New York, Gontornews — Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, Jumat (24/02/2023), mengatakan invasi Rusia telah menghancurkan Ukraina. Guterres bahkan tidak segan menyebut Rusia telah membawa neraka dalam kehidupan masyarakat Ukraina.
“Kehidupan seperti neraka bagi rakyat Ukraina,” kata Guterres saat melakukan pengheningan cipta selama satu menit bersama Dewan Keamanan (DK) PBB.
“Perdamaian tidak memiliki kesempatan. Perang telah berkuasa hari ini. Invasi Rusia adalah pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum internasional. (Invasi) ini telah menyebabkan kematian, kehancuran dan pemindahan yang terjadi secara meluas,” ungkapnya sebagaimana dilansir Channel News Asia dari AFP.
Sebagian besar anggota DK PBB mengutuk invasi Rusia di Ukraina. Dalam peringatan 1 tahun invasi Rusia ke Ukraina, DK PBB melakukan pertemuan serta menandai peringatan suram tersebut.
“(Rusia) melancarkan perang itu tanpa pembenaran lain selain keinginan obsesifnya untuk menghidupkan masa lalu,” kata Menteri Luar Negeri Prancis, Catherine Colonna.
“Sejak itu, mereka menggunakan kekerasan paling ekstrem untuk menyangkal identitas suatu negara dan bangsa,” sambungnya.
Menteri Luar Negeri Amerik Serikat, Antony Blinken, mengatakan kepada dewan untuk menciptakan perdamaian yang adil berdasarkan Piagam PBB. “Tidak ada yang menginginkan perdamaian lebih dari rakyat Ukraina,” ucap Blinken.
“Kedamaian apa pun yang meligitimasi tanah Rusia dengan paksa akan melemahkan Piagam dan mengirimkan pesan kepada calon agresor di mana pun bahwa mereka dapat menyerang negara dan lolos begitu saja,” tambah Blinken.
Pada kesempatan yang sama, Guterres mengatakan bahwa perang telah menyebabkan lebih dari delapan juta warga Ukraina melarikan diri ke negara Eropa lain. Tidak hanya itu, ada sekitar 5,4 juta warga Ukraina yang mengungsi ke bagian lain dari provinsi lain di Ukraina.
“Krisis perpindahan ini tidak pernah terlihat di Eropa dalam beberapa dekade terakhir,” ungkap Guterres.
Setengah dari anak-anak Ukraina terpaksa meninggalkan rumah mereka dan menghadapi risiko kekerasan, pelecehan dan eksploitasi yang lebih tinggi.
“Hampir 10 juta orang, termasuk 7,8 juta anak-anak, berisiko mengalami gangguan stres pascatrauma akut,” tutupnya. [Mohamad Deny Irawan]