9″Seadil-adil kafir, sejujur-jujur kafir, sepintar-pintar kafir, sesantun-santun kafir, jadi menteri, masuk istana, mati, masuk neraka. Sejelek-jelek Muslim, senakal-nakal Muslim, punya jatah di surga. Sebaik-baik kafir tidak punya jatah di surga. Tapi jangan lupa masih ada ratusan, ribuan, jutaan Muslim yang adil, santun, demokratis, dan sayang rakyatnya,”jelas Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal
Dalam sejarah peradaban manusia, belum pernah ada sistem kehidupan yang mampu bertahan lama kecuali sejarah panjang keemasan Islam. Sehingga ketika berbicara tentang masalah kepemimpinan ideal dalam Islam juga erat kaitannya dengan figur Rasulullah SAW. Sebab ia adalah pemimpin agama dan juga pemimpin negara terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini. Oleh sebab itu sebagai negara Muslim terbesar di dunia, maka tak salah jika umat Islam Indonesia berkaca pada sebab-sebab kehancuran daulah dan kekhalifahan Islam di masa lalu.
Kepada Majalah Gontor Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin mengatakan runtuhnya kekhalifahan Islam di masa lalu karena umat Islam terjangkit cara berfikir sekuler. Di samping tidak mempertahankan sistem pemimpin Muslim, khalifahnya juga berperilaku menyimpang. Dia khalifah Islam, tapi tidak berperilaku seperti Muslim. Selain di dalamnya yang rapuh karena perilaku khalifah itu, umat terprovokasi bahwa pemimpin itu yang penting adil, yang penting bisa mensejahterakan, tak peduli Muslim atau tidak Muslim. “Provokasi semacam ini masuk. Sehingga terjadilah pembiaran terhadap kehancuran daulah Islamiyah dan kekhalifahan itu,”tuturnya.
Sedangkan Non Muslim yang pernah ditunjuk Daulah Abbasiyah menjadi Gubernur, menurut Kiai Ma’ruf, kasus tersebut adalah pengecualian. Karena, Gubernur tersebut kafir dzimmi, yang karena keahliannya yang dibutuhkan, maka dia diangkat, tapi dia di bawah keharusan mentaati sistem Islam. Dalam kaitannya di Indonesia saat ini, kasus tersebut tidaklah relevan. “Tidak relevan karena Gubernur punya hak sendiri. Tidak di bawah konstitusi yang bisa ditafsirkan macam-macam,”katanya.
Di tengah kondisi saat ini, Kiai Ma’ruf menghimbau agar umat Islam melakukan upaya perbaikan-perbaikan dalam hal ekonominya, pendidikannya, sumberdaya manusianya. Supaya umat Islam tidak menjadi adh-dhuafa wal mustadhafin. Allah sudah mengingatkan kepada kita wal yakhsyal ladzina law taroku min kholfihim dzurriyyatan dhiafan. Karena itu kita harus melakukan al Ishlah illa maa huwal ashlah tsummal ashlah tsummal ashlah, wal ashlah. “Kunci ini harus kita bangun supaya dinamis, supaya inovatif,”imbuhnya.
Dijelaskannya, Indonesia secara konstitusi memang memperbolehkan non Muslim untuk memimpin. “(Tapi) ini rawan kalau non Muslim bisa memimpin. Karena itu umat Islam harus diberi edukasi sesuai dengan Al-Maidah 51. Para ulama sepakat auliya adalah pemimpin. Ada juga yang mengatakan teman. Ya kalau teman saja tidak boleh apalagi pemimpin. Lebih berat kan,”ungkapnya.
Di negara yang demokrasi ini, kata Kiai Ma’ruf, umat Islam harus berusaha secara fair dan kompetitif untuk bisa menampilkan pemimpin-pemimpin yang Islami yang benar-benar memiliki kemampuan, dan ketrampilan. “Karena jika kita memilih pemimpin yang tidak baik yang tidak utama. Itu kita (sama saja) mengkhiyanati diri sendiri,”tandasnya.
Dalam hadist, jelas dia, disebutkan man ista’mala amilan alal muslimin, wa huwa ya’lamu anna ghairahu afdhalu minhu wa qad khanallaha warosulahu wal mu’minin. Barangsiapa yang mengangkat pemimpin publik di tengah masyarakat Muslim, padahal ada yang lain, yang lebih utama daripada dia, maka kita dianggap berkhianat kepada Allah, berkhianat kepada Rasulullah, kepada umat, dan masyarakat. “Oleh karena itu kita harus mencarikan, menyiapkan pemimpin yang Islami. Itu pesan Al-Maidah 51,”paparnya.
Terkait kriteria pemimpin ideal, menurut Kiai Ma’ruf dalam Ijtima’ Ulama MUI di Padang Panjang disebutkan bahwa kriteria pemimpin itu harus yang Islami, yang Sidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. “Kalau kita ringkaskan kriteria pemimpin adalah pemimpin yang agamanya Islam, yang cerdas, yang memiliki kecakapan. Itu yang harus kita angkat,”paparnya. Hanya saja yang kita khawatirkan sekarang ini ada isu-isu pancasilais dikaitkan dengan seseorang.
“Kalau mendukung seseorang itu dianggap pancasilais, kalau mendukung orang itu dianggap orang dalam barisan bineka tunggal ika. Sedangkan yang tidak mendukung orang itu dianggap tidak pancasilais dan tidak berada dalam barisan bineka tunggal ika. Mulai kapan Pancasila dan Kebineka Tunggal Ika itu dikaitkan dengan orang seorang. Ini yang harus kita luruskan,”tandasnya.
Sementara itu Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis Phd menjelaskan bahwa pemimpin dalam Islam (Imamah) memiliki dua fungsi. Pertama, liharosatiddin, untuk mememelihara agama. Kedua, siyasatud dunya, mengatur kehidupan duniawi. “Inilah tugas sebagai khilafatunnubuwah kekhilafahan para nabi. Nah yang ideal adalah orang yang mampu dan mempunyai kecakapan dalam melaksanakan kehidupan beragama yang harmonis dan menciptakan kehidupan yang sejahtera,”tuturnya kepada Majalah Gontor.
Menurutnya, tidak boleh dalam kehidupan tanpa ada pemimpin, meskipun hanya sekejap tetap harus ada pemimpin. Sehingga diungkapkan oleh ulama, pemimpin yang kafirpun diperbolehkan ketika itu diperlukan. Artinya, ada kedadhuratan sehingga non Muslim pun bisa menjadi pemimpin dalam komunitas Muslim kalau itu dharurat. “Dimaknai dharurat, artinya tidak boleh hidup itu tanpa pemimpin. Tinggal bagi kita umat Islam bagaimana bisa menyiapkan pemimpin yang baik, pemimpin yang adil, pemimpin yang berintegritas,”tandasnya.
Terkait umat Islam yang banyak tersandung korupsi, banyak bermasalah dalam kepemimpinannya, baginya, hal itu adalah pasti. Karena apapun yang terjadi di Indonesia pasti melibatkan umat Islam, karena umat Islam mayoritas dan jumlahnya terbanyak. “Namun keterlibatan seseorang atau beberapa orang tidak berarti menghilangkan konsep Islamnya. Kita bisa melihat kepemimpinan Muslim yang lainnya dan lebih lagi kita dapat lihat dari konsep keislamannya,”ucapnya.
Islam, kata dia, tidak akan mengajarkan yang buruk-buruk, Islam tidak akan mengajarkan menjadi pengkhianat, tetapi kadang-kadang Muslim, pemeluk Islamnya yang kurang konsisten dengan Islam. “Maka yang harus kita tanamkan adalah konsistensi melaksanakan ajaran Islam dan mendidik Muslim yang berkarakter yang memiliki jiwa kepemimpinan,”tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal yang mengaku prihatin dengan krisis kepercayaan yang terjadi saat ini.
“Orang sakit dipimpin orang sehat tidak enak. Lebih tidak enak lagi orang sehat dipimpin orang sakit. Apalagi orang Muslim dipimpin orang kafir. Minoritas yang benar dipimpin golongan mayoritas yang salah. Apalagi mayoritas yang benar dipimpin minoritas yang salah. Tidak boleh itu,”paparnya.
Menurut Kiai Hasan, sakitnya pemimpin-pemimpin, sakitnya orang-orang kaya, sakitnya keimanan dan sakitnya penghambaan di saat ini terjadi ketika kehilangan keimanan, ketakwaan, kesederhanaan, keadilan, ketaatan. Semua menjadi hilang di permukaan kehidupan ini. “Kita harus meluruskan yang bengkok-bengkok ini. Barang-barang lurus pasti bertabrakan dengan yang bengkok. Kita dianggap bengkok mereka menganggap dirinya lurus. Padahal tidak termasuk ihdinas shirathal mustaqim,”tandasnya.
Lanjut Kiai Hasan menegaskan bahwa pemimpin bukanlah pemimpin-pemimpin yang riya, blusukan, pencitraan. Riya untuk dirinya sendiri. Nilai-nilai kehidupan sekarang ini sudah terbalik. Di dalam hadist disebutkan innallaha yuhibbul atqiya, al-aghniya, al-akhfiya. Allah menyukai orang yang bertakwa, orang-orang yang kaya dan orang-orang yang tidak tampak. “Orang-orang yang tidak usah blusukan, orang-orang yang tidak melakukan kerjaan pencitraan palsu,”tegasnya.
Baginya, pemimpin adalah seperti yang dikatakan hadist. Bukan yang hanya di podium, bukan yang di sound system, microfon. “Tapi yang 24 jam bersama umat, 31 hari bersama umat, 365 hari bersama umat. Bukan angin-anginan. Bukan hanya jual kecongkakan. Jangan hanya ngaksi di panggung, mejeng di podium, akhirnya tidak tahu kalau bangsanya jadi budak, dipimpin oleh budak, boneka, benalu, bunglon, yang terbawa oleh keriyaan-keriyaan orang-orang kafir,”katanya.
Pemimpin kafir kok dianggap lebih baik ketimbang pemimpin Muslim tapi berlaku zalim. Yang bilang siapa? Jujur yang tidak ketahuan saja? Dia jujur bukan karena apa, dia jujur untuk keuntungan, jujur biar dilihat orang. Jujur supaya dagangannya laku, jujur biar tidak dimarahi atasan. Itu kemunafikan. Dirinya sendiri sebenarnya dia tidak jujur, tidak adil. Tetapi di muka harta, di muka atasan dia pura-pura jujur, itu yang terjadi. “Orang kafir jujur, orang kafir adil itu tidak ada,”tandasnya.
Bagaimana orang kafir bisa adil dan jujur. Untuk dirinya sendiri saja tidak adil. Untuk dirinya sendiri saja tidak jujur. “Dia makhluk kok tidak ngaku khaliqnya. Itu tidak jujur, itu tidak adil. Berbeda dengan Muslim ia jujur karena Allah, orang adil karena Allah. Pilihlah pemimpin-pemimpin yang menuju kepada kesurgaan kita semuanya. Sejelek-sejelek Muslim, senakal-nakal Muslim, securang-curang Muslim, kalau masuk penjara nanti mati masuk surga,”paparnya.
Menurutnya, seadil-adil kafir, sejujur-jujur kafir, sepintar-pintar kafir, sesantun-santun kafir, jadi menteri, masuk istana, mati, masuk neraka. “Sejelek-jelek Muslim, senakal-nakal Muslim, masih punya jatah di surga. Sebaik-baik kafir ndak punya jatah di surga. Tapi jangan lupa masih ratusan, ribuan, jutaan Muslim yang adil, santun, demokratis, dan sayang pada rakyatnya. Orang-orang kafir kok dijor, orang kafir kok adil. Tidak ada. Kekafiran tidak mungkin berkumpul dengan keadilan. Tidak mungkin. Orang kafir adil. Tidak mungkin. Orang kafir jujur? Tidak mungkin. Lah gimana? la wong dirinya sendiri saja tidak jujur, tidak adil, dia manusia kok nggak ngaku Allah. Bagaimana dia bisa adil dan jujur memimpin,”tandasnya.