Roma, Gontornews — Kekeringan terburuk di Italia dalam beberapa dasawarsa terakhir telah membuat Danau Garda, yang terbesar di Italia, mendekati level terendah dalam sejarah. Kekeringan juga telah membuat suhu air di Danau Garda mendekati suhu rata-rata di Laut Karibia.
Selama beberapa bulan terakhir, Italia Utara tidak mendapatkan curah hujan yang signifikan. Tidak hanya itu, hujan salju pada tahun ini, bahkan, turun hingga 70 persen. Situasi ini menyebabkan pasokan air dari Sungai Po yang selama ini melintasi jantung pertanian dan industri Italia tersendat.
Pihak berwenang memprediksi kerugian miliaran Euro di sektor pertanian akibat mengeringnya sungai Po yang terpanjang di Italia. Untuk mengimbanginya, pihak berwenang mengizinkan lebih banyak air yang mengalir dari Danau Garda ke sungai-sungai sekitar. Tetapi pada akhir Juli, mereka mengurangi jumlah wisatawan untuk melindungi danau meski pemasukan dari sektor pariwisata juga ikut terdampak.
Dengan mengalirkan 45 meter kubik per detik ke sungai, ketinggian Danau Garda saat ini hanya 32 cm saja. Ketinggian di danau tersebut bahkan terus mendekati rekor terendah seperti yang terjadi pada tahun 2003 dan 2007.
Selain menurunnya ketinggian permukaan air, suhu danau juga berada di atas rata-rata bulan Agustus. Pada hari Jumat (12/8/2022), suhu air di Danau Garda mencapai 26 derajat Celcius yang mendekati rata-rata suhu Laut Karibia sekitar 27 derajat Celcius.
Selain Italia, banyak negara Eropa yang melaporkan kondisi kekeringan selama musim panas ini seperti Spanyol, Jerman, Portugal, Prancis, Belanda dan Inggris. Situasi ini telah menyebabkan kerugian bagi petani dan menyebabkan pihak berwenang memberlakukan pembatasan dalam penggunaan air.
Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa, selama pekan ini, telah mengeluarkan peringatan bahwa kondisi kekeringan akan terus memburuk dan berpotensi mempengaruhi 47 persen benua.
Andrea Toreti, dari European Drought Observatory, memastikan bahwa kekeringan ekstrem pada 2018 tidak akan terjadi hingga 500 tahun terakhir. “Tetapi tahun ini, saya pikir benar-benar lebih buruk,” ungkap Toreti sebagaimana dilansir Aljazeera.
“Kami melihat masih ada risiko yang sangat tinggi dan kondisi kekeringan di Eropa Barat dan Tengah hingga Inggris,” sambung Toreti.
Senada dengan Toreti, ahli meteorologi dari Institut Potsdam Institute for Climate Impact Research Jerman, Peter Hoffmann, menjelaskan bahwa kondisi kekeringan di Eropa terjadi akibat perubahan sistem cuaca dunia. “Hanya saja di musim panas ini kami paling merasakannya,” kata Hoffman.
“Sebenarnya kekeringan telah menumpuk sepanjang tahun,” pungkasnya. [Mohamad Deny Irawan]