• Home
  • GN
  • News
    • Dunia
    • Nasional
    • Nusantara
  • Inspirasi
    • Sirah
    • Dakwah
    • Hidayah
    • Ihwal
    • Jejak
    • Sukses
    • Mujahid
    • Oase
  • Pendidikan
    • Virtual Tour Pesantren
    • Lembaga
    • Buku
    • Beasiswa
    • Risalah
    • Khazanah
    • Keluarga
  • Muamalah
    • Ekonomi
    • Peluang
    • Halal
    • Rihlah
    • Konsultasi
  • Tadabbur
    • Tafsir
    • Hadis
    • Dirasah
  • Values
    • Tausiah
    • Sikap
    • Mahfudzat
    • Cahaya
    • Kolom
    • Afkar
  • Saintek
    • Sains
    • Teknologi
    • Kesehatan
    • Lingkungan
  • Laput
    • #IBF2020
  • Wawancara
  • Gontoriana
    • Pondok
    • Trimurti
    • Risalah
    • Alumni
    • Wali Santri
  • MG-El
Monday, 25 September, 2023
Gontornews
Cari Pondok Pesantren
  • Home
  • GN
  • News
    • Dunia
    • Nasional
    • Nusantara
  • Inspirasi
    • Sirah
    • Dakwah
    • Hidayah
    • Ihwal
    • Jejak
    • Sukses
    • Mujahid
    • Oase
  • Pendidikan
    • Virtual Tour Pesantren
    • Lembaga
    • Buku
    • Beasiswa
    • Risalah
    • Khazanah
    • Keluarga
  • Muamalah
    • Ekonomi
    • Peluang
    • Halal
    • Rihlah
    • Konsultasi
  • Tadabbur
    • Tafsir
    • Hadis
    • Dirasah
  • Values
    • Tausiah
    • Sikap
    • Mahfudzat
    • Cahaya
    • Kolom
    • Afkar
  • Saintek
    • Sains
    • Teknologi
    • Kesehatan
    • Lingkungan
  • Laput
    • #IBF2020
  • Wawancara
  • Gontoriana
    • Pondok
    • Trimurti
    • Risalah
    • Alumni
    • Wali Santri
  • MG-El
No Result
View All Result
Gontornews
No Result
View All Result
Home Keluarga

Penelitian UI: Rokok Perangkap Kemiskinan Keluarga

Dedi Junaedi by Dedi Junaedi
18 April 2016
in Keluarga
0
Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

BACA JUGA

Mengenalkan Surat Al-Fatihah Sejak Dini

Qurrota A’yun Tingkat Kebahagiaan Paling Tinggi Keluarga

Meraih Berkah dalam Keluarga Pecinta Al-Qur’an

BNPB dan ‘Aisyiyah Perkuat Program Keluarga Tangguh Bencana

Inilah yang Dilarang dan Amalan yang Dianjurkan pada Hari Tasyrik

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Jakarta, Gontornews – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis (14/4), seperti dilansir Antara .

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau.{DJ]

Tags: KeluargaKemiskinanPerangkapRokok
Share13Tweet8Send
Previous Post

Mensos: Keluarga PKH Dapat Tunjangan Kehamilan

Next Post

Pimpinan DPR Sidak RS Sumber Waras

Dedi Junaedi

Dedi Junaedi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Film SAHDU Terinspirasi dari Lagu Oh Pondokku di Gontor

Film SAHDU Terinspirasi dari Lagu Oh Pondokku di Gontor

4 September 2023
Jejak langkah 2 ulama

Semarak 100 Tahun Gontor, Lintas Marhalah Inisiasi Nobar Film Jejak Langkah 2 Ulama di PMDG

15 September 2023
Mengenal Struktur DNA

Mengenal Struktur DNA

2 March 2019
Pendidikan Moderasi Agama

Pendidikan Moderasi Agama

6 September 2023
Untuk Makin Memajukan Pesantren, HNW Dukung Usulan Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kemenag

Untuk Makin Memajukan Pesantren, HNW Dukung Usulan Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kemenag

21 September 2023
Foto: halojatim.com

Sujud Syukur, Khataman Al-Qur’an Serentak dan Penulisan Mushaf Tandai 100 Tahun Gontor

24 September 2023
PP IKPM Gelar Khataman Al-Qur’an 1000 Majelis Alumni Gontor

PP IKPM Gelar Khataman Al-Qur’an 1000 Majelis Alumni Gontor

23 September 2023
PSQS Wakafkan 10.000 Eksemplar Buku Terjemah Ar-Rahiq Al-Makhtum

PSQS Wakafkan 10.000 Eksemplar Buku Terjemah Ar-Rahiq Al-Makhtum

23 September 2023
Jalan Menuju Cinta kepada Nabi Muhammad SAW

Jalan Menuju Cinta kepada Nabi Muhammad SAW

22 September 2023
Emir Terbitkan Buku Berguru kepada Kiai Sahal

Emir Terbitkan Buku Berguru kepada Kiai Sahal

21 September 2023
Gontornews

Kantor :
Jalan Taman Sejahtera No.1A RT.06 RW.03 (Samping Masjid Jami' Al-Munir) Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan
Telp : 021-29124801
Fax : 021-29124802
Layanan Pelanggan : 0819-1515-1456 (Khusus WA)
Email :
[email protected]
[email protected]
[email protected]

TENTANG KAMI

  • Profil
  • Redaksi & Manajemen
  • Info Iklan
  • Panduan Kebijakan Media
  • Berlangganan Majalah
  • Komplain Majalah

INSTAGRAM

Ikuti Kami

  • Selamat dan Sukses
Kepada
Prof. Dr. KH. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.PhilAtas penghargaan
IBF AWARD 2023
Kategori Tokoh Perbukuan IslamMusic:
Immense by Keys of Moon  https://soundcloud.com/keysofmoon
Music promoted by https://www.chosic.com/free-music/all/
Creative Commons CC BY 4.0
https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/
7.55 - 8.01 gabung 8.25 - 8.31 an#majalahgontor
#gontornews
#islamicbookfair
#unidagontor______
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
YouTube : Gontor News
  • Selamat dan Sukses
Kepada
Prof. Dr. KH. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.PhilAtas penghargaan
IBF AWARD 2023
Kategori Tokoh Perbukuan Islam#majalahgontor
#gontornews
#islamicbookfair
#unidagontor______
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
YouTube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • ISLAMIC BOOK FAIR kembali hadir menyapa para pecinta buku yang kangen berburu buku² best seller dengan harga khusus.#IBF2023 akan diadakan di Istora Gelora Bung Karno, 20-24 September 2023.Dapatkan diskon buku hingga 85%, diskusi dan ngobrol bareng penulis atau ustadz/ustadzah idola.#IBF2023
#IKAPIDKI
#ISLAMICBOOKFAIR#majalahgontor
#gontornews___________________
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
YouTube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • Kunjungan tim Majalah Gontor ke Surau Duta Munzalan Ciledug pada hari selasa, tanggal 22 Agustus 2023.Musik :
Bliss by Luke Bergs | https://soundcloud.com/bergscloud/
Creative Commons - Attribution-ShareAlike 3.0 Unported
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/
Music promoted by https://www.chosic.com/free-music/all/#majalahgontor #gontornews
_________________________
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
Youtube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • Jadilah kamu ibu yang utama. Karena ibu yang utama sama dengan 1.000 guru.
Didiklah dirimu dengan kesehatan,
didiklah otakmu dengan belajar dan berfikir,
didiklah jiwamu dengan puasa, tahajud dan berbuat baik.Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.#majalahgontor #gontornews_____________________
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
Youtube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • Jangan Pernah Mengambil Keputusan Ketika Sedang MarahJangan Pernah Mengumbar Janji Ketika Sedang BergembiraAli bin Abi Thalib#majalahgontor #gontornews
_______________________
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
Youtube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • Terkadang tugas bisa diselesaikan bukan karena kecerdasannya atau kemampuan tetapi karena jiwa tanggungjawab. Wallahu’alamAl-Ustadz H. Saepul Anwar, M.Pd.#majalahgontor #gontornews
----------------
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
Youtube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • Perjuangan itu laksana pohon yang perlu selalu dipupuk agar eksis, tumbuh dan berkembangia perlu dipupuk dengan ilmu , keikhlasan dan pengorbanan.Al-Ustadz H. Saepul Anwar, M.Pd.#majalahgontor #gontornews----------------
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
Youtube : Gontor News
Website : gontornews.com
  • Manakala pikiran kita berpusat pada kemaslahatan lembaga atau umat pasti akan banyak penyelesaian masalahtapi manakala berpusat pada kemaslahatan pribadi bisa jadi akan banyak menimbulkan masalah. Wallahu’alamAl-Ustadz H. Saepul Anwar, M.Pd.#majalahgontor #gontornews__________________
Sosial Media Kami :
IG : gontornews
Twitter : gontornews
Youtube : Gontor News
Website : gontornews.com

© 2023 gontornews.com. All Rights Reserved

  • Home
  • GN
  • News
    • Dunia
    • Nasional
    • Nusantara
  • Inspirasi
    • Sirah
    • Dakwah
    • Hidayah
    • Ihwal
    • Jejak
    • Sukses
    • Mujahid
    • Oase
  • Pendidikan
    • Virtual Tour Pesantren
    • Lembaga
    • Buku
    • Beasiswa
    • Risalah
    • Khazanah
    • Keluarga
  • Muamalah
    • Ekonomi
    • Peluang
    • Halal
    • Rihlah
    • Konsultasi
  • Tadabbur
    • Tafsir
    • Hadis
    • Dirasah
  • Values
    • Tausiah
    • Sikap
    • Mahfudzat
    • Cahaya
    • Kolom
    • Afkar
  • Saintek
    • Sains
    • Teknologi
    • Kesehatan
    • Lingkungan
  • Laput
    • #IBF2020
  • Wawancara
  • Gontoriana
    • Pondok
    • Trimurti
    • Risalah
    • Alumni
    • Wali Santri
  • MG-El
No Result
View All Result