. Akibatnya fatal. Pemuda Muslim bagai makan buah simalakama. Serba repot. Jadi begal, geng motor, atau anak alay dianggap sampah masyarakat. Rajin belajar Islam dianggap radikal. Jadi anggota Rohis (kerohanian Islam) dianggap bibit teroris.
Tapi kalau sampai ada fenomena Hari Akhwat Berduka Nasional, apakah masih berani mengatakan bahwa yang belajar Islam seperti Muzammil ini radikal? Beranikah mengatakan Muzammil yang aktivis masjid ini teroris? Coba kita pikirkan, masa iya para akhwat mengidolakan seorang ikhwan radikal? Atau, masa iya para akhwat bercita-cita punya suami radikal atau teroris?
Justru yang ada, diakui atau tidak, nyatanya kaum hawa mengagumi ikhwan-ikhwan rohis. Mengapa? Karena anak rohis itu pasti belajar Islam. Anak rohis yang sudah belajar Islam, pasti paham dengan keterikatan terhadap aturan Allah SWT. Dan kalau seorang Muslim itu sudah terikat dengan aturan Allah SWT, maka perilakunya akan terjaga dari kemaksiatan, in shaa Allah.
Perilaku yang menjaga diri dari kemaksiatan inilah yang oleh kalangan penganut ide sekular-liberal, kemudian disebut radikal. Karena konsep “perilaku terjaga” ini memang tidak mengompromikan antara yang haq dan yang batil. Belum percaya? Buktikan saja.
Anak rohis yang paham Islam, pasti tidak mau jalan atau foto bersama teman perempuan. Anak rohis betulan, pasti tidak mau pacaran. Anak rohis yang takut kepada Allah SWT, pasti tidak mau contekan saat ujian. Anak rohis yang cinta kepada Rasulullah SAW, pasti percaya diri meneladani dakwah beliau. Apa yang seperti ini yang kemudian disebut radikal? Yang parahnya, kemudian disesatkan dengan istilah “teroris”. Sungguh, logika yang terlalu naif untuk memberi citra buruk pada pengemban dakwah dan aktivis Islam.
Jadi mulai sekarang, mungkin setelah mencari referensi tentang sosok viral Muzammil, kita tak perlu alergi dengan anak rohis. Karena sesungguhnya anggota rohis itu anak-anak manis. Radikal atau teroris itu label negatif. Mau percaya label dan konten? Konten bisa dibuktikan sendiri dengan mengenal para anggota rohis yang bersangkutan. Buktikan langsung, para pembelajar dan pengemban ide Islam itu orang-orang istimewa atau jumawa? Mereka rendah hati atau tinggi hati? Yang pasti, kalau anak rohis bukan anak manis, tidak mungkin para akhwat sampai berduka secara nasional, bukan?
Terakhir kepada para akhwat, meski dalam Islam dibolehkan seorang Muslim beristri hingga empat, namun jangan kemudian pernikahan Muzammil membuat patah hati yang mengglobal. Ingatlah, bahwa tidak selayaknya ada yang namanya ikhwan idola. Tidak layak pula ada yang namanya akhwat idola. Karena di antara ikhwan dan akhwat itu, semua perilakunya terjaga, termasuk pandangannya. Bagi mereka, yang ada hanyalah jodoh terbaik, yang semua itu akan indah pada waktunya. Firman Allah SWT: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS al-Baqarah [2]: 216). Wallaahu a’lam bish shawab. []