Insanial Burhamzah, Koalisi Ummat Madani (KUM)
Pembebasan Ust Abu Bakar Ba’asyir, tidak dapat disangkal akan mendapat sambutan hangat dari mayoritas ummat Islam Indonesia. Sebab, tuduhan terorisme telah menjadi stigma yang melabelkan Islam intoleran, Islam Radikal telah meningkatkan Islamophobia. Hal itu menjadi kecemasan ummat Islam yang masih menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Pertanyaannya, kenapa Jokowi yang selama ini kebijakannya berseberangan dengan mayoritas ummat Islam, dengan tiba-tiba seakan-akan memposisikan diri sebagai pembela Ulama Islam ? Sudah dapat ditebak, para elit politik dapat dengan mudah mencium Aroma Pilpres begitu menyengat mendominasi issue tersebut. Sehingga Issue ini menepis adanya pertimbangan HAM (Hak Azasi Manusia) maupun simpati pada ulama Islam. Sebab manuver politik Petahana ini sudah menjadi diskursus terhadap pencitraan yang di framing agar terlihat seperti pahlawan di setiap peristiwa.
Apalagi saat ini, elektabilitas Petahana sedang berada di dasar paling bawah pada berbagai Polling. Tentu memerlukan manuver politik yang lebih berani, sekalipun bertentangan dengan garis politik pengusungnya. Tetapi, lain halnya pada masyarakat pemilih Muslim yang berada di tataran grass root. Issue ini sangat berpotensi untuk merubah cara pandangnya. Sebab, Ust. Abu Bakar Ba’asyir selama ini diyakini sebagai korban fitnah tuduhan radikalisme dan teroris oleh pihak intelejen asing dan Indonesia.
Lantas bagaimana dengan kasus kriminalisasi Habib Rizieq Shihab dan berbagai kasus serangan terhadap ulama dan pemuka agama oleh orang-orang yang di anggap gila, yang telah menimbulkan keresahan ummat selama ini ?. Dan sejumlah kasus-kasus persekusi ulama lainnya. Peristiwa itu telah menjadi tragedy bagi ummat Islam yang selama ini sebagai korban penindasan aparat rezim ini, sehingga hal ini pula yang mendorong ummat Islam untuk membangun kekuatan Politiknya melalui kubu Prabowo-Sandi.
BAHAYANYA PEMIMPIN IMPULSIF
Pribadi impulsif adalah perilaku manusia yang tiba-tiba berubah, tiba-tiba di luar rencana, atau sebuah sikap yang tidak didukung alasan yang kuat. Dan pada umumnya sikapnya tergolong irrasional.
Ciri-ciri pribadi impulsive, kalau bicara atau berbuat seringkali tidak disertai alasan-alasan atau penalaran-penalaran
Hal itu disebabkan karakter impulsif sangat didomasi oleh kegemaran berbohong, dan karakter itu tidak terjadi dengan tiba-tiba, namun pembentukan karakter terjadi sejak usia tiga atau empat tahun. Sebab, berbohong bagi para impulsive menimbulkan sensasi tersendiri yang membuat beberapa orang terus menerus melakukannya. Kondisi orang yang terus menerus berbohong disebut dengan penyakit kebohongan. Orang-orang tersebut tidak bisa berhenti menyebarkan informasi salah tentang diri mereka sendiri dan orang lain.
Alasan psikologis mengapa beberapa orang seperti ini sebenarnya sangat berbahaya menjadi pemimpin. Sebab, penyakit kebohongan ini merupakan gangguan kepribadian seperti juga psikopati dan narsisme. Bahkan dianggap sebagai cacat dalam sambungan naurologis yang menyebabkan kita memiliki rasa kasih dan empati,” sebagaimana diungkapkan oleh Judith Orloff, seorang psikiater sekaligus penulis buku he Empath’s Survival Guide. “Karena narsisis, sosiopat, dan psikopat memiliki apa yang disebut ganguan kekurangan empati, yang berarti mereka tidak merasakan empati dengan cara biasa,” sambungnya.
“Ketika mereka berbohong, hal itu tidak menyakiti mereka dengan cara yang sama dengan kita,” ujar Orloff. “Begitu banyak orang yang menjalin hubungan dengan pembohong patologis, atau tidak mengerti mengapa mereka harus berbohong, karena mencoba menyesuaikan dengan orang lain dalam standar yang disebut empati,” sambungnya. Sayangnya, para pembohong patologis ini tidak bisa menyesuaikan diri. Mereka mungkin tidak menyadari sedang melakukan kebohongan.
Orloff mengatakan, mereka (pembohong patologis) benar-benar percaya bahwa mereka mengatakan kebenaran di waktu lain. Bagi mereka, yang terpenting bukan fakta tersebut, tapi kekuasaan atas seseorang.
Seringkali orang berbohong karena mereka mencoba mengendalikan situasi dan menggunakan pengaruh. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keputusan atau reaksi yang mereka inginkan. Apalagi jika kebenaran adalah sesuatu yang “tidak nyaman” karena tidak sesuai dengan narasi mereka. Ketika kebohongan dimulai, itu bisa berakhir dengan manipulasi korban. Terutama ketika realitas tersebut diulang-ulang oleh pelaku, maka orang mungkin akan mulai percaya terhadap kebohongan tersebut.
“Kekuatan hubungan yang hebat adalah ketika Anda bisa mengatakan kebenaran satu sama lain, dan saling percaya, dan selalu jujur – dan dengan pembohong patologis Anda tidak bisa mempercayai mereka,” kata Orloff. “Anda tidak bisa mendasarkan hidup pada kata-kata mereka. Ini seperti defisit moral, dan tidak ada pertanggungjawaban. Seseorang yang pembohong patologis tidak akan mengatakan aku menyesal melakukannya. Mereka akan mengatakan itu salahmu,” sambungnya.
Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman seorang pembohong yang patologis adalah jangan jadikan dia pemimpin dalam organisasi apapun, apalagi yang menyangkut hajat orang banyak. Sebab, ketika satu kebohongan kecil dimulai maka nantikan akan memerlukan kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya. Padahal sebuah kebohongan adalah kebohongan. Dan jika kita mencoba mengoreksi kepada pemimpin impulsive, maka justru mereka yang mengatakan itu salahmu, atau tidak terjadi, maka ada sesuatu yang sangat salah terjadi,”.
Seorang psikolog, menyebut bahwa pembohong patologis terlalu impulsif untuk berkata jujur. Skala impulsif reflektif sebenarnya telah tertanam dalam gen manusia. Sangat sulit untuk seseorang yang sangat impulsif untuk berpikir sebelum melakukan sesuatu. “Jika Anda adalah seorang yang impulsif, sangat sulit untuk menghentikan kebiasaan itu. Dan jika sebuah bangsa di pimpin oleh pemimpin impulsif dia akan lebih reflektif contohnya seperti Kaisar Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus (15 Desember 37 – 9 Juni 68), juga disebut Nero Claudius Caesar Germanicus, adalah kaisar Romawi kelima dan terakhir dari dinasti Julio-Claudian., kaisar Yunani di abad yang memerintahkan tentaranya membakar kota Roma, hanya untuk menyenangkan hatinya.
PENUTUP
Manuver politik pencitraan Jokowi secara pasti mengalami degradasi kepercayaan dari masyarakat luas, sejalan dengan kegagalan dan pengingkarannya terhadap 66 janji politik yang pernah di sampaikan pada Pilpres 2014 lalu. Sejalan dengan rekam jejak digital yang terus menyimpan rekaman janji-janji itu. Merekam inkonsistensi dan merekam penindasan aparat terhadap ummat Islam yang mengusung kalimat Tauhid serta merekam persekusi yang dilakukan aparat bersama pendukung Jokowi terhadap masyarakat yang menggunakan kaos #2019GantiPresiden. Semuanya masih sangat terang benderang dalam jejak digital social media masyarakat. Sehingga hati ummat Islam seakan telah terkunci rapat untuk menerima sebagaimana kepercayaan yang pernah diberikan pada Pilpres tahun 2014 lalu.
Yang pada gilirannya, telah melahirkan refleksi dinamika fenomena Politik yang paradoks dari peristiwa yang sarat dengan nuasa money politik sebelumnya. Sebagaimana kita saksikan peristiwa reuni 212 yang menghadirkan puluhan juta ummat Islam tanpa dibayar tanpa dukungan materil. Demikian pula kita telah saksikan Bersama diamana rakyat bangsa ini rela saweran untuk saling mendukung guna memenangkan Prabowo Sandi.
Mungkin karena Do’a jutaan rakyat bangsa ini yang dijabah, maka Allah Subhana Wa Taalah, membuka hati dan mata ummat Islam. Sehingga semakin jelas siapa pemimpin yang impulsive dan siapa pemimpin yang memiliki warisan moral pejuang bangsa ini.
Saya yakin, pihak oposisi tidak akan berseberangan dengan Petahana terhadap Issue pembebasan Ust. Abu Bakar Ba’asyir.Terlepas ada tidaknya tendensi Politik petahana di dalamnya. Bagi Prabowo-Sandi pembebasan itu di lihat sebagai alasan moral dan HAM semata. Sebab pendukung utama Prabowo-Sandi sebagai Capres adalah mainstream dari gerakan aksi bela Islam yang mendominasi dan representasi dari semua elemen Islam Indonesia. Selain itu kebijakan itu sejalan dan seiring dengan Visi dan Misi Prabowo untuk mendorong penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia secara konsisten dan konsekwen serta menolak stigma teroris terhadap ummat Islam.