Semarang, Gontornews — “Ketika keyakinan keagamaan saling berinteraksi didalam kehidupan sosial, disinilah konflik dan harmoni mendapatkan persemaian,” terang Dr Fakhrudin Aziz, dalam disertasi berjudul Hifdz al-Din dalam Masyarakat Plural (Studi Tentang Konflik dan Harmoni Antarumat Beragama di Jepara).
Aziz menuturkan bahwa pemilihan judul ini berangkat dari pernyataan; jika agama mengajarkan keluhuran, mengapa umat beragama sering menjalin relasi konfliktual dengan lainnya?
Inilah semangat awal bagi penulis untuk concern terjun ke lapangan. Menyimak langsung situasi keberagamaan di Desa Dermolo dan Desa Bondo. Dua desa yang berada dalam teritori Kabupaten Jepara.
Keunikan kedua desa ini diantaranya adalah lekatnya karakter warisan (ultimate value) dari danyang desa yang memberikan warna dalam sikap atau keberagamaan masyarakat. Meskipun demikian, masing-masing memberikan warna berbeda.
“Pada perspektif keagamaan disertasi ini, desa Dermolo diposisikan sebagai representasi konflik dan desa Bondo sebagai representasi harmoni,” tambah ayah dua orang putri ini.
Disertasi yang dipromotori oleh Prof Dr H Mudjahirin Thohir M A dan Dr H Musahadi M Ag, menekankan bahwa konflik dan harmoni terlahir karena agama memiliki dua sisi yang selalu melekat pada pemeluknya. Yaitu sisi teologis dan sisi sosiologis.
Sisi teologis bertalian dengan keyakinan terhadap ideologi yang disakralkan. Ini bersifat private dan tak selalu dapat dijelaskan secara verbal.
“Karena bersifat teologis, mereka yang tak meyakininya. Tidak merasakan ikatan batiniah untuk mengimaninya,” tukas Aziz, dosen Universitas Diponegoro, Semarang. Maka, kebenaran teologis bersifat eksklusif. Hanya berlaku untuk pemeluknya.
Berbeda dengan sisi sosiologis. Dimana setiap pemeluk agama berkepentingan untuk saling menafsiri gesture keagamaan yang ditampilkan masing-masing pemeluk agama. Pada level ini, kebenaran bersifat absolut bagi pemeluknya dan relatif bagi pemeluk selainnya.
Ilustrasi ini penting untuk direnungkan, ditengah situasi keberagamaan yang semakin mengeras. Karena masing-masing pemeluk agama berkepentingan untuk ‘unjuk gigi’ dan merasa paling benar.
Sehingga menghantarkan pada justifikasi; benar atau salah. Bukankah kebenaran mutlak hanya milik Tuhan?“Saya memahami bahwa ekspresi yang lahir bisa jadi bagian dari bentuk loyalitas keimanan,” papar mantan mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo ini.
Pertanyaannya, apakah dengan alasan loyalitas lalu melegalkan intoleransi? Tentu tidak. Toh, toleransi tak berarti meyakini, tak juga berarti mengikuti. Jadi tak ada yang perlu ditakutkan, lanjutnya.
Pemakaian terma mayoritas dan minoritas di ruang publik juga perlu direnungkan kembali. Jika yang dimaksud adalah kelompok tertentu, tidakkah kita temukan terma lain yang lebih mendamaikan, misalnya “saudara Muslim” atau saudara Kristiani”?
Karena pemakaian terma minoritas –misalnya, hanya akan melahirkan stigma “minoritas” sebagai kelompok kelas dua. Bukankah semua agama mengajarkan perlindungan sesama?
Jika ada yang secara kuantitas jumlah pemeluknya kecil, tentu tak ada alasan bahwa ia boleh diperlakukan secara diskriminatif. Jika ini dibiarkan, akan ada kelompok dalam posisi atau diposisikan sebagai second class.
Tak heran, jika di beberapa tempat, konflik keagamaan diselesaikan dengan cara-cara yang terkesan mengakomodir kepentingan mayoritas. Demi menekan potensi konflik yang lebih besar.
“Akhirnya, kesan yang muncul, agama didekati dengan pendekatan konflik,” gumam pria asal Jepara tersebut.Tidak dengan pendekatan perlindungan hak. Bahwa hak beragama adalah hak setiap individu.
Di desa Dermolo -misalnya, polemik pendirian Gereja Injil di Tanah Jawa (GITJ) tak juga menemukan titik terang sejak tahun 2002. Zainal Abidin Bagir, dkk, juga menuliskan dalam laporan tahunan CRCS (Centre for Religious & Cross-cultural Studies) 2012 bahwa persoalan rumah ibadah di Indonesia menjadi salah satu topik yang terus muncul dalam setiap laporan tahunan kehidupan beragama di Indonesia.
Pada kasus di Dermolo penyebabnya ada tiga hal. Pertama, perbedaan ideologi belum disadari sepenuhnya sebagai pilihan batiniah dan hak setiap individu. Termasuk ekspresi sosial yang lahir.
Kedua, polemik ini tersandera oleh regulasi administratif dan relatif serta tak selalu dapat mewakili keyakinan setiap pemeluk agama. Akibatnya, ketiga, setiap keputusan bercita-rasa mayoritas versus minoritas yang selalu menjadi blunder.
Di sinilah perlunya edukasi kepada masyarakat bahwa perbedaan itu bisa melahirkan keindahan. Yakni ketika perbedaan itu ditempatkan sebagai variasi cara membagi kebaikan kepada sesama.
Edukasi ini harus menyeluruh. Mulai dari tingkat akar rumput sampai dengan tingkat penentu kebijakan. Tingkat akar rumput penting. Karena dalam persoalan di masyarakat, seringkali mereka memilih posisi diam.
Namun, alangkah indahnya jika sikap diam itu berangkat dari kesadaran. Bahwa keragaman dalam masyarakat adalah potensi menuju masyarakat yang kuat. Bukan hanya karena tak mau ikut dalam pusaran konflik.
Tak melulu didekati dengan pasal dan ayat dalam regulasi. Melainkan bertolak dari pemahaman yang baik akan makna keanekaragaman ideologi dan budaya dalam masyarakat. “Maka, polemik akan didekati dengan cara manusiawi, bukan dengan rentetan regulasi yang dianggap sebagai kitab suci,” ungkap pria kelahiran Jepara, 11 September 1981.
Disertasi Aziz yang diuji langsung oleh Prof Dr H Muhibbin M Ag dan Dr H Abdul Muhayya M A, ini juga mengajak kita untuk jaga amanah kekhalifahan manusia yang telah diembankan oleh Tuhan.
Para pemeluk agama harus berada digarda depan. Sembari menunjukkan bahwa agama adalah pemrakarsa keadilan dan solusi atas konflik multidimensi dalam masyarakat.
“Perbedaan yang ada, biarlah menjadi kekayaan yang semakin menyadarkan bahwa dibalik perbedaan, Tuhan menitipkan kasih sayang kepada sesama,” pungkasnya. <Edithya Miranti>
Biodata Singkat
Nama Lengkap : Dr H Fakhrudin Aziz, Lc PgD MSI
Tempat Tanggal Lahir : Jepara, 11 September 1981
Istri : Fisqiyyatur Rohmah
Anak : 2 putri
Pendidikan :
- S1 Fakultas Syariah wa al-Qanun jurusan Syariah Islamiyyah Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, 2003
- S2 PgD (Postgraduate Diploma Master), Institut Studi Islam Zamalek Kairo, Mesir, 2005 dan UIN Walisongo, Semarang, 2010.
- S3 Hukum Islam, UIN Walisongo, Semarang, 2015
Pekerjaan :
- Dosen di UIN Walisongo dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
- Staf pengajar di Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) IAIN Walisongo dan al-Ma’had al-Jami’i UIN Walisongo
Karya :
- Penulis buku al-Qur’an wa al-Lughah al-‘Arabiyyah watahadiyatul ‘Ashr (2009), ), al-Manhaj al-Tifly wa Mustaqbalu al-Lughah [al-Qaqi’ wa al-Ma’mul] (2012), Himayat al-Lughah al-‘Arabiyyah (makalah-2012), dan lainnya.